Jejak Sejarah
Lokasi makam ziarah tempat Prabu Hariang Kencana atau Borosngora atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar, seorang ulama penyebar agama Islam di wilayah tersebut, terdapat di area kawasan hutan lebat seluas 57 hektare.
Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon pada abad VII, hiduplah seorang raja Panjalu bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora. Dia memimpin Panjalu dengan adil dan bijaksana sehingga sangat dicintai rakyatnya. Boros Ngora pada saat itu memeluk agama Hindu dan kerajaan Panjalu adalah kerajaan Hindu.
Pada suatu waktu, Boros Ngora berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan. Dia sampai ke sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir. Ternyata tanah yang diinjaknya adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia berguru kepada Sayyidina Ali r.a., yang dikenalnya sakti mandraguna. Prabu Sanghyang Boros Ngora memperoleh ilmu sejati, yakni agama Islam yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.
Setelah itu, dia pulang membawa oleh-oleh dari sahabat Nabi, seperti pakaian kehajian, pedang, dan air zam-zam. Air zam-zam dibawanya dalam sebuah gayung yang permukaannya bolong-bolong, yang merupakan pemberian ayahnya, Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Dengan izin Allah, ia dapat membawa air zam-zam tersebut pulang ke tempat asalnya, Panjalu.
Sesampainya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di sebuah tempat, yaitu Lembah Pasir Jambu. Hingga saat ini, dipercayai bahwa Situ Lengkong Panjalu terbentuk karena tumpahan air zam-zam yang dibawa oleh Sanghyang Prabu Boros Ngora. Di tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai Nusa Gede.
Kisah Gus Dur Menemukan Makam Mbah Panjalu
Ada sebuah cerita yang mengatakan bahwa sebelum makam Syekh Panjalu ini banyak dikenal dan diziarahi banyak orang, konon Gus Dur lah yang ‘menemukan’ makam Syekh Panjalu ini sehingga akhirnya menjadi ramai menjadi tujuan ziarah. Menurut ceritanya, pada sekitar awal tahun 90-an, Gus Dur pernah bermimpi agar ia menziarahi sebuah makam yang berada di tengah nusa atau semacam pulau dan ia diminta untuk datang pada tengah malam dan membaca istighfar sebanyak seribu kali.
Setelah beberapa kali mencari dengan mengikuti petunjuk dalam mimpi tersebut, akhirnya ditemukan informasi mengenai lokasi keberadaan makam beserta tokoh yang dimakamkan di sana.
Lokasi Makam
Untuk sampai ke makam putera dari Prabu Sanghyang Cakradewa (Raja Panjalu pertama beragama Islam), wisatawan dan peziarah harus menyeberang dari daratan Panjalu Ciamis. Menggunakan perahu kayuh atau bermotor.
Nusa Gede berada tepat di tengah Situ Lengkong. Jadi perahu akan mengantar pengunjung dengan memutari pulau itu searah jarum jam. Dengan kata lain jalur pergi dan pulang tidak sama.
Ciamis –
Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, dikenal sebagai tempat wisata ziarah yang memiliki sejumlah tempat keramat dan tradisi budaya yang menarik. Di Panjalu juga terdapat sebuah danau dengan pulau kecil di tengahnya bernama Situ Lengkong.
Berikut tempat keramat dan tradisi yang ada di Kecamatan Panjalu yang menarik untuk dikunjungi.
1. Situ Lengkong
Situ Lengkong ini memiliki panorama indah dengan luas sekitar 64 hektar. Pulau di tengahnya bernama Nusa Gede atau Nusa Larangan sebagai daya tariknya. Tempat tersebut selalu menjadi tujuan wisatawan saat berziarah sebagai peninggalan Prabu Borosngora yang merupakan Raja Panjalu, penyebar Islam di wilayah tersebut.
Situ Lengkong ramai setiap akhir pekan, wisatawan yang datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung hingga wilayah Jawa Timur. Di situ ini wisatawan bisa menaiki perahu mengelilingi danau atau pun menyebrang ke Nusa Gede. Di tengah pulau itu terdapat makam Raja Panjalu yaitu Prabu Hariang Kancana.
Di area Situ Lengkong terdapat berbagai toko yang menyediakan berbagai oleh-oleh khas Panjalu dan Ciamis. Ada juga beberapa rumah makan yang menyajikan makanan khas Ciamis.
Bila beruntung, wisatawan bisa melihat kawanan kalong (kelelawar besar) yang beterbangan di tengah pulau Nusa Gede. Fenomena itu pun menjadi salah satu daya tarik Situ Lengkong.
Air Situ Lengko ini biasa dijadikan oleh-oleh para peziarah. Air yang ada di Nusa Gede ini berasal dari situ, kemudian disuling ke atas dan disaring, disimpan dalam penampung air. Sehingga wisatawan maupun peziarah tinggal memutar keran untuk minum, berwudu maupun dibawa pulang dengan ditampung pakai botol plastik.
Konon, menurut sejarah, Situ lengkong ini terbentuk dari air zamzam yang dibawa Raja Panjalu Prabu Boros Ngora dari Timur Tengah, setelah menimba ilmu Islam kepada Sayyidina Ali RA.
Ceritanya, Raja Panjalu Prabu Boros Ngora awalnya bukan seorang muslim. Ia dikenal seorang yang hebat, sering menantang seseorang yang jago beladiri.
Saat itu Prabu Boros Ngora berjalan menuju Timur Tengah dan bertemu dengan Sayyidina Ali, lalu bertarung dan mengakui kehebatan Sayyidina Ali hingga memutuskan menjadi muridnya. Prabu Boros Ngora menjadi seorang muslim dan namanya diganti menjadi Syeh Abdul Iman.
Saat pulang, Prabu Boros Ngora mendapat oleh-oleh pesang dan air ‘zamzam’ di wadah gayung, tapi gayung itu bolong. Setelah sampai di Panjalu, lalu ditumpahkan di lokasi Situ Panjalu.
2. Bumi Alit
Bumi Alit bisa dikatakan juga museum tempat menyimpan benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan benda pusaka Kerajaan Panjalu. Uniknya Bumi Alit ini dipagar dikelilingi pohon waregu. Dalam bahasa Sunda Bumi Alit berarti rumah kecil.
Benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit yang paling terkenal, Pedang Zulfikar yang merupakan oleh-oleh dari Sayidina Ali RA kepada Prabu Borosngora.
Adapun benda pusaka lainnya adalah Cis atau tombak bermata dua, keris komando, keris, pancaworo atau senjata perang zaman dulu, bangreng, gong kecil, kujang dan lainnya.
Setiap tahun pada bulan Rabiul Awal atau Maulid, benda pusaka di Bumi Alit itu dikeluarkan untuk dibersihkan. Tradisi membersihkan benda pusaka itu disebut Upacara Adat Nyangku.
Tradisi membersihkan pusaka. Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar
3. Upacara Adat Nyangku
Upacara Tradisi Nyangku atau tradisi pencucian benda pusaka peninggalan Prabu Borosngora digelar pada bulan Mulud di hari ganjil Senin atau Kamis. Sekaligus sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini biasa diikuti oleh ribuan warga Ciamis dan luar daerah seperti dari wilayah Jawa Timur.
Prosesinya, Nyangku diawali dengan mengeluarkan sejumlah benda pusaka peninggalan Raja Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka lalu diarak dibawa dengan cara digendong (diais) oleh para keturunan Raja Panjalu dan warga terpilih. Diiringi dengan solawat dan alat musik gembyung menuju Nusa Gede (Pulau di tengah Situ Lengkong Panjalu).
Pusaka dibawa kembali ke Taman Borosngora untuk dilakukan ritual Jamas. Membersihkan dengan cara mencuci benda pusaka. Menggunakan 7 sumber mata air dari beberapa tempat atau disebut ‘Cai Karomah Tirta Kahuripan’.
Pembungkus pusaka dibuka lalu dibawa ke tempat pembersihan yang terbuat dari bambu yang terletak di tengah taman. Dibersihkan menggunakan air dan jeruk nipis. Setelah dibersihkan pusaka diolesi minyak khusus lalu dibungkus kain putih dan disimpan kembali ke Bumi Alit.
Nyangku sudah dilakukan sejak zaman dulu secara turun temurun untuk merawat benda pusaka. Tujuannya untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam. Untuk melestarikan budaya dan melestarikan peninggalan zaman dulu.
Halaman
1 2 Selanjutnya
Liputan6.com, Ciamis – Dua buah harimau hitam dan putih menjadi penunggu abadi di pintu masuk area tempat ziarah Situ Lengkong, Panjalu, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Konon dua patung hewan buas itu, jelmaan dua anak raja Brawijaya, kerajaan Majapahit, yang tersesat di sana, namun melanggar aturan. Akhirnya berubah wujud menjadi raja hutan penunggu hutan Panjalu Ciamis, hingga kini. Ciamis
“Silahkan rombongan dari Garut yang akan ziarah ke makam segera menaiki perahu,” ujar Eman Samsudin, 21, petugas jaga perahu gayuh di Situ Panjalu, Ciamis, memanggil rombongan asal Garut, Jawa Barat, Senin pagi (7/5/2018).
Area makam ziarah tempat Prabu Hariang Kencana atau Borosngora atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar, seorang ulama penyebar agama Islam di wilayah itu bersemayam, memang berada di kawasan hutan lebat seluas 57 hektare.
Pengunjung yang akan tirakat, bersemedi atau sekadar refreshing menikmati suasana tengah hutan yang teduh dan asri, wajib melewati situ (danau) Lengkong seluas hampir 40 hektar tersebut.
“Airnya sangat bening dan jernih sekali,” ujar Cecep, koordianator rombongan pondok pesantren Sadang Lebak, Wanaraja, Garut ini, membuka pembicaraan.
Satu buah perahu kayu menggunakan kayuh, tarif Rp 250 ribu untuk 25 penumpang, siap mengantarkan perjalanan spiritual seluruh pengunjung yang akan menikmati liburan di sana. Sebuah harga yang terbilang murah dengan sajian alam yang indah nan rindang tersebut.
“Yang mau berfoto pun bisa, silakan, kebetulan matahari baru muncul,” ujar Heri penarik perahu, sambil mengayuh pedal kayuh perahu kayu itu.
Pelayaran yang pelan nyaris tanpa gelombang, sekitar 150 orang rombongan asal kota dodol yang terbagi dalam lima perahu tersebut, tampak asyik menikmatinya. Bahkan, sesekali terdengar alunan bacaan sholawat badriyah dari mulut mereka.
Akhirnya setelah pelayaran singkat 20 menit mengitari situ usai, rombongan sampai juga di darmaga kecil tempat sandaran perahu, sekaligus untuk menurunkan pengunjung.
“Hati-hati dengan barang bawaannya jangan tertinggal,” ujar Heri mengingatkan pengunjung.
Sambil menunggu rombongan lainnya tiba, keceriaan pengunjung yang didominasi para santri itu pun pecah. Mereka berfoto ria, sambil sesekali diselimuti canda tawa, mereka seakan puas menikmati suguhan view alam hutan hijau nan lebat yang memanjakan mata.
“Sayang kalau ke sini tidak naik rakit,” kata Cecep menambahkan dengan bangganya.
Menjelang Ramadan, Kunjungan Melonjak
Tiba di dermaga mini, rombongan langsung disambut dua ekor harimau hitam dan putih di pintu masuk. Tak ketinggalan puluhan anak tangga siap mengantarkan seluruh pengunjung hingga ke area makam tempat berjiarah.
“Di sini makam Prabu Hariang Kencana Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar,” ujar Usup Sanudi, 48 tahun, kuncen pintu masuk makam menyambut para pengunjung yang datang.
Sebelum memasuki makam, pengunjung yang berhadas dianjurkan berwudu dulu. Tak lupa sebuah petunjuk mengingatkan agar memohon seluruh hajatnya hanya kepada Allah.
“Ingat jangan salah niat,” ujar KH Aceng Hasan, pembimbing rombongan itu meyakinkan.
Usup menyatakan, dua bulan terakhir atau tepatnya saat bulan Rajab, Sa’ban hingga bulan suci Ramadan, jumlah kunjungan naik signifikan dibanding hari biasa di luar dua bulan itu.
Dalam sehari rata-rata kunjungan mampu menembus angka 2.000 orang atau tiga kali lipat lebih banyak dibanding hari biasa yang hanya 500 orang. Hingga kini pengunjung masih didominasi peziarah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.