Asal usul pantai watu ulo

Gundana

Merdeka.com – Watu Ulo adalah nama salah satu pantai yang ada di wilayah kabupaten Jember. Selama ini Watu Ulo telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik dari daerah Jember maupun di luar Jember. Selain karena keindahan pantai serta pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya, ada satu ciri khas lagi yang membuat pantai Watu Ulo menjadi sangat istimewa. Hal itu tak lain adalah susunan batu panjang yang menjorok ke pantai dan menyerupai bentuk ular.

Tak diragukan lagi, susunan batu yang memanjang dan menyerupai ular itulah yang membuat pantai ini kemudian dikenal khas dengan sebutan Watu Ulo. Jika Anda pernah berkunjung ke sana, Anda akan melihat sendiri bahwa batu tersebut tak dijuluki ‘watu ulo’ atau ‘batu ular’ tanpa sebab. Selain bentuknya yang memanjang menyerupai ular, struktur batu tersebut juga mirip dengan sisik ular.

Keunikan struktur batu tersebut memunculkan banyak legenda serta cerita mengenai asal-usulnya. Salah satunya adalah yang dituturkan langsung oleh Anshori, penjaga Pantai Watu Ulo pada merdeka.com, Minggu (07/09) lalu.

Konon, dipercaya bahwa wilayah pantai selatan tersebut dihuni oleh Nogo Rojo yang berwujud ular raksasa. Nogo Rojo yang menguasai wilayah pantai ini memakan semua hewan yang ada di dalamnya, hingga masyarakat tidak bisa mendapatkan makanan dari tepat tersebut.

Lantas, tersebutlah dua orang pemuda bernama Raden Said dan Raden Mursodo yang bersaudara. Kedua pemuda tersebut adalah anak angkat dari Nini dan Aki Sambi, pasangan yang sudah berusia cukup tua. Raden Said dalam cerita ini dipercaya sama dengan Raden Said yang nantinya dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Singkat cerita, legenda mengatakan bahwa kedua pemuda tersebut memancing di tempat Nogo Rojo tinggal. Karena semua hewan di sana telah dimakan oleh Sang Ular Raksasa, maka kedua pemuda tersebut tak berhasil mendapatkan ikan satu pun. Hingga akhirnya, kail Raden Mursodo berhasil mengait satu ikan yang disebut ikan mina.

Ikan mina itu ternyata bisa berbicara. Dia meminta agar dilepaskan dan tidak dibunuh untuk dijadikan makanan. Sebagai gantinya, ikan mina tersebut akan memberikan sisik yang bisa berubah menjadi emas untuk Raden Mursodo. Raden Mursodo menyetujuinya dan melepas ikan mina itu kembali ke laut.

Namun tak berapa lama kemudian, ternyata muncullah Nogo Rojo dan langsung memakan ikan mina yang sudah dilepaskan oleh Raden Mursodo. Geram, Raden Mursodo segera melawan Sang Ular Raksasa dan membelah tubuhnya menjadi tiga bagian. Inilah yang menjadi asal-muasal terbentuknya Watu Ulo di pantai Jember.

Saking besarnya, tiga bagian ular raksasa itu terpencar. Bagian badannya berada di Pantai Watu Ulo Jember, bagian kepalanya berada di Grajakan Banyuwangi, dan bagian ekornya berada di Pacitan. Potongan tubuh Nogo Rojo itulah yang kemudian hingga saat ini dipercaya menetap di pantai Watu Ulo dan menjelma menjadi batu-batuan yang menjorok ke laut.

BACA JUGA:   Terbaik Wisata Pantai Kekwa Dengan 9 Foto

Meski mitos ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah, namun ada fakta-fakta unik yang membuat masyarakat percaya dengan mitos tersebut. Salah satunya adalah bahwa panjang batu yang seperti ular tersebut diketahui sangat panjang dan besar.

Panjang Watu Ulo dari pesisir yang menjorok ke laut yang berada di atas pasir dan di bawah air adalah sekitar 500 meter. Namun besar watu ulo yang berada di bawah pasir masih belum diketahui hingga kini. Bahkan diyakini bahwa panjang watu ulo dari pesisir ke daratan bisa menembus sampai ke hutan di sekitar kawasan Watu Ulo dan Teluk Papuma.

Versi lain dari mitos Watu Ulo adalah bahwa batu panjang tersebut merupakan perwujudan naga yang sedang tertidur dan bersemedi. Naga tersebut diutus oleh Ajisaka untuk bersemedi, dan nantinya dipercaya bahwa naga itu akan terbangun dan menjadi manusia. Versi ini ada dalam buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia, karya Dr Sukatman M.Pd.

