Menyentuh kulit, menjadikan tubuh tak cepat lelah. Kami terus berjalan menuju pintu rimba. Pos . Demi pos dilalui. Hingga di satu titik, hujan mulai membasahi bumi. Karena sedang malas memakai jas hujan, di pendakian kali ini, saya membawa payung. Ternyata, mendaki sembari payungan, menyenangkan juga. Tapi, jangan ditiru, ya. Bukan hal baik. Hehe. Akhirnya, waktu . Berbuka puasa tiba. Saya pun meneguk air minum. Jujur saja, . Ini pertama kalinya air putih terasa begitu nikmat melewati tenggorokan. Mungkin benar, untuk merasakan indahnya kesederhanaan, kita mesti lebih dulu merasakan kepahitan. Untungnya, cuma mulut saja yang terasa pahit. Kendati belum tiba di pos 4 (tempat kami rencananya akan santap malam), kami memutuskan untuk membuka perbekalan dan berbuka puasa di jalur saja. Apalagi, beberapa kawan, terutama Ajrin, tampak cukup kelelahan. Kami pun . Mulai memasak mi dan makan bersama. Benarbenar suasana yang hangat di gunung yang dingin. Takut kemalaman, kami kembali . Berjalan. Kondisi beberapa kawan kian lelah. Karena tidak tega, saya .
Memutuskan untuk membuat tenda di pos 4 saja. .
Setibanya di pos 4, ternyata tidak ada apaapa. Tidak ada pendaki lain, tidak ada bekas tenda, dan yang terpenting, tidak ada mata air. Mengetahui bahwa mata air baru ada di pos 5, saya pun bertanya pada kawankawan yang lain: Mau berhenti di sini, atau lanjut? Dari saya sendiri . Sih , lebih memilih untuk lanjut, . Agar kami .
Tidak kesulitan untuk minum dan memasak. Apalagi, perbekalan air botolan yang kami bawa sangat terbatas. Setelah .
Keputusan bulat, kami pun melawan rasa lelah dan . Kembali berjalan. Kami tiba di pos 5. Tapi, . Anehnya, tidak ada siapasiapa. Kami menyelidiki ke sana kemari, takutnya salah ambil belokan. Tapi, benar kok, ini pos 5. Ada . Tulisannya. Lantas, ke . Mana orangorang? Eki dan Fajar memutuskan untuk menaruh carrier dan meminta kami menunggu sementara mereka mencari tahu. Setelah beberapa belas menit berlalu sunyi, mereka . Berdua kembali dan berkata bahwa pos yang sebenarnya masih sekitar satu kilometer di depan sana. Aduh. Kami . Kembali berjalan, menembus temaram malam. Di . Antara gelap, saya bisa menilik bahwa .
Ini adalah padang sabana. Ketika saya menengadah, hamparan bintang tampak cantik di atas sana. Benarbenar malam yang luar biasa. Kami . Tiba di dekat mata air, tempat tenda akan didirikan. Tak berlamalama melek, karena kelelahan, kami semua jatuh tertidur. Kami lalu bangun dini hari, masak dan santap . Sahur, untuk kemudian bersiap mendaki ke puncak Gunung Gede. Seseorang dari tenda sebelah memberikan kami buah apel, sebagai .
Pencuci mulut untuk penutup sahur. Menyenangkan. Sembari ngobrol, . Kami .
Membuat kopi. Saya bilang pada Fajar (salah satu kawan saya), agar membuatkan kopi juga untuk . Tenda sebelah. Supaya akrab. Ketika Fajar memberikan kopi ke tenda . Sebelah, terdengar sahutan bahwa Subuh sudah lewat. Lho! Padahal grup kami masih asyik minum kopi dan merokok. Ketika membuka tenda, . Ternyata matahari sudah mengintip. Oalah. Waktu berlalu tanpa .
Terasa. Azan pun tidak terdengar. Jadi saja kami tidak puasa hari ini. Saya dan kawankawan lanjut mendaki menuju puncak . Gunung Gede tatkala hari sudah terang. Kami berjalan dan terus berjalan. Beberapa puluh menit kemudian, kami tiba di puncak Gunung Gede. Seberes fotofoto, Ajrin kembali meminta direkam. Baiklah. Kali ini saya sudah siap, . Takkan menitikkan air mata seperti di Cikuray. Ajrin pun mulai berbicara sembari memperlihatkan foto USG. Anakku sayang, ini kali keduanya kita bertualang bersama, dan sekarang, Papa sudah di puncak Gunung . Gede. Butuh perjuangan . Yang benarbenar luar biasa buat ke sini. Sekarang usia kamu sudah masuk ke23 minggu, atau enam bulan. Sebentar lagi, bulan Agustus, kamu akan lahir ke muka bumi . Ini. Nanti kita jalanjalan bareng, ya, . Ke Gunung Gede. Kita barengbareng ke sini. I love you. Sialan, lagilagi saya terharu. Dalam perjalanan pulang, Ajrin bercerita bahwa ini akan .
Menjadi gunung terakhir sebelum anaknya lahir. Sebab, sang istri tidak bisa lagi khawatir mesti . Ditinggaltinggal ke gunung seperti ini. Saya jadi merenung. Membayangkan jika di posisi Ajrin. Apakah Ajrin gugup ketika waktu itu ijab kabul? Apakah ia kesulitan tatkala memulai sebuah rumah tangga? Apakah istrinya merupakan cinta sejatinya? Apakah dirinya tegang dalam menyambut sang anak yang akan lahir beberapa bulan dari sekarang? Seakan mengerti kegelisahan batin saya, Ajrin tersenyum seraya menepuk pundak. Ia seolah berkata bahwa semua . Akan baikbaik saja. Saya mengangguk paham. Dalam hidup ini, akan selalu ada langkah pertama untuk sesuatu yang baru. Pertanyaannya, apakah kita . Mau memulai atau tidak? Karena langkah pertama adalah yang .
Tersulit. Tapi, sebagai manusia, kita akan belajar seiring langkah demi langkah yang kita ambil. Beberapa pelajaran berbentuk manis, tidak . Sedikit pula pelajaran yang teramat pahit. Tapi apa pun itu, pelajaran dalam hidup ini akan membentuk diri kita menjadi manusia yang lebih dewasa. Kini, saya mesti menempuh jalan menuju sebuah tempat .
Asing bernama “pernikahan”. Jujur saja, bagi saya .
Yang terlalu asyik berkelana, hal tersebut menakutkan. Tapi, . Hati butuh rumah, dan jiwa butuh tempat untuk merebah. Itulah . Yang membuat saya berani untuk mengambil langkah pertama menuju pelukannya. Saya yakin, dia adalah jawaban dari . Doadoa saya selama ini.