CILEGON – Wakil walikota Cilegon Sanuji Pentamarta meresmikan gedung rumah quran Cilegon di lingkungan Perumahan Taman Raya, Kelurahan Gedong Dalem, Kecamatan Jombang, Sabtu (21/5/2021).
Dengan diresmikannya rumah Qur’an tersebut, Wakil walikota berharap dapat menjadi pencetak generasi-generasi yang hafal Al-Qur’an. Juga dapat mencetak generasi yang Islami, generasi yang Qur’ani dan generasi yang berakhlakul karimah.
“Pemerintah Kota Cilegon berterimakasih dan mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh yayasan rumah qur’an dengan membangun rumah qur’an. yang telah berkontribusi dalam pendidikan agama, terutama membentuk karakter generasi muda yang islami,” kata Sanuji usai meresmikan Gedung Rumah Qur’an.
Sementara itu Ketua Panitia Peresmian Gedung Rumah Quran Cilegon Asep Kurnia mengaku, didirikannya Gedung Rumah Quran Cilegon ini setelah adanya masyarakat yang mendaftar belajar menbaca quran dan tahfidz Quran yang menumpang di salah satu masjid dan juga menumpang di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Seiring berjalannya waktu, masyarakat yang ingin belajar quran dan tahfidz quran sangat tinggi serta kapasitas tempat yang tidak mampu menampung, akhirnya warga sekitar berinisiatif menggalangkan infak membangun Gedung Rumah Quran Cilegon.
“Alhamdulillah animo masyarakat yang hendak belajar membaca quran sangat tinggi, juga masyarakat bersemangat untuk membangun Gedung Rumah Quran yang dalam tempo waktu sepuluh bulan Gedung Rumah Quran bisa terbangun kokoh diatas lahan 134 meter persegi. Untuk peserta didik juga sudah mencapai 350 orang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang semuanya ada yang dari warga Komplek Taman Raya juga di luar Komplek Taman Raya, dan materi pembelajarannya satu guru enam murid,” ujarnya.
Selain telah diresmikannya Gedung Rumah Quran, Asep Kurnia juga mengungkapkan bahwa pihaknya melakukan penggalangan infak untuk mambantu rakyat di Palestina yang sampai saat ini masih diagresi militer oleh Israel.
“Kita targetkan hari ini hingga tiga hari kedepan penggalangan dana infak untuk membantu rakyat di Palestina dua dijit, dan alhamdulillah sampai saat ini dana infak yang sudah terkumpul sudah empat puluh satu juta rupiah,” tutupnya.(*/Red)
Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Beberapa hari yang lalu saya mengatakan, bahwa bulan Juli adalah bulannya rakyat Cilegon. Ada beberapa kawan bertanya, “apa maksudnya bulan Juli adalah bulannya rakyat Cilegon?”
Memang, sejarah tak lagi menarik untuk dipelajari. Perlahan, sebagian dari kita mulai meninggalkan, bahkan mulai mengabaikan sejarah. Padahal, sejarah merupakan identitas suatu bangsa. Identitas daerah.
Jika kita melupakan sejarah, bagaimana kita mengetahui identitas kita? Karenanya, sebelum saya jawab pertanyaan di atas, saya bakal jabarkan lebih dulu mengenai sejarah dan peristiwa apa yang terjadi di Cilegon tempo dulu.
CILEGON KOTA SANTRI
Sebutan Cilegon Kota Santri bukan isapan jempol semata. Di Kota Baja itu, berdiri dua Lembaga pendidikan Islam yang cukup berpengaruh bagi perkembangan Islam khususnya di Kota Cilegon.
Pertama, Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil. Pada awal berdirinya, lembaga ini berbentuk pesantren. Pesantren ini didirikan pada tahun 1916 oleh KH. Syam’un. Dalam sistem pembelajarannya pada saat itu, pesantren ini menggunakan sistem sorogan dan bandongan.
Selama kegiatan pembelajaran, KH. Syam’un mendidik dan menggembleng para santrinya dengan giat dan ketat. Hasilnya, lahirlah santri generasi pertama, seperti: KH. Ali Jaya (Delingseng), KH. Ahmad (Delingseng), KH. Muhammad (Nyamuk), KH. Moh. Nur (Kramatwatu), KH. Moh. Zein (Kramatwatu) dan lain-lain.
Pada tahun 1923-1925, KH. Syam’un pergi ke Makah untuk melaksanakan Ibadah Haji. Sambil melaksanakan Ibadah Haji, KH. Syam’un mengajar di Masjidil Haram. Ini yang kedua kalinya, KH. Syam’un menginjakkan kaki di tanah Makkah. Sebelumnya, pada tahun 1905-1910, KH. Syam’un mukim di Makah untuk menimba ilmu. Setelah itu, KH. Syam’un melanjutkan study di Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, dari tahun 1910-1915. Antara tahun 1923-1924 pesantren sempat terhenti (tutup). Para santri KH. Syam’un kembali ke daerahnya masing-masing guna mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Di tahun 1925, KH. Syam’un kembali ke tanah air, dan kemudian membuka kembali pesantren yang sempat tutup. Namun kali ini berbeda, pada tanggal 5 Mei 1925, KH. Syam’un mendirikan madrasah. Kemudian madrasah ini diberi nama Madrasah Al-Khairiyah. Nama Al-Khairiyah sendiri diambil dari nama bendungan di sungai Nil Mesir. Dengan semangat zaman, madrasah ini terus berkembang.
Dalam buku Perguruan Islam Al-Khairiyah Dari Masa Ke Masa (1984), dikatakan bahwa, pada tahun 1933, Madrasah Al-Khairiyah memiliki 15 cabang. Cabang-cabang ini dikelola oleh organisai Nahdlotusy Syubbanil Muslimin (organisasi pemuda Islam). Untuk mempersiapkan kader terbaiknya, pada tahun 1933, KH. Syam’un memberangkatkan dua siswa terbaiknya untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Abdul Fatah Hasan dan M. Syadeli Hasan, dua kakak beradik ini berangkat ke Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir.
Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1982, Al-Khairiyah memiliki 417 cabang. Cabang-cabang ini tersebar tidak hanya di wilayah Cilegon saja, akan tetapi tersebar di penjuru Nusantara. L. Soddard dalam Dunia Baru Islam (1966) mengatakan, pesantren-pesantren itu (Al-Khairiyah) mempunyai arti penting bagi kemajuan Islam di kemudian hari. Mereka mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang dapat menggerakan masa baru bagi generasi baru ummat Islam.
Kedua, Pesantren Al-Jauharotunnaqiyyah, Cibeber. Lembaga Pendidikan Islam ini didirikan oleh KH. Abdul Latif bin KH. Ali bin H. Said bin Ju’ju bin KH. Tb. Busamad bin Tb. Khaeruddin bin Tb. Aria Sentok bin Dakumanjaro bin Winangkajaya Mas Jayalalana bin Mas Mangun bin Nakhoda Bergos.
Sejak kecil, KH. Abdul Latif digembleng dengan susana Islam yang kuat. Beliau mempelajari Ilmu Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Tafsir dan lain-lain. Beliau belajar kepada KH. As’ad (Kyai Buntung), KH. Halimm, KH. Asnawi dan KH. Suchari Taif.
Pada tahun 1912, KH. Abdul Latif bersama istrinya pergi ke Makah dan bermukim di sana selama kurang lebih 6 tahun. Di Makah, KH. Abdul Latif memperdalam keilmuan pada para ulama-ulama masyhur. Di tahun 1918, KH. Abdul Latif kembali ke Banten dan mempelajari Tarekat pada KH. Asnawi Caringin.
Pada tahun 1924, KH. Abdul Latif mendirikan Madrasah yang diberi nama Tarbiyatul Athfal. Madrasah ini terdiri dari enam lokal. Karena keadaan bangunan madrasah kurang luas, maka pada tahun 1931 dibangun madrasah yang lebih besar. Madrasah ini terdiri dari sepuluh Lokal. Madrasah ini diberi nama Al-Jauharotunnaqiyyah.
Dalam catatan yang ditulis oleh Prof. KH. Yunus Ghazali, madrasah dan pesantren Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber mencapai titik optimalnya sekitar tahun 1953 sampai 1960. Tercatat jumlah pelajar seluruhnya mencapai 1.700 siswa per tahun. Para siswa tidak hanya dari Banten saja, melainkan dari berbagi wilayah di Indonesia. Seperti dari Lampung, Jakarta, Palembang, Cirebon, Purwakarta, Tegal, Pekalongan, Semarang.
Selain mengajar para santri, KH. Abdul Latif juga seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab. Di antara kitab yang ditulis oleh beliau yaitu: Taudlukhul Ahkam, Irsyaadul Anaam, Bayaanul Arkaan, Adaabul Marah, Tauqil Tauhid, Kifaayatul Sibyan, Matanus Sanusiyah, Mu’awanatul Ikhwan, Sirah Sayyidil Mursalin, Munabbihat, Sejarah Banten, Tajwid Jawa, Tafsir Juz’amma, Mawaa’dzul ‘Ushfuryah, Tafsir Surat Yasin (Berbahasa Jawa Banten).
Wajar saja jika Cilegon disebut Kota Santri. Kedua lembaga pendidikan inilah yang mempunyai banyak pengaruh terhadap perkembangan Islam di Cilegon. Mayoritas madrasah di Kota Cilegon berdiri di bawah naungan kedua Perguruan Islam tersebut. Tidak sedikit para santri yang telah mengeyam pendidikan di kedua lembaga itu pulang, lalu mendirikan pesantren atau madrasah di tanah kelahirannya masing-masing. Inilah bukti bahwa kedua lembaga itu mengajarkan para santrinya untuk terus mengabdi bagi agama dan bangsa.
GEGER CILEGON
Lantas, apa hubungannya antara bulan Juli adalah bulannya rakyat Cilegon, dengan Kota Santri serta kedua lembaga tersebut?
Pada tanggal 9 Juli 1888, terjadi perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda, tepatnya di distrik Cilegon. Perlawanan ini dipimpin oleh para Kiai, seperti: KH. Wasyid, KH. Tb. Ismail, KH. Marjuki, KH. Arsyad Thawil, KH. Ahya dan lain-lain. Dalam tradisi lisan masyarakat Cilegon, Peristiwa ini dikenal dengan “Geger Cilegon”.
Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984), pemberontakan ini merupakan gerakan mesiantis, yaitu gerakan yang mengharapkan datangnya Imam Mahdi atau Ratu Adil yang akan membebaskan dari cengkaraman kolonial. Sedangkan menurut Nina H. Lubis dalam Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (2003), Gerakan perlawanan 1888 ini adalah gerakan semangat perang sabil. Para Kiai atau para ulama menjadi motor penggerak utama perlawanan.
Sartono Kartodirdjo melihat munculnya peristiwa Geger Cilegon 1888 dari berbagai aspek; alam, ekonomi, sosial, politik, keagamaan. Antara tahun 1882 dan 1884, Banten mengalami dua malapetaka yang menyengsarakan rakyat Banten, yaitu kelaparan dan penyakit sampar yang menyerang binatang ternak. Pada tahun 1883, Banten diguncang dengan meletusnya Gunung Krakatau. Kejadian ini menambah derita rakyat Banten.
Kondisi rakyat Banten juga diperparah dengan sistem perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Pasca meletusnya Gunung Krakatau, pajak tanah dinaikkan menjadi f.125.000,- Kemudian pada tahun 1884 pajaknya kembali dinaikkan. Dalam Catatan Masa Lalu Banten (1993), Halwany Michrob menuliskan, pajak-pajak yang dikenakan kepada seluruh penduduk negeri meliputi; pajak tanah pertanian, pajak perdagagan, pajak perahu, pajak pasar dan pajak jiwa. Para pegawai pemungut pajak tidak mengenal kondisi ekonomi rakyat yang saat itu sedang jatuh, ditambah lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para pegawai pajak. Keadaan inilah yang menambah rasa benci rakyat terhadap pemerintahan kolonial.
Dalam sejarah lisan yang berkembang di masyarakat Cilegon, peristiwa Geger Cilegon 1888 dilatarbelakangi oleh beberapa faktor: Pertama, diadilinya KH. Wasyid karena menebang pohon di Desa Lebak Kelapa yang digunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat pemujaan. Di depan pengadilan kolonial, KH. Wasyid dituntut bersalah dan dikenakan hukuman denda karena dianggap melanggar hak orang lain. Kedua, dirubuhkannya menara masjid Jombang atas perintah Asisten Residen Gubbels. Gubbels berpendapat, bahwa menara masjid itu mengganggu kententraman masyarakat dan harus rubuhkan. Kedua faktor inilah yang menambah kebencian rakyat dan menyebabkan para Kiai dan santri melakukan perlawan terhadap pemerintah kolonial.
Setelah menyusun rencana dan melakukan lobi-lobi dengan para Kiai lain di beberapa wilayah di Banten, pada tanggal 9 Juli 1888, meletuslah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Banten kepada pemerintahan kolonial di Distrik Cilegon dari arah selatan, pasukan dipimpin oleh KH. Tb. Ismail dari Gulacir. Didampingi oleh H. Ishak, pasukan ini bergerak dari Seneja. Sedangkan pasukan dari utara dipimpin oleh KH. Wasyid. Yang menjadi sasaran dalam perlawanan ini yaitu orang-orang Eropa dan para pribumi yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan.
Akibat peristiwa ini, korban meninggal mencapai 17 orang. Di antara para pejabat yang terbunuh; Gubbels (Asisten Residen Anyer ), H.F. Dumas (Juru tulis di Asisten Residen), Raden Purwadiningrat (Ajun Kolektor), Mas Kramadireha (Sipir Penjara Cilegon) dan Ulric Bachet (Kepala Pejualan Garam).
Peristiwa ini berakhir dengan penangkapan yang dianggap memberontak. Pasukan KH. Wasyid berhasil dilumpuhkan oleh pasukan kolonial Belanda. Sekitar 94 orang pejuang Geger Cilegon menjalani hukuman pembuangan dan sebagian pejuang Geger Cilegon yang tertangkap menjalani hukuman gantung.
Peristiwa yang menggegerkan pemerintahan kolonial Belanda ini menjadi bukti, bahwa rakyat nusantara, khususnya Banten, menginginkan kebebasan dan kemerdekaan. Mereka ingin melepaskan diri dari cengkraman pemerintahan orang-orang kafir (mengharapkan berdirinya kembali Kesultanan Islam Banten). Meskipun perlawanan ini gagal dan mengalami kekalahan, menurut Sartono Kartodirdjo, para pejuang telah memberi suri tauladan bagi semua warga negara bagaimana menjalankan pengabdiannya untuk kepentingan masyarakat dan rakyat.
Jika KH. Syam’un dan KH. Abdul Latif dikaitkan dengan peristiwa Geger Cilegon 1888, maka terdapat hubungan yang sangat erat sekali. Kedua Kiai itu merupakan keturunan para pejuang Geger Cilegon. KH. Syam’un merupakan cucu KH. Wasyid, pemimpin geger Cilegon. Sedangkan KH. Abdul Latif, adalah keturunan dari KH. Ali yang diasingkan ke Amboina (Ambon), Maluku.
Tujuan dari rekonstruksi sejarah bukan hanya sekadar untuk identitas semata, rekonstruksi sejarah bertujuan untuk mengedukasi dan menginspirasi. Baik KH. Syam’un ataupun KH. Abdul Latif, kedua ulama ini mewarisi api semangat juang para pendahulunya. Jika pada masa sebelumnya senjata tak berdaya menghadapi penjajahan, maka, ilmu pengetahuanlah alat lain untuk melawan penjajahan itu.
Saya masih teringat ketika duduk di bangku kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada mata kuliah Sejarah Islam Indonesia yang diampu oleh Prof. Ahmad Mansur Suryanegara. Ia berpesan kurang lebih seperti ini: “Ambillah warisan Api para pejuang itu, jangan ambil abunya!”