Legenda gunung nona enrekang

Gundana

Liputan6.com, Enrekang – Enrekang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang memiliki hamparan pegunungan yang luas. Salah satunya yang cukup terkenal yakni hamparan Gunung Nona Bambapuang yang bentuk permukaannya dikaitkan seperti alat kelamin wanita.

Namun di balik keunikan yang dimilikinya itu, Gunung Nona Bambapuang atau lebih dikenal oleh masyarakat Sulsel dengan sebutan Buntu Kabobong punya cerita tersendiri yang hingga saat ini masih dijaga kesakralannya.

Kakek Aswar, warga asli Kabupaten Enrekang, yang tempat tinggalnya tak jauh dari kaki gunung tersebut mengatakan, keunikan bentuk permukaan Buntu Kabobong tak serta merta jadi begitu saja. Melainkan, kata dia, bentuk permukaan Buntu Kabobong menyerupai alat kelamin wanita karena ada sebuah peristiwa yang terjadi pada zaman itu.

Menurut cerita rakyat yang ada, kata dia, di mana kala itu tepatnya di kaki gunung terdapat sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan Tindalun. Kerajaan tua itu memiliki masyarakat yang didukung dengan kesuburan alamnya.

Suatu ketika, lanjut Kakek Aswar, muncul sesosok anak yang wajahnya sangat tampan dan kulitnya yang putih dan bersih. Anak itu diyakini datang dari langit atau masyarakat menyebutnya dengan istilah To Mellao Ri Langi.

Anak itu pertama kali ditemukan oleh seorang ibu yang berparas cantik bernama Masaang, warga dari Kampung Tindalun.

“Ceritanya, Masaang bersama masyarakat lainnya melihat ada api yang menyala di sekitar kampung pada malam hari. Karena penasaran, mereka mendekati sumber api tersebut dan ternyata tak jauh dari situ mendapati anak berwajah tampan tersebut,” Kakek Aswar menceritakan, Rabu (30/10/2019).

Kelebihan bentuk fisik atau masyarakat menyebutnya To Malabbi yang dimiliki anak tersebut, membuat kagum Masaang dan masyarakat lainnya. Sehingga masyarakat pun membawa anak itu ikut bersama pulang ke kampung Tindalun dan dibesarkan oleh Masaang.

“Masaang sendiri ceritanya seorang ibu yang memiliki 5 anak namun tak tinggal bersama. Malah seorang anaknya tak diketahui di mana rimbanya atau hilang begitu saja,” terang Kakek Aswar.

Selang beberapa tahun dalam pemeliharaan Masaang, anak itu tumbuh menjadi dewasa dan kemudian dijodohkan dengan putri raja dari Kerajaan Tindalun yang juga tak kalah cantiknya.

Keduanya pun memulai hidup berumah tangga dan pada akhirnya dikarunia seorang anak laki-laki yang dinamakan Kalando Palapana.

“Ceritanya Kalando Palapana ini yang selanjutnya mewarisi tahta Kerajaan Tindalun. Dan ia pun memimpin masyarakat kampung Tindalun yang dikenal dengan kampung yang begitu makmur karena limpahan hasil alamnya,” kata Kakek Aswar.

Namun di balik kesuburan alam yang diberikan Tuhan tersebut, membuat masyarakat Tindalun yang hidup di kawasan Gunung Nona Enrekang itu lupa diri. Hidup dalam keadaan hura-hura bahkan perilakunya di luar dari batasan-batasan norma agama maupun adat yang berlaku kala itu.

 

Buttu Kabobong atau Gunung Nona adalah nama sebuah gunung unik yang terletak di Kabupaten Enrekang. Tepatnya di poros jalan dari arah Rappang, Kabupaten Sidrap. Dikatakan unik karena bentuk gunung ini menyerupai alat reproduksi wanita dan dipastikan hanya satu-satunya di dunia. Selain unik dan penuh daya tarik, gunung ini juga ternyata punya legenda yang secara turun temurun menyisakan berbagai versi, namun pada prinsipnya mengandung makna yang sama, yakni pesan moral dari para leluhur setempat tentang pantangan keras untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Kisah di bawah ini adalah salah satu versi yang dihimpun dari berbagai sumber sebagaimana berikut : +

BACA JUGA:   8 Wisata Gunung Mas Puncak 2020

Pada zaman dahulu kala, di kaki Gunung Bambapuang terdapat suatu kerajaan tua yang bernama Kerajaan Tindalaun. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri terdapat sebuah perkampungan kecil yang juga dinamai Tindalun. Konon pada suatu ketika, datanglah seorang yang disebut To Mellaorilangi’ (orang yang turun dair langit) atau yang dalam istilah lainnya disebut To Manurung di Kampung Tindalun yang terletak di sebelah selatan Gunung Bambapuang tersebut. To Manurung ini juga menurut riwayatnya konon datang dari Tangsa, yaitu sebuah daerah di Kabupaten Tana Toraja. Mulanya, di Tangsa ada seorang ibu muda cantik bernama Masoang yang mempunai lima orang anak. Entah karena apa, kelima anak Masoang itu terbagi-bagi. Yakni dua orang ke Tana Toraja Barat, dua lainnya tinggal di Tangsa, kemudian yang satu orang lagi dianggap menghilang karena kepergiaannya tidak diketahui.

Beberapa hari kemudian tak jauh dari sebuah perkampungan, pada suatu malam, masyarakat Tindalun melihat ada seonggok api yang menyala seolah tak ada padamnya. Karena didorong rasa keingitahuan, masyarakat lalu mencoba mendekati sumber nyala api tersebut. Dan ternyata, tak jauh dari situ ada anak laki-laki yang rupawan, ganteng serta kulitnya putih bersih. Bahkan menurut penilaian masyarakat Tindalun ketika itu, selain ganteng , anak itu juga memiliki ciri sebagia anak To Malabbi’. Karenanya, si anak yang tidak diketahui asal usulnya itu lalu diambil dan dibawa ke Kampung Tindalun. Boleh jadi anak inilah yang disebut sebagai To Manurung.

Ringkas cerita, ketika si anak lelaki tersebut menginjak dewasa, ia lalu dikawinkan dengan salah seorang putri raja Kerajaan Tindalun yang sangat cantik. Di mana setelah pesta perkawinan yang semarak dan yang dilaksanakn secara adat istiadat setempat itu, masyarakat pun secara spontan lalu membuatkan sebuah istana baru bagi pasangan ini. Karena menganggap perkawinan itu adalah penyatuan dari anak seorang raja dengan To Mellaorilangi’ atau To Manurung.

Selanjutnya dari perkawinan itu, lahirlah putra mereka yang diberi nama Kalando Palapana, kemudian dinobatkan sebagai Raja Tindalun. Dia memerintah beberapa perkampuangan di situ.

Seperti diketahui, Tindalun ini merupakan wilayah yang ketika itu amat kaya dengan sumber daya alamnya. Setiap musim panen, masyarakat sangat bersuka ria karena hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah. Itu sebabnya kehidupan masyarakat Tindalun rata-rata makmur dan sejahtera. Cuma sayangnya, kondisi inilah yang membuat mereka lantas lupa diri. Suasana hura-hura nyaris tak terlewatkan setiap saat. Bukan hanya itu, konon karena kekayaan yang dimiliki, perangai masyarakatpun banyak yang mulai berubah.

BACA JUGA:   Wisata religi di grabag magelang

Tatanan perilaku yang selama ini sangat menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat leluhur, mulai bergeser. Kehidupan pergaulan bebas pun kabarnya sempat mewarnai hari-hari mereka. Dengan kata lain, perubahan strata ekonomi yang begitu pesat ketika itu, menjadikan masyarakat Tindalun seolah lupa dengan jati dirinya.

Lalu bagaimana dengan Raja Kalando Palapana atas kejadian itu?, tentu saja sangat gusar. Raja muda ini kemudian memanggil para tetua adat untuk dimintai pertanggung jawabannya, sekaligus memerintahkan agar segera mengatasinya. Raja sangat kuatir jika perbuatan menyimpang yang dilakukan masyarakatnya itu dibiarkan, maka akan mendapat azab dari Tuhan Sang Pencipta Alam.
Memang menurut kisahnya, para tetua adat tersebut telah melaksanakan titah sang raja untuk menghentikan perilaku menyimpang masyarakat itu. Namun jangankan berhenti, malah sebaliknya perbuatan masyarakat itu semakin menjadi-jadi. Hubungan intim di luar nikah seakan menjadi hal yang rutin tanpa bisa dicegah. Larangan berdasarkan agama dan adat istiadat, bagai tak digubris, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sebelah timur ibukota kerajaan.

Karena sulit dicegah, maka suatu hari Raja Tindalun mengundang para pejabat kerajaan dan tetua adat untuk melakukan pembahasan secara khusus. Di mana kesimpulan dari hasil pembahasan yang digelar di atas bukti sekitar. Tindalun itu, antara lain menyebutkan akan memberi sanksi dan hukuman seberat-beratnya bagi siapa saja tanpa kecuali yang kedapatan melakukan hubungan suami istri diluar nikah. Namun apa lacur?, lagi-lagi masyarakat tidak peduli. Hubungan bebaspun bukan hanya pada malam hari dilakukan, tapi disiang bolong pun perbuatan itu dilakukan. Ibaratnya, masyarakat seperti sudah kehilangan akhlak dan moralnya. Celakanya lagi, penyakit masyarakat ini bahkan sempat mewabah di kalangan kerabat kerajaan menyusul terlibatnya salah seorang anak raja Tindalun.

Kabarnya, pasangan selingkuh anak raja Tindalun dimaksud adalah anak gadis dari salah seorang tetua adat setempat. Yang akhirnya, pada malam kejadian itu, ketika kedua anak manusia ini sedang hanyut dalam kenikmatan hubungan intim di luar nikah, sekonyong-konyong datang bencana yang memporakporandakan wilayah kerajaan Tindalun. Rupanya Tuhan telah menunjukkan murkanya. Mereka yang selama ini tak mau lagi mendengar titah rajanya, dan gemar melakukan hubungan intim di luar nikah, semua dilaknat menjadi bukit-bukit. Di antaranya ada yang menyerupai kelamin wanita.

Gunung yang menghadap ke barat dan terletak di sebelah timur Gunung Bambapuang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Buttu Kabobong. Sedangkan pada sebelah barat Buttu Kabobong, terdapat pula gunung yang menjorok ke seberang menghampiri pusat Buttu Kabobong. Gunung ini bentuknya menyerupai alat kelamin laki-laki. Antara kedua gunung ini dibatasi oleh sebua +

Demikian sekelumit legenda tentang Buttu Kabobong, yang jika ditelaah, sesungguhnya mempunyai pesan moral agar umat manusia di mana pun, tidak melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Karena hal itu merupakan perbuatan zinah yang sangat dilarang oleh agama. Hukumnya adalah dosa besar.

BACA JUGA:   Gunung dago parung panjang bogor

Gimana menurut kalian,…?

Salam manis dari saya yah nona, hehehe#byday

Share this:byday

  • Lagi

Menyukai ini:

Suka

Memuat…

Enrekang – Gunung Nona di Enrekang, Sulawesi Selatan disebut-sebut gunung yang unik. Nama gunungnya diambil karena warga sekitar menyebut bentuknya mirip Miss V.

Bentuk itu hadir dengan adanya gundukan-gundukan tanah di gunung tersebut. Gundukan tanah itulah yang membentuk garis yang dikatakan mirip kelamin wanita.

Warga sekitar menyebutnya Buttu Kabobong. Perbukitan di sekitar Gunung Nona menghadirkan sebuah pemandangan menarik. Namun yang menjadi daya tariknya tetap si Gunung Nona.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari Makassar, wilayah ini bisa ditempuh sekitar 6 jam melalui jalur darat. Jalur pegunungan yang berliku, naik dan turun tentu membuat tenaga terkuras. Tak ada salahnya beristirahat sejenak sambil melihat pemandangan Gunung Nona.

Memang, bentuk Gunung Nona hanya bisa terlihat dengan posisi yang tepat di hadapannya. Kalau dilihat dari jauh, memang tak ada yang spesial dari bentuk gunung itu.

Pemandangan Gunung Nona bisa dinikmati sambil makan atau sekadar minum kopi di beberapa warung di Enrekang. Beberapa warung itu bahkan menyediakan tempat khusus untuk menikmati pemandangan. Udaranya yang cukup dingin dengan pemandangan indah, memang lebih asyik dinikmati sambil minum kopi hangat.

(aff/aff)

– Gunung Nona di Enrekang, Sulawesi Selatan disebut-sebut gunung yang unik. Nama gunungnya diambil karena warga sekitar menyebut bentuknya mirip Miss V.Bentuk itu hadir dengan adanya gundukan-gundukan tanah di gunung tersebut. Gundukan tanah itulah yang membentuk garis yang dikatakan mirip kelamin wanita.Warga sekitar menyebutnya Buttu Kabobong. Perbukitan di sekitar Gunung Nona menghadirkan sebuah pemandangan menarik. Namun yang menjadi daya tariknya tetap si Gunung Nona.Gunung Nona terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Penampakan gunung yang mirip kelamin wanita itu bisa dilihat di tengah perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja, tepatnya di Jalan Poros Enrekang-Toraja, Enrekang, Sulawesi Selatan. Kebetulan, saya dan tim Datsun Risers Expedition mampir untuk melihat pemandangan Gunung Nona ini.Dari Makassar, wilayah ini bisa ditempuh sekitar 6 jam melalui jalur darat. Jalur pegunungan yang berliku, naik dan turun tentu membuat tenaga terkuras. Tak ada salahnya beristirahat sejenak sambil melihat pemandangan Gunung Nona.Memang, bentuk Gunung Nona hanya bisa terlihat dengan posisi yang tepat di hadapannya. Kalau dilihat dari jauh, memang tak ada yang spesial dari bentuk gunung itu.Pemandangan Gunung Nona bisa dinikmati sambil makan atau sekadar minum kopi di beberapa warung di Enrekang. Beberapa warung itu bahkan menyediakan tempat khusus untuk menikmati pemandangan. Udaranya yang cukup dingin dengan pemandangan indah, memang lebih asyik dinikmati sambil minum kopi hangat.

Also Read

Bagikan: