Juru kunci makam yang juga sebagai koordinator Abdi dalem Parangkusumo, Mas Panewu Surakso Jaladri tengah berada di makam syekh Maulana Maghribi di Parangtritis, Bantul.
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL – Kabupaten Bantul bukan hanya menghadirkan keindahan pantai dan panorama alam semata, tetapi sarat akan nilai dan kekayaan sejarah.
Banyak kisah lampau hingga kini masih terpatri apik. Salah satunya makam Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis, Bantul.
Juru kunci yang juga merupakan koordinator Abdi Dalem Parangkusumo Mas Panewu Surakso Jaladri saat ditemui Kamis (25/7/2019) menceritakan Syekh Maulana Maghribi, konon merupakan penyebar agama Islam generasi pertama di tanah Jawa.
Ia adalah tokoh besar yang berasal dari Maroko, Afrika bagian Utara.
• Ada Makam Keramat Syekh Hasan di Gunung Salak
“Untuk keperluan apa beliau datang ke Parangtritis? Untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,” tuturnya.
Ketika sampai di Parangtritis, diceritakan dia, Syeh Maulana Maghribi bertemu dengan Joko Dandung dan Joko Jantrung.
Konon, keduanya adalah putra dari Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V.
Namun, ada yang menyebutkan bahwa Joko Dandung dan Joko Jantrung hanya bersahabat.
Satu perguruan.
Dikemudian hari, Joko Dandung dan Joko Jantrung ini diketahui adalah nama lain dari Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking.
Makam kedua tokoh ini berada di gunung Banteng, Parangtritis.
Tidak terlalu jauh dari makam Syekh Maulana Maghribi.
• Kisah Mbah Panggung, Murid Syekh Siti Jenar yang Tak Mempan Saat Dihukum Dibakar Hidup-hidup
Dikatakan Mas Panewu Surakso Jaladri, Joko Dandung dan Joko Jantrung saat bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi, kala itu masih memegang teguh agama nenek moyang.
Hindu dan Budha.
Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis Bantul di sisi sebelah kiri Jl Parangtritis, Bantul, Jogja. Tak ada tempat parkir khusus bagi kendaraan pejalan yang akan berkunjung ke makam, sehingga mobil pun terpaksa diparkir saja di tepian jalan besar.
Gapura Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis berada hampir di seberang pertigaan jalan yang mengarah ke Pantai Parangkusumo, Bantul. Di pojokan pertigaan ada Hotel Gandung, berjejer dengan sebuah Restoran Padang. Jarak dari Situs Surocolo ke gapura ini adalah 5,8 Km, arah ke Utara (arah kedatangan).
Dari Situs Surocolo kami belok ke kiri di pertigaan, dan belok kiri lagi ke arah Selatan setelah bertemu dengan Jalan Parangtritis. Jika dari Situs Surocolo diteruskan arah ke Selatan, sesungguhnya ada sebuah gua peninggalan Jepang di atas perbukitan. Namun menurut penduduk setempat jalanannya sangat buruk, bahkan untuk sepeda motor sekali pun, sehingga saya mengurungkan niat untuk mengunjunginya.
Gapura Makam Syekh Maulana Maghribi yang menyerupai bentuk candi bentar namun di bagian atasnya dihubungan oleh tengara, dan badan gapura telah dilapis semen serta dicat. Ornamennya tidak terlalu rumit, namun cukup anggun. Undakan panjang mengarah ke puncak bukit Sentono memberi sedikit rasa kecut dan cenut di kaki, namun tak apa, mungkin ini cara yang baik untuk menutup kunjungan di daerah Bantul pada hari itu.
Syekh Maulana Maghribi, yang juga terkenal dengan sebutan Sunan Gresik, sering dianggap merupakan wali penyebar Agama Islam yang pertama di Tanah Jawa. Jasadnya sendiri disemayamkan di makam yang berada di daerah Gresik, sedangkan “makam” lainnya tampaknya adalah petilasan, tempat dimana ia pernah tinggal untuk sementara. Bisa juga itu makam orang lain dengan julukan serupa karena berasal dari negri yang sama.