Apapun versinya, mitos dan legenda yang beredar tentang fenomena unik alam seperti Watu Ulo tentunya sangat menarik untuk digali. Legenda semacam ini juga menjadi kekayaan tersendiri bagi kebudayaan dan folklore masyarakat Indonesia. Jika ingin membuktikan semirip apa batu memanjang tersebut dengan tubuh ular, datanglah ke Pantai Watu Ulo di Jember, Jawa Timur! [kun]

Baca juga:
Rute menuju Pantai Watu Ulo dari Bandara Juanda
Watu Ulo, pesona pantai mistis di selatan Jember

Padas Bajul, batu jelmaan siluman buaya penunggu sungai

Fenomena air berkhasiat di Pemandian Patemon

Rahasia di balik kemurnian sumber air Patemon

Legenda cinta Dewi Rengganis dan Andi Sose di Pemandian Patemon

Koordinat:

Rangkaian batu karang di Pantai Watu Ulo

Pantai Watu Ulo adalah sebuah Pantai yang terletak di pantai selatan Jawa Timur, tepatnya di desa Sumberejo, kecamatan Ambulu, Jember. Mayoritas penduduk di Pantau Watu Ulo berasal dari etnis Madura dan kebanyakan berprofesi sebagai nelayan dan petani.

Asal Usul Nama Pantai Watu Ulo

[

sunting

|

sunting sumber

]

Nama Pantai Watu Ulo berasal dari bahasa Jawa, yaitu “Watu” yang berarti Batu dan “Ulo” yang berarti Ular. Jadi Pantai Watu Ulo dapat diartikan sebagai Pantai Batu Ular. Dan yang melatarbelakangi penyebutan nama Watu Ulo sendiri tidak lain karena Batu panjang menyerupai bentuk ular di sisi pantai yang menjorok ke laut.

Susunan batu di pantai ini yang berbentuk seperti luar

Ada yang mengatakan bahwa pantai ini dulunya dikuasai oleh Sesosok Ular raksasa yang bernama Nogo Rojo. Nogo Rojo dalam bahasa Indonesia berarti “Raja Naga”. Dan Nogo Rojo tersebut bertarung dengan penduduk setempat karena perebutan wilayah. Nogo rojo pun akhirnya berhasil dikalahkan dan tubuhnya dibelah menjadi tiga. Batu bersisik yang menyerupai ular inilah yang akhirnya dipercaya sebagai potongan dari tubuh Nogo Rojo Yang terbelah.

BACA JUGA:   Wisata edukasi purwakarta

Di sisi lain ada yang mengkisahkan versi yang berbeda, di mana sosok Nogo Rojo adalah utusan Ajisaka yang hingga saat ini masih ada di pantai tersebut untuk bertapa dengan tubuh yang sudah tidak lengkap, di mana kepala dari Nogo Rojo berada di Banyuwangi sedangkan yang berada di Pantai Watu Ulo adalah bagian badan dan ekornya.

Watu Ulo” berarti “Batu Ular” dalam Bahasa Jawa. Nama ini mengacu pada rangkaian batu karang yang memanjang dari pesisir pantai ke laut. Di pantai ini juga terdapat aneka penjualan kerajinan dari laut seperti karang, bekas rumah kelomang dan lain – lain.

  • Setiap tanggal 1 sampai 10 Syawal, setelah Lebaran, diadakan pekan raya dengan acara hiburan dan penjualan hasil kerajinan Nelayan setempat.Upacara Petik Laut atau Larung Sesaji atau juga “Hari Raya Ketupat” diadakan setiap tanggal 7 Syawal. Dalam upacara ini masyarakat nelayan setempat melemparkan sesaji ke laut. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa terima kasih.

Lokasi Pantai Watu Ulo Jember

[

sunting

|

sunting sumber

]

Watu ulo berada di ujung selatan Kabupaten Jember Jawa Timur, tepatnya di desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember Jarak Pantai dari pusat kota Jember adalah 40 km. Untuk sampai ke lokasi wisata, dapat ditempuh dari 2 arah, yaitu dari timur ( Banyuwangi ) dan dari Barat ( Lumajang ).

Sebuah Gapura untuk menuju ke Pantai Watu Ulo

Pranala luar

[

sunting

|

sunting sumber

]

Pantai Watu Ulo Jember Diarsipkan 2019-07-13 di Wayback Machine.

Pantai Watu Ulo merupakan salah satu pantai yang berada di pesisir Selatan Jawa tepatnya di Kabupaten Jember. Terdapat cerita rakyat yang tumbuh di wilayah tersebut.

