Pada tanggal 26 November 1742, Amangkurat V atau Raden Mas Garendi dalam istilah lain, dipaksa untuk meninggalkan istananya lima bulan setelah memerintah di Keraton Kartasura. Pasukan Madura datang untuk merebut keraton, sehingga Sunan Kuning melarikan diri ke arah selatan bersama Tumenggung Mangunoneng, Raden Mas Said atau Pangeran Suryokusumo, dan Kapiten Sepanjang.
Mereka membangun kubu di daerah Randulawang. Sekarang daerahnya di sekitar tepi Kali Opak, selatan Prambanan. Raden Mas Garendi yang masih belia, dan para sekutunya ini mempersiapkan kembali usaha merebut keraton.
Pasukan Sunan Kuning hanya memiliki kekuatan sekitar 900 orang. Pangeran Sambernyowo memimpin serangan balasan, namun upaya tersebut gagal karena tidak mampu menembus pertahanan keraton. Pasukan mereka dikalahkan dan banyak prajurit terluka dan tewas.
Tetapi, laskar Sunan Kuning tidak menyerah. Mereka berbalik menyerang keraton dari sisi lain dan membakar pos kompeni yang berada di belakang paseban keraton. Kompeni memanggil pasukan dari Ternate dan Bugis untuk membantu, dan akhirnya berhasil menghancurkan sisa pasukan Sunan Kuning di Dersono.
Musim hujan pada awal tahun 1743 membuat pergerakan pasukan Pakubuwana II dan VOC mengalami kesulitan. Baru pada tanggal 3 Juni 1743, Hohendorff memimpin 1000 prajurit VOC untuk menghabisi Sunan Kuning di Randulawang.
Serangan yang sangat intens itu membagi pasukan Sunan Kuning, sehingga Pangeran Sambernyowo dan sebagian besar pasukan melarikan diri ke timur menuju Wonogiri. Sementara Tumenggung Mangunoneng melarikan diri ke barat menuju Bagelen (Purworejo), sebelum melarikan diri ke Tegal dan akhirnya menyerahkan diri ke kompeni.
Usaha menyelamatkan diri sambil memberikan perlawanan dilakukan Sunan Kuning dan Raden Mas Said di Wonogiri, Ponorohgo, Magetan, Caruban dan sekitarnya. Di titik ini, kemudian terjadi perbedaan pendapat.
Raden Mas Said ingin berjuang di sebelah timur Kartasura, tidak jauh dari tanah kelahirannya. Sementara Sunan Kuning dan Kapiten Sepanjang berusaha bergabung dengan kelompok Untung Surapati di Bangil, Pasuruan dan sekitar Surabaya.
Kapiten Sepanjang saat itu sudah tiga tahun bertempur dan bergerilya melawan pasukan VOC. Sejak dari Tangerang, Batavia, Cirebon, terus ke timur dari Pekalongan, Batang, Semarang, Kartasura, Demak, hingga Rembang.
Ia sudah kehilangan banyak prajurit Tionghoa, dan melihat wilayah timur punya potensi besar untuk menambah kekuatan. Keturunan Untung Surapati saat itu bersekutu dengan gerilyawan Tionghoa melawan kompeni.
Akhirnya, Raden Mas Said pamit tidak bersedia melanjutkan perjuangan di wilayah timur. Ia kembali ke barat, ke Sukawati (Sragen), bergabung dengan pasukan Singseh yang bergerak di Grobogan dan sekitarnya.
Sunan Kuning bersama Kapiten Sepanjang serta sisa pasukannya meninggalkan Caruban, menuju Kediri, sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasuruan. Pada September 1743, laskar Sunan Kuning dan Kapiten Sepanjang memasuki selatan Surabaya.
Dalam sebuah pertempuran, Sunan Kuning terpisah dari Kapiten Sepanjang, namun lolos dari maut. Amangkurat V itu galau karena sisa kekuatannya sungguh sudah tidak mampu meladeni peperangan.
Pada 2 Desember 1743, Sunan Kuning dan rombongan akhirnya berarak menuju Loji Kompeni, tempat kediaman Residen Surabaya De Klerk. Ia menyerahkan diri disertai para istrinya dan 300 prajuritnya.
Diduga Sunan Kuning memenuhi tawaran damai dari VOC. John Heinrich Schroeder, seorang prajurit VOC dari Prusia (Jerman), membuat kesaksian terkait penyerahan diri Sunan Kuning di Surabaya.
Schroeder menggambarkan pangeran itu datang membawa 50 istri dan selirnya serta 300 pengikut setia. Setelah beberapa hari ditahan di Surabaya, Sunan Kuning dibawa ke Semarang. Di kota ini, para pengikutnya yang kebanyakan etnis Tionghoa dieksekusi mati.
Setelah itu Sunan Kuning dibawa ke Batavia, selanjutnya dibuang ke Ceylon (Srilangka), menyusul sejumlah pendahulunya. Sunan Amangkurat V yang jadi raja Mataram hanya lima bulan, berada di pembuangan hingga akhir hayatnya.
Sementara Kapiten Sepanjang lari ke Blambangan (Banyuwangi) sembari menggempur pos-pos kompeni di sepanjang jalan. Ia lolos dari sergapan pasukan VOC hingga akhirnya menyeberang ke Bali, dan mendapat perlindungan raja-raja di sana.
Kembalinya Sunan Pakubuwana II ke tahta Keraton Kartasura, bukan berarti memperbaiki keadaan secara politik. Justru peristiwa ini menjadi titik awal semakin kuatnya cengkeraman VOC atas tanah Jawa di bawah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff di Batavia.
Di tangan Van Imhoff lah, kemudian dilakukan usaha pembersihan semua yang berani melawan kompeni. Seorang penasehat Pakubuwana II, Sayed Aluwi, ulama berpengaruh, diciduk dari Kartasura dan dipenjarakan di Batavia.
Van Imhoff juga menentukan wilayah yang jadi kekuasaan Sunan Pakubuwana II. Madura dan Sidayu (Gresik) diserahkan ke kompeni. Pemimpin kedua daerah itu harus keturunan Adipati Cakraningrat IV.
Surabaya, Rembang, Jepara juga dikuasai VOC. Wilayah pesisir memang diserahkan ke Kartasura, namun praktis para penguasa wilayah itu ada di bawah kontrol kompeni. Semua pos bea cukai dikuasai penguasa kolonial.
Terakhir, Van Imhoff menentukan penentuan dan pengangkatan patih kerajaan harus sepersetujuan kompeni. Sunan Pakubuwana II yang tak berdaya, sama sekali tidak menolak proposal perjanjian ini.
Ini merupakan pukulan terakhir yang menjadi penanda runtuhnya kekuasaan Mataram, sejak didirikan di Kotagede oleh Panembahan Senopati pada 1577 Masehi.
Sumber: https://jogja.tribunnews.com/2019/04/26/akhir-tragis-sunan-kuning-bergerilya-di-prambanan-hingga-dibuang-ke-sri-lanka