Umumnya orang percaya bahwa Syekh Maulana Maghribi dan Syekh Maulana Ishak adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah, dan masih merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Daerah Leran di Gresik adalah tempat dimana sang wali tinggal ketika pertama kali datang ke Jawa. Tengaranya berupa
Undakan ke Makam Syekh Maulana Maghribi ini terlihat seperti tidak berujung, dan suasananya pun sudah sepi sore itu. Beruntung ada Pak Agus yang masih setia menemani berjalan disamping saya. Bagaimanapun kondisi undakan ke Makam Syekh Maulana Maghribi boleh dikatakan masih baik untuk dilewati, tidak licin, cukup lebar, pagar pembatas yang menjadi pegangan tangan juga masih baik, hanya saja tingkat kemiringannya memang lumayan tajam.
Melipir pinggang bukit menuju Makam Syekh Maulana Maghribi terlihat nun jauh di sana adalah Pantai Parangkusumo. Matahari mulai tenggelam, memancarkan semburat sinar kemerahan. Di latar depan adalah bangunan Hotel Gandung. Menapaki lebih ke atas lagi terlihat area pantai lebih jelas, sementara matahari sudah bersembunyi di balik cakrawala.
Setelah mendaki puluhan anak tangga lagi, kami melewati samping Musholla An Nur dengan candi bentar di regolnya. Pada halaman musholla, ada sebuah Yoni yang tidak lagi utuh bentuknya, diduga karena pernah dirusak. Sesaat kemudian terlihatlah ujung undakan dengan sebuah gapura sederhana yang diapit oleh tembok yang rendah. Pintu gapura makam terbuka, dan kami pun masuk ke dalam area makam.
Memasuki halaman Makam Syekh Maulana Maghribi pada puncak perbukitan yang cukup luas, terlihat sebuah cungkup tertutup tembok keliling dengan pintu kayu bercat hijau. Pintunya terkunci, dan juru kuncinya sedang tidak berada di tempat. Sebelumnya, saya melewati gapura dengan tulisan “Sucikan Hati dan Niat” pada kusen.
Seorang pria yang mengaku berasal dari Sumatera Utara tengah duduk di serambi ketika kami tiba. Menurutnya juru kunci biasanya datang pada malam hari. Ia sendiri telah berada di sana selama seminggu untuk bertirakat. Di sebelah kanan cungkup kubur memang terdapat bangunan yang tampaknya digunakan oleh para peziarah untuk beristirahat.
Makam ini merupakan yang keempat yang pernah saya kunjungi. Tiga makam sebelumnya adalah
Namun makam yang terakhir disebut ternyata tak ada kaitan langsung dengan Syekh Maulana Maghribi. Makam bagi orang Jawa sering menjadi sarana untuk menautkan hati dan jiwa ketika berdoa kepada Yang Mahakuasa agar keinginan dan niatnya terkabul. Makam dan petilasan keramat menjadi lantaran, semacam jalan bebas hambatan, agar doa mereka tidak terantuk-antuk oleh lumuran dosa-dosa dan ketidaksempurnaan amal mereka.
Jika Syekh Maulana Maghribi kemudian menurunkan Sunan Ampel, maka Syekh Maulana Ishak yang makamnya berada di dekat Makam Syekh Maulana Maghribi di Gresik menurunkan Sunan Giri. Makam Syekh Jumadil Qubro sendiri tidak diketahui secara pasti keberadaannya, namun petilasannya bisa dijumpai di Trowulan, juga di Semarang dan di Desa Turgo, Kecamatan Turi, Jogja.
Agak lama kami menunggu di serambi cungkup, sampai akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan cungkup tanpa mengambil foto makam karena tidak ada cara untuk menghubungi kuncen. Turun ke bawah lagi dari cungkup, tampak sebuah pendopo yang diterangi cahaya lampu listrik, namun belum terlihat ada orang di sana, mungkin jelang tengah malam nanti. Untuk menuju ke Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis Bantul yang berjarak 26 km dari Yogyakarta, pejalan bisa naik angkutan umum dari Terminal Giwangan atau Umbulharjo ke jurusan Parangtritis dengan ongkos sekitar Rp10.000-an.
Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis
Alamat : Dusun Pemancingan, Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.
Hari hampir memasuki senja ketika kami tiba di gapuradi sisi sebelah kiri Jl Parangtritis, Bantul, Jogja. Tak ada tempat parkir khusus bagi kendaraan pejalan yang akan berkunjung ke makam, sehingga mobil pun terpaksa diparkir saja di tepian jalan besar. Gapura Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis berada hampir di seberang pertigaan jalan yang mengarah ke Pantai Parangkusumo, Bantul. Di pojokan pertigaan ada Hotel Gandung, berjejer dengan sebuah Restoran Padang. Jarak dari Situs Surocolo ke gapura ini adalah 5,8 Km, arah ke Utara (arah kedatangan).Dari Situs Surocolo kami belok ke kiri di pertigaan, dan belok kiri lagi ke arah Selatan setelah bertemu dengan Jalan Parangtritis. Jika dari Situs Surocolo diteruskan arah ke Selatan, sesungguhnya ada sebuah gua peninggalan Jepang di atas perbukitan. Namun menurut penduduk setempat jalanannya sangat buruk, bahkan untuk sepeda motor sekali pun, sehingga saya mengurungkan niat untuk mengunjunginya.Gapura Makam Syekh Maulana Maghribi yang menyerupai bentuk candi bentar namun di bagian atasnya dihubungan oleh tengara, dan badan gapura telah dilapis semen serta dicat. Ornamennya tidak terlalu rumit, namun cukup anggun. Undakan panjang mengarah ke puncak bukit Sentono memberi sedikit rasa kecut dan cenut di kaki, namun tak apa, mungkin ini cara yang baik untuk menutup kunjungan di daerah Bantul pada hari itu.Syekh Maulana Maghribi, yang juga terkenal dengan sebutan Sunan Gresik, sering dianggap merupakan wali penyebar Agama Islam yang pertama di Tanah Jawa. Jasadnya sendiri disemayamkan di makam yang berada di daerah Gresik, sedangkan “makam” lainnya tampaknya adalah petilasan, tempat dimana ia pernah tinggal untuk sementara. Bisa juga itu makam orang lain dengan julukan serupa karena berasal dari negri yang sama.Umumnya orang percaya bahwa Syekh Maulana Maghribi dan Syekh Maulana Ishak adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah, dan masih merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Daerah Leran di Gresik adalah tempat dimana sang wali tinggal ketika pertama kali datang ke Jawa. Tengaranya berupa Masjid Malik Ibrahim di Pesucinan, Leran.Undakan ke Makam Syekh Maulana Maghribi ini terlihat seperti tidak berujung, dan suasananya pun sudah sepi sore itu. Beruntung ada Pak Agus yang masih setia menemani berjalan disamping saya. Bagaimanapun kondisi undakan ke Makam Syekh Maulana Maghribi boleh dikatakan masih baik untuk dilewati, tidak licin, cukup lebar, pagar pembatas yang menjadi pegangan tangan juga masih baik, hanya saja tingkat kemiringannya memang lumayan tajam.Melipir pinggang bukit menuju Makam Syekh Maulana Maghribi terlihat nun jauh di sana adalah Pantai Parangkusumo. Matahari mulai tenggelam, memancarkan semburat sinar kemerahan. Di latar depan adalah bangunan Hotel Gandung. Menapaki lebih ke atas lagi terlihat area pantai lebih jelas, sementara matahari sudah bersembunyi di balik cakrawala.Setelah mendaki puluhan anak tangga lagi, kami melewati samping Musholla An Nur dengan candi bentar di regolnya. Pada halaman musholla, ada sebuah Yoni yang tidak lagi utuh bentuknya, diduga karena pernah dirusak. Sesaat kemudian terlihatlah ujung undakan dengan sebuah gapura sederhana yang diapit oleh tembok yang rendah. Pintu gapura makam terbuka, dan kami pun masuk ke dalam area makam.Memasuki halaman Makam Syekh Maulana Maghribi pada puncak perbukitan yang cukup luas, terlihat sebuah cungkup tertutup tembok keliling dengan pintu kayu bercat hijau. Pintunya terkunci, dan juru kuncinya sedang tidak berada di tempat. Sebelumnya, saya melewati gapura dengan tulisan “Sucikan Hati dan Niat” pada kusen.Seorang pria yang mengaku berasal dari Sumatera Utara tengah duduk di serambi ketika kami tiba. Menurutnya juru kunci biasanya datang pada malam hari. Ia sendiri telah berada di sana selama seminggu untuk bertirakat. Di sebelah kanan cungkup kubur memang terdapat bangunan yang tampaknya digunakan oleh para peziarah untuk beristirahat.Makam ini merupakan yang keempat yang pernah saya kunjungi. Tiga makam sebelumnya adalah Makam Syekh Maulana Maghribi Cirebon Wonobodro , lalu Makam Maulana Malik Ibrahim (nama lain Syekh Maulana Maghribi) di Gresik, dan Makam Ki Ageng Gribig di Jatinom, Klaten.Namun makam yang terakhir disebut ternyata tak ada kaitan langsung dengan Syekh Maulana Maghribi. Makam bagi orang Jawa sering menjadi sarana untuk menautkan hati dan jiwa ketika berdoa kepada Yang Mahakuasa agar keinginan dan niatnya terkabul. Makam dan petilasan keramat menjadi lantaran, semacam jalan bebas hambatan, agar doa mereka tidak terantuk-antuk oleh lumuran dosa-dosa dan ketidaksempurnaan amal mereka.Jika Syekh Maulana Maghribi kemudian menurunkan Sunan Ampel, maka Syekh Maulana Ishak yang makamnya berada di dekat Makam Syekh Maulana Maghribi di Gresik menurunkan Sunan Giri. Makam Syekh Jumadil Qubro sendiri tidak diketahui secara pasti keberadaannya, namun petilasannya bisa dijumpai di Trowulan, juga di Semarang dan di Desa Turgo, Kecamatan Turi, Jogja.Agak lama kami menunggu di serambi cungkup, sampai akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan cungkup tanpa mengambil foto makam karena tidak ada cara untuk menghubungi kuncen. Turun ke bawah lagi dari cungkup, tampak sebuah pendopo yang diterangi cahaya lampu listrik, namun belum terlihat ada orang di sana, mungkin jelang tengah malam nanti. Untuk menuju ke Makam Syekh Maulana Maghribi Parangtritis Bantul yang berjarak 26 km dari Yogyakarta, pejalan bisa naik angkutan umum dari Terminal Giwangan atau Umbulharjo ke jurusan Parangtritis dengan ongkos sekitar Rp10.000-an.Alamat : Dusun Pemancingan, Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -8.01961, 110.32695 Waze . Jam buka : 24 jam. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Tempat Wisata di Bantul
Pesisir selatan Yogyakarta bukan hanya soal wisata pantai semata. Di sana terdapat makam Syekh Maulana Maghribi. Nama ini, kelak, menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
***
Puluhan orang berjalan meniti anak tangga. Beberapa dari mereka hanya kuat berjalan beberapa langkah sebelum berhenti, memegang lutut, sambil mengeluarkan nafas tersengal.
Di beberapa bagian anak tangga, para pengemis duduk sambil menanti belas kasihan para pengunjung. Semakin naik, laut selatan akan semakin terlihat jelas. Begitu pun suara deburan ombaknya.
Susunan anak tangga ini memang tidak jauh dari pantai. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Orang-orang menaiki anak tangga ini bukan untuk melihat pemandangan pantai, melainkan demi sebuah ziarah ke makam seorang ulama besar.
Makam Syekh Maulana Maghribi. Demikian tulisan di gapura sebelum masuk anak tangga. Makamnya terletak di punggung perbukitan yang berada di dekat Pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Saya mengunjunginya pada hari Selasa (29/3/2022).
Berdasarkan informasi di situs Kementerian Kebudayaan, makam dengan nama yang sama berada di Cirebon dan Klaten. Nama ini, diidentikkan dengan Syekh Maulana Muhammad Maghribi.
Ia disebut sebagai anggota Wali Songo periode pertama dan diduga tiba di Jawa pada tahun 1404 Masehi. Peziarah dari berbagai daerah rutin datang ke lokasi makamnya yang berada di Dusun Mancingan, Bantul, Yogyakarta.
Makam sang ulama berada di sebuah cungkup. Di depannya, terdapat sebuah pendopo besar. Di kala sepi, pendopo ini bisa dimanfaatkan para peziarah untuk beristirahat sambil menikmati laut dari ketinggian. Tapi jika ramai, pendopo ini dijadikan tempat berdoa.
Nisan Syekh Maulana Maghribi berukuran besar dan diselubungi sebuah kain putih yang mulai menguning. Di dalam cungkup, masih ada satu kerangka kayu dan diselubungi kain berwarna hijau berkelir kuning, mirip tutup keranda jenazah umumnya.
Aroma bunga mudah tercium begitu masuk ke area cungkup. Di bagian depan, terdapat sebuah cerobong kecil tempat para abdi dalem membangkar kemenyan.
Penurun raja Jawa
Dalam berbagai silsilah Mataram Islam, jamak ditemukan nama-nama ulama di bagian atasnya. Salah satu yang berada paling atas adalah sosok bernama Syekh Jumadil Qubro yang makamnya di Bukit Turgo, Sleman. Selisih satu nama di bawahnya, ada Syekh Maulana Maghribi sebagai cucu.
Surakso Trirejo (53), salah satu abdi dalem makam, mengatakan bahwa Syekh Maulana Maghribi merupakan pendatang dari tanah Persia. Ia datang ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Surakso Trirejo atau kerap dipanggil Tri punya tafsir ihwal banyaknya lokasi makam sang syekh. Seperti di Gresik, Demak, Pekalongan, Cirebon, dan Klaten. Tri tak tahu pasti kapan Syekh Maulana Maghribi datang ke tanah Jawa dan menyebarkan Islam. Namun, ia mengatakan bahwa kemungkinan masa itu berada sebelum kemunculan Wali Songo.
“Mereka rombongan dari kota bernama Magrib lalu menyebar di berbagai tempat untuk berdakwah,” ucapnya.
Perihal kedatangan orang timur tengah sebagai penyebar agama Islam di Jawa pernah disinggung M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Menurutnya, fase kedatangan pedagang Islam di Jawa bisa dirunut sejak tahun 1200-an.
Misalnya di daerah Leran, Jawa Timur, ada nisan dengan nama arab yaitu “Maimun” bertulis tahun 1082 Masehi. Ditemukan pula beberapa makam dengan nama Arab di pemakaman Majapahit di Trowulan dari sekitar pertengahan tahun 1300-an.
Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menuliskan tahun 1250 Masehi sebagai awal masuknya Islam di Jawa. Nama Mulana Ibrahim pun turut tertulis dalam buku tersebut.
Nama itu, menurut Raffles, berasal dari Arabia dan pernah tinggal di Leran sebelum pindah ke Gresik. Ia disebut meninggal pada Senin, 12 Rabiul Awal 1334 tahun Jawa/Saka (sekitar tahun 1412 Masehi).
Keterangan Tri bahwa Syekh Maulana Maghribi berasal dari kota Maghribi pun masuk akal sebab ada daerah dengan sebutan demikian. Daerah itu berada di Afrika Utara meliputi Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mauritania. Penamaan daerah ini merujuk pada arti ‘barat’ dan tempat matahari tenggelam, ‘Maghrib’ dalam istilah Arab.
Berdasar cerita turun temurun, Syekh Maulana Maghribi berpindah-pindah lokasi selama hidupnya. “Jadi beliau tidak berada di sini sejak dulu kala,” ungkap Tri, “Tapi akhir hayatnya di sini dan dimakamkan di atas bukit sebagai bentuk penghormatan,” lanjutnya.
Kini, bangunan makam Syekh Maulana Maghribi berada dalam kewenangan Keraton Yogyakarta dan dijaga oleh 35 abdi dalem keraton. Abdi dalem di sini adalah kelompok yang sama dengan penjaga di Makam Syekh Bela-Belu dan Cepuri Parangkusumo. Penjagaan ini tidak lepas dari silsilah leluhur Mataram Islam dengan nama sang syekh di bagian atas.
“Simbah Syekh Jumadil Qubro dan Syekh Maulana Maghribi inilah yang kelak menurunkan raja-raja di Mataram,” kata Tri. Di bawah kedua nama tadi, berjajar aneka nama penguasa Jawa hingga di keturunan ketujuh muncul nama Danang Sutawijaya, pendiri Mataram Islam.
Berdasar bagan silsilah di makamnya, Syekh Maulana Maghribi beristrikan anak Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) yang bernama Roro Rosowulan. Ia merupakan saudara dari Sunan Kalijaga. Baik nama Wilatikta dan Kalijaga muncul dalam Babad Tanah Jawi (W.L. Olthof, 2017), namun tidak dengan nama Syekh Maulana Maghribi. Walaupun demikian, ada beberapa nama Arab yang berkelindan antara kedua nama tadi.
Tantangan syiar Islam
Kedatangan Syekh Maulana Maghribi ke pesisir selatan Jawa untuk berdakwah bukanlah tanpa kendala. Menurut cerita rakyat di sekitar makam, kedatangan sang syekh mulanya mendapat tentangan dari penguasa lokal penganut Buddha bernama Panembahan Selohening (versi cerita rakyat menuliskannya sebagai Begawan Selopawening). Ia adalah seorang pelarian asal Majapahit.
“Simbah Syekh Maulana Maghribi mengajak Panembahan Selohening untuk masuk Islam tapi sempat ditolak,” kata Tri.
Kedua sosok tadi lalu saling adu kekuatan dengan cara bermain delikan (petak umpet) dan memancing di laut. Panembahan Selohening mendapat ikan terlebih dahulu. Belakangan, Syekh Maulana Maghribi mendapatkan ikan dan sudah dalam kondisi siap makan dan berbau harum. Maka, Selohening mengakui kesaktiannya dan mengizinkan untuk menyebarkan agama Islam di daerah sana.
Ia juga menyerahkan padepokannya ke Syekh Maulana Maghribi dan pindah ke lokasi lain. Di bekas padepokan itulah, Syekh Maulana Maghribi membangun sebuah pesantren untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam.
“Panembahan Selohening bahkan memerintahkan pengikutnya untuk berguru ke Syekh Maulana Maghribi setelah tahu kesaktiannya itu,” kisahnya.
“Walaupun cerita rakyat, itu semua ada pengaruhnya di masa sekarang,” ungkap Tri. Nama Dusun Mancingan diperkirakan ada hubungannya dengan gelar adu memancing antar dua tokoh tadi. Alat pancing sang syekh belakangan ditancapkan di belakang makam dan menjadi serumpun bambu yang disebut pring sentana.
Ada peninggalan lain yang diduga berasal dari jejak perjalanan Maulana Maghribi di daerah sekitar makam. Peninggalan itu berupa sebuah sumur. Disebut sebagai sumur kawak oleh warga sekitar. Banyak orang percaya, sumur itu adalah tempat sang syekh berwudu di masa silam.
Kini, makam Syekh Maulana Maghribi menjadi salah satu destinasi wisata religi di area Pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Selain itu, lokasi ini juga telah ditetapkan menjadi situs cagar budaya sejak beberapa tahun belakangan.
Sebagai sebuah makam ulama, lokasi ini cukup tenar sebagai tujuan ziarah. Menurut salah satu abdi dalem, kebanyakan peziarah adalah jamaah pengajian di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kadang, ada pula rombongan kecil dari daerah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Ada makam ulama lain dekat lokasi makam Syekh Maulana Maghribi yakni makam Syekh Bela Belu dan Syekh Damiaking. Ada juga pemandian air panas parang wedang yang berjarak sekitar 500 meter dari makam. Di dekat tempat ini juga terdapat makam Panembahan Selohening.
Keberadaan makam Syekh Maulana Maghribi tidak sekadar menjadi salah satu obyek wisata religi. Menarik jauh ke belakang, mungkin benar kata De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa bahwa tempat sekitar muara Sungai Opak adalah tempat penting di masa lalu. Jauh sebelum Pemanahan datang ke Alas Mentaok, pesisir selatan Jawa sudah menggelar babadnya sendiri.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi
Terakhir diperbarui pada 1 Oktober 2022 oleh Agung Purwandono