Deskripsi

[

sunting

]

Dahulu kala, di daerah selatan Jember berdirilah kerajaan yang dikelilingi hutan lebat, bernama Ardi Kencana yang dipimpin oleh Prabu Palpana, yang masih termasuk kerabat keturunan bangsawan Kerajaan Majapahit. Prabu Palpana memerintah dengan adil dan bijaksana. Ia sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Tak heran jika ia disanjung oleh rakyatnya. Rakyat hidup makmur dari hasil bumi dan hutan, membuat mereka hidup tenteram. Sementara itu, jauh di sebuah gua di dalam hutan, terdapat seekor naga sakti yang sedang bertapa. Naga tersebut merupakan penjelmaan dari pengawal Ratu Laut Selatan yang dikutuk karena melanggar perintah. Ia telah berubah menjadi naga yang bertapa selama sepuluh tahun. Setelah masa pertapaannya usai, naga tersebut merasa sangat lapar. Semua hewan yang ada di hutan dimakannya. Penduduk desa sekitar hutan itu lama-lama menjadi heran, pasalnya hewan buruan yang dulu melimpah kini seakan-akan lenyap.

BACA JUGA:   Kuliner surabaya yang wajib dicoba

Penduduk desa tersebut belum mengetahui jikalau terdapat seekor naga yang sedang kelaparan. Karena semua hewan di hutan hampir habis dimakannya, naga kemudian mendekati rumah penduduk. Ia mencuri ternak peliharaan warga. Sesudah itu, naga tersebut juga mulai mengincar anak-anak, hingga para penduduk sadar akan kekacauan yang sedang terjadi. Para penduduk kemudian mengutus salah atu dari mereka untuk pergi ke kerajaan melaporkan perihal yang terjadi kepada Prabu Palpana. Prabu Palpana sangat terkejut mendengar laporan itu dan segera memerintahkan para prajurit untuk menumpas naga besar tersebut. Para prajurit berangkat ke hutan tempat tinggal naga. Mereka berusaha keras untuk membunuh naga, tetapi gagal.Bahkan, banyak di antara mereka yang terluka parah. Prabu Palpana sangat murka mengetahui keberingasan naga itu. Ia kemudian memutuskan untuk menemui Wiku Darmaji, seseorang yang sangat sakti, meskipun penasihat raja mengingatkan untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu karena watak dari Wiku Darmaji tersebut. Lalu, berangkatlah Prabu Palpana ke tempat kediaman Wiku Darmaji. Wiku Darmaji terkesan melihat kerendahan hati sang Raja. Oleh karena itu, ia tidak menolak dan menyanggupi diri untuk membantu rajanya mengatasi naga pengacau tersebut.

Wiku Darmaji langsung berangkat ke hutan itu. Si Naga melihat kedatangan Wiku Darmaji. Ia kemudian langsung berlari menyembunyikan diri sampai di pantai. Di tepi pantai, naga itu berteriak-teriak minta tolong pada Ratu Laut Selatan. KSesaat kemudian Ratu Laut Selatan muncul. Ia terlihat cantik dan anggun. Gelombang laut yang bergulung-gulung ke arah pantai, menyibak ketika hendak menerpa tubuh sang Ratu. Si Naga kemudian mengadu kepada Sang Ratu. Tetapi Ratu Laut Selatan memberikan syarat kepada Si Naga supaya menambah masa pertapaannya selama 40 hari 40 malam di sekitar pantai tersebut. Si Naga mengeluh panjang tetapi akhirnya ia pergi mencari tempat untuk melanjutkan pertapaannya.

Di pusat kerajaan, Prabu Palpana masih gusar karena naga itu belum tertangkap. Ia kemudian melakukan siasat bersama Wiku Darmaji. Wiku Darmaji mengusulkan untuk segera menemui Si Naga di tempat pertapaannya di dekat pantai. Kemudian Prabu Palpana bersama pasukannya berangkat menuju pantai Laut Selatan dan menemukan lokasi persembunyian Si Naga. Di sana naga tersebut tampak sedang bertapa. Ekornya memanjang berlenggok-lenggok. Matanya terpejam menyisakan napasnya saja. Prabu Palpana kemudian segera memenggal kepala naga itu. Kepala naga itu melayang jauh ke arah timur. Kemudian kepala itu mendarat di Pantai Grajagan, Banyuwangi. Begitu Prabu Palpana membuang kepala naga, tubuh naga tersebut berangsur-angsur mengeras dan berubah menjadi batu.

Also Read

Bagikan: