Kesultanan yogyakarta terbagi 2 yaitu

Gundana

KOMPAS.com – Keraton Yogyakarta adalah istana dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Keraton ini didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1755, setelah Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua.

Fungsi Keraton Yogyakarta kurang lebih sama dengan Keraton Surakarta, yaitu dijadikan tempat tinggal para rajanya yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi kesultanan.

Selain itu, kompleks bangunannya juga dijadikan objek wisata bersejarah di Kota Yogyakarta.

Sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta bermula dari terbaginya Kerajaan Mataram Islam pada 1755 lewat Perjanjian Giyanti.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta untuk Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Nagari Kasunanan Surakarta diserahkan kepada Pakubuwono III.

Sultan Hamengku Buwono I kemudian mulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755.

Pembangunan keraton dimulai oleh Sultan Hamengku Buwono I, yang juga berperan sebagai arsiteknya.

Selama proses pembangunan yang berlangsung hampir satu tahun, Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarganya tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang.

Pembangunan keraton dilakukan dengan penuh pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan, sosial, ekonomi, budaya, maupun tempat tinggal.

Selain keraton, dibangun pula sarana kelengkapan yang lain, seperti benteng, kompleks Tamansari, Masjid Gedhe, dan Pasar Gedhe.

Sultan Hamengku Buwono I resmi menempati keraton pada 7 Oktober 1756.

Baca juga: Kerajaan Mataram Islam: Pendiri, Kehidupan Politik, dan Peninggalan

Kompleks Keraton Yogyakarta dibagi dalam tiga halaman yang membujur dari arah utara ke selatan.

Halaman-halaman tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa halaman yang lebih kecil dan juga terdapat beberapa bangunan di dalamnya.

Setiap bangunan keraton memiliki corak arsitektur yang khas dan mengandung makna simbolik yang berbeda-beda.

Halaman pertama

Halaman ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu Alun-Alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil utara, Kemandungan utara, dan Sri Manganti.

Di sebelah barat Alun-Alun Utara tersebut terdapat Kompleks Masjid Gedhe Kasultanan atau Masjid Gedhe Kauman.

Halaman kedua

Halaman kedua adalah kedaton, yang mempunyai bangunan-bangunan penting seperti Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedong Purworetno, Gedong Jene, Trajutrisno, Bangsal Manis, Kasatriyan, Keputren, Kedaton Kilen, dan Kedaton Wetan.

Halaman ketiga

Halaman ketiga adalah Magangan, Kemandhungan selatan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun Selatan.

Selain itu, terdapat pula Taman Sari, Kadipaten, Benten Baluwerti, dan bangunan lain yang berada di luar lingkungan keraton.

Meski berada di luar lingkungan keraton, bangunan seperti Tugu Golong Gilig, Panggung Krapyak, Kepatihan, Pathok Negoro, dan Pasar Bering Harjo merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Gambar 01.Naskah Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai pecahnya Mataram Islam. Awal mula kisah perpecahan kerajaan di Jawa ini bermula dari pertikaian antar keluarga yang disebabkan politik adu domba VOC. Konflik saudara tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II (raja pendiri dari Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah sati cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. Alasan utamanya ialah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745.  Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak. Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.

Pada 20 Desember 1749 Pakubuwono II wafat. Kekosongan pemerintahan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam. Mengetahui hal tersebut maka VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.Situasi memanas ketika VOC  mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut.  VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya. Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwan III.

Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengudang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama VOC dengan kesultanan. Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta  Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. dengan demikian, maka Riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.

Gambar 02. Kasunanan Surakarta

Gambar 03. Kasultanan Ngayogyakarta

Sebagai wujud nyata dimana telah berlangsungnya kesepakatan atas Perjanjian Giyanti ini maka dibangunlah Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah. Wujud situs ini berupa batu prasasti dan juga terdapat pohon beringin.

Gambar 04. Monumen Perjanjian Giyanti

Sumber referensi:

Mardiyono., P. 2021. Genealogi Kerajaan Islam di Jawa. Yogyakarta: Araska.

Sujarweni, V. Wiranata. 2021. Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Woodward , Mark R.  2004. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LkiS.

13.03/26/07/2021

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bahasa Jawa: ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, translit. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Pegon: كسلطانن ڠايوڮياكارتا هادنڠرت) adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, pendiri Kesultanan Yogyakarta yakni Pangeran Mangkubumi resmi diangkat sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwana I. Usaha-usaha untuk meredam peperangan yang terjadi di Jawa saat itu berakhir dengan perjanjian damai di Giyanti yang kemudian dikenal oleh rakyat Jawa sebagai bentuk Palihan Nagari (pembagian negara), atau dikenal juga sebagai Perang Takhta Jawa Ketiga.

Perjanjian Giyanti

[

sunting

|

sunting sumber

]

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa “ ingkang jumeneng kaping…ing Ngayogyakarta Hadiningrat ” (bahasa Indonesia: “yang bertakhta ke …. di Yogyakarta”). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.

Wilayah dan penduduk

[

sunting

|

sunting sumber

]

Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibu kota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).

Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta. Wilayah Kesultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kabupaten Kota Pakualaman).

BACA JUGA:   Wisata alam di indonesia yang mendunia

Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kesultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan politik

[

sunting

|

sunting sumber

]

Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purwaretna. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan

Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[7]

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan(2) Kanayakan Keparak Tengen,yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan(4) Kanayakan Gedhong Tengen,yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.

Kementerian urusan luar adalah

(5) Kanayakan Siti Sewu, dan(6) Kanayakan Bumijo,yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;(7) Kanayakan Panumping, dan(8) Kanayakan Numbak Anyar,yang keduanya mengurusi pertahanan.

Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama, Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibu kota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.

Setidaknya sampai 1792 Kesultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kesultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninklijk der Nederlanden, dengan status swapraja (zelfbestuurende landschappen). Selain itu, pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon sultan yang akan bertakhta. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V hingga Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Hamengkubuwana IX melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Ia membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan sultan. Dengan perlahan namun pasti, ia memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.

Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara

, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danureja VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Hageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor. Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau anak keturunan Sultan.

Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi kesultanan pada Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern sebagai provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Hukum dan peradilan

[

sunting

|

sunting sumber

]

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan, yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.

  • Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
  • Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
  • Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
  • Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.

Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kesultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradata sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradata dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kesultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan agraria

[

sunting

|

sunting sumber

]

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.

BACA JUGA:   Museum gunung merapi mbah maridjan

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 di masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusa oleh Jepang.

Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

[

sunting

|

sunting sumber

]

Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Semang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.

Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.

Para penari tarian, sekitar tahun 1870.

Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).

Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pendidikan dibuka untuk umum. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dengan nama SD Negeri Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Muncul pula sekolah guru dari kalangan Muhammadiyah Hogere School Moehammadijah pada 1918 (kini bernama Muallimin). Pada 1946 kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca: kejawen) masih tetap dianut rakyat meski menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan tetapi doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun 1912 seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam Muhammadiyah dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman, Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para imam kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan keamanan

[

sunting

|

sunting sumber

]

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu, untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Mancanagara.

Pada paruh kedua abad ke-18 sampai awal abad ke-19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi, namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan adipati anom dan para pangeran, serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat peristiwa Geger Sepehi pada Juni 1812, dan ditandatanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya Perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri, Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam Perang Pasifik, Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Prajurit Kraton Yogyakarta

[

sunting

|

sunting sumber

]

Brigade Prajurit Nyutra

Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.[8]

Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda pada masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemuliaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Prajurit Mantrijero.

Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.

  1. Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
  2. Abdi Dalem Prajurit Dhaeng
  3. Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
  4. Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
  5. Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
  6. Abdi Dalem Prajurit Nyutra
  7. Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
  8. Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
  9. Abdi Dalem Prajurit Bugis
  10. Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
  11. Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
  12. Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
  13. Abdi Dalem Prajurit Jager
  14. Abdi Dalem Prajurit Suranata
  15. Abdi Dalem Prajurit Suragama

Akhir riwayat

[

sunting

|

sunting sumber

]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari “negara” dan diteruskan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta.

BACA JUGA:   Taman bermain wonderia semarang

Keraton Yogyakarta

[

sunting

|

sunting sumber

]

Pendapa Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.

Istana atau Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sultan Hamengkubuwana I saat mendirikan Kesultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah

(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Masjid Ageng, dan Pagelaran;(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;(3) Kompleks Kamandhungan Lor;(4) Kompleks Sri Manganti;(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Kasatriyan, Kaputren, dan Karaton Kilen;(6) Kompleks Kamagangan;(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya.

Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.

Masalah suksesi Kraton

[

sunting

|

sunting sumber

]

Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama[9] pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah “menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;” yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan selanjutnya.

Pada tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan sabdaraja pertama kalinya yang berisikan lima poin sebagai berikut.[10][11][12]

  • Perubahan gelar. Buwono (Buwana) diubah menjadi Bawono (Bawana).
  • Gelar Khalifatullah dihapuskan, serta penambahan frasa Suryaning Mataram.
  • Kaping sadasa diubah menjadi Kasepuluh.
  • Pengubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan pendiri Mataram, Ki Ageng Pamanahan.
  • Keris Kyai Kopek disempurnakan menjadi Keris Kyai Jaka Piturun.[13]

Gelar baru Sultan setelah sabdaraja, yaitu: Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. [14][15]

Pada tanggal 5 Mei 2015, Sultan mengeluarkan dhawuhraja kedua kalinya yang berisikan salah satu putri pertamanya, GKR Pembayun diangkat menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram

Kejadian ini menuai kontroversi dari keluarga Kraton. Anak dan adik-adik Sultan berziarah makam di Pemakaman Imogiri dengan tujuan meminta maaf kepada leluhur keluarga raja-raja Mataram terkait Sabdaraja tersebut.[16]

Ngudar sabda

[

sunting

|

sunting sumber

]

Pada tanggal 31 Desember 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan ngudar sabda sebagai berikut:[17]

  • Ngudar sabda adalah berdasarkan perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
  • Pewaris tahta tidak bisa diturunkan kecuali putra/inya.
  • Siapa pun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut gelar dan kedudukannya.
  • Siapa pun yang tidak sependapat dengan pernyataannya dipersilakan pergi dari Bumi Mataram.

Daftar raja-raja kesultanan Yogyakarta

[

sunting

|

sunting sumber

]

Daftar raja-raja Yogyakarta

Peristiwa penting

[

sunting

|

sunting sumber

]

  • 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
  • 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
  • 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
  • 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
  • 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
  • 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
  • 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
  • 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
  • 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
  • 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
  • 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.
  • 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
  • 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
  • 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali takhtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
  • 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
  • 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
  • 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
  • 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
  • 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
  • 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
  • 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
  • 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
  • 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.

Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)

  • 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
  • 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
  • 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
  • 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
  • 1867, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
  • 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
  • 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.

Peta tahun 1945

  • 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikembalikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • 2015, krisis suksesi yang notabene merupakan urusan internal Kraton memuncak, hingga akhirnya Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang berisi perubahan gelar Sultan menjadi Hamengkubawana X. Selain itu, juga mengangkat putri sulungnya sebagai putri mahkota dengan gelar GKR Mangkubumi.
  • ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
  • Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan tempat tinggal raja dan keluarganya.
  • Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
  • Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
  • Kutagara: lihat Nagari
  • Kuta nagara: lihat Nagari
  • Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
  • Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari, tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
  • Nagari: Teritori ibu kota, tempat kedudukan Parentah Jawi dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi kerajaan.
  • Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian pemerintahan dalam istana.
  • Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari (teritori ibu kota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
  • Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton (istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat Parentah Ageng Karaton.
  • Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
  • Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
  • Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat, mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara, dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
  • Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara atau putra Sultan.
  • Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji bulanan.

Lihat pula

[

sunting

|

sunting sumber

]

Bacaan lanjutan

[

sunting

|

sunting sumber

]

  • Chamamah Soeratno et. al. (ed) (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. 979-96906-0-9.

     

  • P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5.

     

  • S. Margana (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan The Toyota Foundation.

     

Pranala luar

[

sunting

|

sunting sumber

]

Didahului oleh:
Kesunanan Surakarta HadiningratKesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1755–1813Diteruskan oleh:

Kadipaten Pakualaman

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Didahului oleh:

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1813–1950Diteruskan oleh:
Daerah Istimewa Yogyakarta

Also Read

Bagikan: