Menelusuri Keagungan Wisata Religi Sunan Drajat, Lamongan

Gundana

sejarah pendidikan islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Sesuai Undang-undang Guru dan Dosen Republik Indonesia Nomor Tahun 2005 bagian kelima Pembinaan dan Pengembangan pasal 72 ayat 1 menyebutkan bahwa beban kerja Dosen mencakup kegiatan pokok; merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian masyarakat[1].

Dalam kegiatan pokok beban kerja dosen di atas, beban seorang dosen di antara mengadakan kegiatan penelitian dan membuat karya ilmiah. Atas dasar itu, penulis mencoba mengumpulkan tulisan-tulisan yang terserak menjadi satu yang kemudian dihimpun dalam buku ini. Dalam rangka meningkatkan kualitas mutu perkuliahan, penulis menyadari perlu adanya handbook bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah sejarah pendidikan Islam untuk membantu mereka dalam membuat tugas-tugas makalah.

Dalam pada itu buku ini akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, sehingga mahasiswa semakin berkualitas, berwawasan baik secara teoritik maupun praktik serta mampu menjadi leader of change dalam memajukan pendidikan Indonesia secara khusus dan dunia Islam secara umum. 

Saat ini, kita telah menyaksikan perkembangan zaman yang luar biasa. Perkembangan dan perubahan terus menggelinding dan merambah ke segala aspek kehidupan manusia, termasuk kepada dunia pendidikan baik di dunia Timur (Islam) maupun Barat (Kristen).

Sebagai sebuah ‘tamaddun’ (peradaban), Islam pada masanya pernah mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan, masa kemajuan dan kemunduran serta masa pembinaan kembali dengan format serta kemasan baru sistem pendidikan Islam.

Kita tentunya sama-sama sepakat bahwa tammaddun Islam saat ini masuk pada periode pembinaan kembali dengan mencoba mencari dan menyetel konsep peradaban Islam seharusnya. Kembali sejenak ke masa lampau, bahwa perkembagan dan peradaban Islam dikembangkan dalam spirit wahyu yang berkultur Arab, sebab penggerak utama adalah bangsa Arab, kemudian masuk unsur-unsur ‘ajam seperti Persia, Turki dan Eropa (daerah Asia tengah seperti Balkan). 

Selain itu, wilayah Islam yang luas dikendalikan dalam satu administrasi kekhalifahan Islamiyah, sehingga setiap ide pembaharuan dapat dijewantahkan secara menyeluruh dan merata. Sesuai dengan sunnatullah yang terus beredar, umat Islam memasuki era yang disebut “the dark age” (kemunduran/kegelapan) melanda hampir di segala aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan Islam.

Adapun konteks pendidikan Islam hari ini, adalah kelanjutan kondisi zaman Islam yang sedang mundur dan sedang dibina kembali kemudian berupaya mencocokkan dengan kondisi terbaru sesuai perkembangan zaman yang dibidani dunia Barat (Kristen). Lebih lanjut perlu redesigned (format ulang) pedidikan Islam tanpa meninggalkan Islam sebagai dasar ideologis dan praksisnya. Namun, sampai saat ini, nampaknya proses pencarian identitas pendidikan Islam belum final, karena banyak faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Abudin Nata[2] dalam bukunya “Selekta Kapita Pendidikan Islam” menyebutkan setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi corak dan dinamika pendidikan Islam. Kelima faktor tersebut adalah; Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Kedua, perkembangan masyarakat, Ketiga, perkembangan politik, Keempat, perkembangan ekonomi, Kelima, perkembangan agama dan budaya masyarakat di mana pendidikan tersebut dilaksanakan.         

Berdasar faktor di atas, maka dinamika pendidikan Islam akan terus berlangsung dari zaman ke zaman. Di masa mendatang pendidikan Islam diharapkan lebih mampu mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan zaman, tentu saja tidak terlepas dari usaha-usaha umat Islam hari ini. Sesuai dengan adagium yang cukup populer di kalangan ahli sejarah, bahwa sebuah bangsa yang besar adalah mereka yang tidak melupakan sejarah masa lalu atau yang menghormati jasa pahlawannya. Ibarat seorang yang sedang di atas kendaraan, yang mengemudikan kendaraan butuh kaca spion untuk melihat kondisi di belakangnya, dengan mengetahui itu, dia lebih leluasa mengendalikan kendaraan mencapai tujuannya.

Maka, sejarah pendidikan Islam mencoba untuk menggali khazanah pendidikan Islam masa lalu, dengan menguraikan berbagai dimensi yang mempengaruhi perkembangan, kemajuan dan kemunduran pendidikan Islam, baik konteks nilai-nilai, lembaga, tokoh  dan sebagainya.

Dari itu, matakuliah Sejarah Pendidikan Islam menjadi sangat perlu diajarkan kepada mahasiswa Tarbiyah yang notabenenya sebagai calon praktisi pendidikan di masyarakat. Mereka adalah aktor nyata penjewantahan semua aspek (ideologis dan praktis) Pendidikan Islam, sehingga perlu diiformasikan apa yang ada di masa lalu dan mengambil aspek-aspek yang baik, serta mengintegrasikannya dengan konteks yang ada di masa ini. Akhirnya, Pendidikan Islam tetap selalu selaras dengan tempat dan zamannya.

 

B. Ruang Lingkup

Dilihat dari segi corak dan pendekatannya, menurut Abudin Nata[3] bahwa ilmu pendidikan Islam dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut. Pertama, ilmu pendidikan Islam yang bersifat normative ferenialis, Kedua, ilmu pendidikan Islam yang bersifat filosofis, Ketiga, ilmu pendidikan Islam yang bersifat historis empiris, Keempat, ilmu pendidikan Islam yang bersifat aplikatif. Jadi, penulisan buku ini adalah satu dari empat corak dan pendekatan ilmu pendidikan Islam.

Adalah sesuai judul buku ini ’ Sejarah Pendidikan Islam’ memuat tulisan dari aspek historis pendidikan Islam mulai zaman pra kenabian sampai penyebaran dan perkembangannya di Indonesia. Buku yang ada di tangan anda ini ditulis berdasarkan silabus matakuliah sejarah pendidikan Islam di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Setidaknya ada sembilan sub bahasan yang ada dalam buku ini, yang merupakan lebih separoh dari empat belas bahasan yang ada pada silabus. 

Ada satu bahasan yang sengaja penulis masukkan dalam buku ini yaitu mengenai pemikiran pendidikan Islam sebelum kenabian Muhammad saw. Di mana tulisan ini sebenarnya makalah yang pernah penulis kirimkan untuk seminar internasional di STAIN Jember 2013 lalu. Mengingat tulisan tersebut ada kaitannya dengan pembahasan buku ini.  Selain itu, penulis berharap dapat memberikan ‘suplemen’ pengetahuan kepada mahasiswa seputar sejarah pendidikan Islam mulai pra kenabian sampai penyebaran dan perkembangannya di Indonesia.

 

C. Pendekatan dan Sumber Penulisan

Sesuai dengan uraian di muka, tulisan dalam buku ini menggunakan pendekatan historis empiris yaitu pendekatan yang melihat setiap permasalahan yang dibahas berada dalam setting sosial yang benar-benar terjadi.

Dengan pendekatan yang demikian maka sumber-sumber yang digunakan adalah buku-buku, jurnal ilmiah, laporan yang relevan dan sebagainya. Bahan-bahan itu kemudian ditelaah, dikategorisasikan, dihubungkan antara satu dengan yang lainya.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Nata, Abudin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa Bandung, 2003

 

Guza,  Afnil, SS, UU RI Guru dan Dosen Nomor Tahun 2005, Jakarta : AM Asa Mandiri, 2009, Cet. II

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

SEJARAH PENDIDIKAN DALAM ISLAM

 

 

Abstrak

The long life education from the swing until to the grave. This information is corroborated of the judgment about Muhammad’s education passed since his borns until deaths. The Islamic  education that recognized when his declaration of mission as a messenger of Allah swt. Whereas the Islamic education since his borns for both his declarations of missions until deaths.

Therein knowneable that Muhammad’s education for his long life. However the educational passed  by Muhammad saw before come the first divine revelation is education based felt domain. which the felt is combination of reason on men, because concenstrated of Islamic educational  refer to educational of reasons. Just only for men is possessed of reasons can be as a good faith.    

 

Pendidikan berlangsung seumur hidup dari buayan hingga liang lahat,keteranganini menguatkan asumsi bahwa pendidikan Nabi Muhammad saw berlangsung mulai ketika beliaulahir hingga wafat. Pendidikan Islam yang biasa dikenal hanya ketika Nabi Muhammad saw mendeklarasikan dirinya utusan Allah swt. Padahal pendidikan Islam sudah mulai semenjak Nabi Muhammad saw dilahirkan sampai ketika beliau mendek­larasikan dirinya rasul hingga wafatnya. Dari ini dapat difahami bahwa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayatnya. Hanya saja, pendidikan yang dilewati oleh Nabi Muhammad saw sebelum turun wahyu pertama bertitik tolak dalam ranah pendidikan “rasa”. Yang mana rasa ini adalah jalinan aqal pada manusia, karena konsentrasi pendidikan Islam mengacu sepenuhnya pada pendidikan aqal. Sebab hanya orang yang beraqallah yang mampu beragama Islam dengan baik.

 

A.    Pendahuluan

Tidak banyakpara ahli pendidikan Islam mengungkapkan atau membahaspendidikan Islam sebelum masa kenabianke-publik. Barangkali pemahaman itu telah sama-sama dimengerti, bahwa pendidikan Islam hanya ada ketika Islam telah menjadi nubuah Muhammad saw, sehingga konotasinya, hanya setelah diangkat jadi Nabi saja Muhammad saw dikatakan telah menjadi Islam atau muslim. Maka, pendidikan Islam serta merta pula mengawali periodenya, karena sang ‘pemula’adalah seorang yang beragama Islam. Berangkat dari pemahaman seperti demikian, boleh dikatakan, dengan sendirinya, disetiap aktifitas Muhammad saw merupakan proses pendidikan Islam itu sendiri. Dimulai dari dakwah Muhammad saw secara sembunyi-sembunyi hingga perintah dakwah terang-terangan kepada masyarakat Arab secara khusus dan untuk manusia secara umum.

Dengan demikian, maka pemahaman tersebut akan sedikit terusik bila disodorkan sebuah pertanyaan, apakah sebelum Muhammad saw diangkat secara resmi oleh Allah swt menjadi utusanNya, tidak beragama Islam atau seorang Muslim? Jika diikuti pengertian muslim sebagai orang yang berserah diri kepada Allah swt, sebagaimana para nabi dan rasul terdahulu juga menyebut dirinya seorang muslim. Maka Muhammad saw secara terang-terangan memang belum pernah menyebutkan dirinya seorang muslim, kecuali setelah diangkat jadi utusanNya.

Dan bila seseorang tidak menegaskan dirinya seorang muslim tentu saja bisa dilihat dari semua aktifitasnya sehari-hari. Untuk menyamakan pemahaman, bahwa penegasan dengan lisan dan bahasa tubuh, atau tepatnya dengan tingkah laku dan kesaksian orang lain, adalah cara-cara yang sering digunakan manusia untuk menunjukkan ia dari golongan tertentu. Maka, untuk memberikan petunjuk mengenai Muhammad saw seorang yang berserah diri kepada Allah swt sebelum diangkat menjadi rasul dapat disimak ungkapan Ibrahim Amini, bahwa ketika Abu Thalib bercerita, ”di suatu malam aku mendengar kata-kata yang luar biasa dari Muhammad saw. Bila kami makan dan minum, kami tidak menyebut Allah swt. Kemudian aku mendengar dari Muhammad ketika hendak makan mengucapkan Bismillahi al ahad (dengan nama Allah yang Esa) dan mengucapkan Al-hamdu lillahi katsiran (segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya)[4].

Peristiwaini terjadi ketika Muhammad saw masih kecil, ketika dalam asuhan pamannya Abu Thalib. Kemudian kesaksian lain dari pamannya Abu Thalib mengatakan bahwa “ketika memulai makan ia (Muhammad) membaca : Bismillah dan setelah selesai makan ia mengucapkan :Al-hamdulillah.” Masih banyak keterangan lain yang menunjukkan bahwa Muhammad saw telah muslim, sebelum diutus sebagaimana yang diungkapkan Abul Fida (dalam Ibrahim Amini) bahwa sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw dalam setahun pergi ke gua Hira’ sebulan lamanya dan di sana beliau melakukan ibadah.

Di saat itubeliau memberi makan kepada setiap fakir yang datang. Sebelum pulang ke rumah, beliau thawaf mengelilingi Ka’bah.[5] Muhammad saw juga pernah melakukan haji, wukuf di Arafah, Masy’ar dan Mina, Kurban, Melontar Jumrah dan Sya’i.[6] Semua aktifitas di atas menerangkan bahwa Muhammad saw sebelum diutus adalah pengikut nabi Ibrahim as,karena aktifitas tersebut adalah syari’at Ibrahim as.

Kemudian timbul pertanyaan; bukankah orang-orang Quraisy juga melakukan ritual haji seperti itu? Jawabannya adalah  benar, bahwa orang Quraisy juga melakukan hal yang sama, namun Muhammad saw tidak beribadah seperti kaum Quraisy lainnya yang sekaligus memuja berhala-berhala. Bisa ditambahkan, di antara orang Quraisy sendiri[7] tidak semuanya senang dengan ibadah penyembahan berhala dibalut dengan ritual haji itu. Menurut mereka hakikat agama Ibrahim telah hilang dan berganti kesesatan[8].

Terkadang para tokoh Quraisyyang tidak senang dengan penyembahan berhala berbalut haji tersebut, berusaha me­nemukan (mengembalikan) hukum ritual-ritual ibadah agama Hanifiyah ini, dan membersihkannya dari hal-hal takhayul (khufarat)sekalipun hanya untuk mereka saja. Jadi, sama halnya dengan Muhammad saw yang melakukan aktifitas ibadah yang sama, namun menyingkirkan ritual penghambaan kepada berhala-berhala di sekeliling Ka’bah atau di semua tempat ritual haji walaupun hanya untuk dirinya sendiri. Penegasan dari Allah swt bahwa Muhammad saw adalah sebagai orang hanif, dalam Al-Qur’an Allah swt menjelaskan, yang artinya. “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidaklah sesat dan tidak pula keliru”(QS.An-Najmi: 1-2). Berarti Muhammad saw dari awal telah dipelihara oleh Allah swt atau maksum dari perbuatandosa. Penjelasan itu menunjukkan bahwa Muhammad saw dari awal sebelum menjadi rasul adalah seorang muslim.

Oleh karena belum menjadi seorang utusan, tentunya tidak mempunyai syariat sendiri, kecuali bersandar kepada syari’at utusan Tuhan sebelumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa semua aktifitas Muhammad saw berarti bisa dikelompokkan kepada aktifitas Islam karena ia seorang muslim. Berarti proses pendidikan Islam telah ada sebelum diangkat menjadi utusanAllah. Namun dalam tulisan ini penulis batasi proses pendidikan itu hanya untuk diri Muhammad saw sendiri, dengan lingkungan masyarakatnya sebagai kelas belajar dan Allah swt sebagai gurunya yang sekaligus merancang kurikulum (materi-materi/pengalaman-pengalaman) belajarnya. Adapun materi-materi yang dilalui Muhammad saw adalah pengalaman hidup menjadi yatim piatu, menggembala kambing, berdagang, berperang, hidup dengan kaum kerabatnya dan berkomtemplasi/ber-khalwat (merenung, menyendiri untuk minta petunjuk). Adapun pendekatan (metode) belajar adalah partisipatorisdan role playing.

Sebelum diteruskan pembahasan ini, ada persolan yang harus dijawab terlebih dahulu, tentang apakah layak memposisikan setiap pengalaman-pengalaman yang dilalui Muhammad saw itu sebagai bentuk kegiatan pembelajaran sekaligus disebut sebagai kurikulum (materi ajar)?

Untuk menjawab persoalan ini, maka perlu digunakan pendekatan teori-teori pendidikan modern tentang apa itu belajar dan kurikulum.

Pertama,tentang apa itu belajar. Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Atau belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasiberubah perilakunya sebagai akibat pengalaman[9]. Hasil belajar itu berupa kapabalitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan,sikap, dan nilai[10].

Sedangkanmenurut Piaget pengetahuan adalah sebagai bentuk belajarnyaseseorang dengan melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan, kemudianlingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang[11].

Jadi, dapat dipahami belajar menurut Gagne yang pertama adalah proses perubahan sebagai akibat pengalaman. Pengalaman berarti kumpulan peristiwa-peristiwa tertentu yang dilalui oleh seorang individu, dengan peristiwa itu ia bisa merasakan, memahami kemudian melekat dalam dirinya perubahan akibat peristiwa yang dilaluinya itu. Perubahan yang dialami oleh seseorang yang timbul akibat pengalaman itu dapat berlaku sesaat telah selesai peristiwa tersebut terjadi, atau perubahan itu bisa datang beberapa waktu kemudian. Hasil dari belajar tersebut menurut Gagne timbulnya kapabalitas yaitu berupa keterampilan, pengetahuan,sikap dan nilai.

Kedua, belajar menurut Gagne adalah akibat dari proses kognitif yang dilakukan oleh peserta didik akibat stimulus lingkungan dalam hal ini lingkungan belajar. Lingkungan belajar bisa berupa alam terbuka, ruang kelas, keluarga, teman sebaya dan masyarakat. Proses kognitif bisa berupa membaca teks, memahami teks, dan mendengarkan pesan verbal dari sumber-sumber belajar.

Sedang menurut Piaget belajar itu karena interaksi sese­orang dengan lingkungan. Karena lingkungan terus berubah dari situasi satu kepada situasi lainnya. Dengan perubahan itu kata Piaget maka intelek seseorang semakin berkembang.

Dari pendapat para ahli di atas dapat dilihat, belajar  itu mempunyai dua bentuk  proses dan mempunyai pengaruhnya sendiri-sendiri. Pertama, seseorang yang berinteraksi dengan lingkungan langsung seperti kejadian di masyarakat, keluarga dan teman sebaya, maka yang akan berkembang dengan baik adalah bagian afektive (sikap) atau disebut juga Emotional Quetionnya (EQ). Sedangkan emosional ini dikendalikan oleh like dan dislike atau rasa suka dan tidak suka, sedangkan rasa ini adalah bagian akal  manusia yang perlu dikembangkan dan bisa berjalan sendiri-sendiri dengan unsur lain akal yaitu kognitif. Biasanya ranah ini (lingkungan) tidak bisa dikondisi­kan, akan tetapi terjadi secara alami. Untuk lebih jauh masalah rasa akan dibahas kemudian.

Kedua,seseorang yang belajar karena proses interaksi kognitif  dengan lingkungan belajarnya, yang berkembang pada ranah ini ialah kognitif itu sendiri berupa penambahan wawasan, definisi, angka-angka dan sebagainya. Sedangkan kognitif  adalah bagian jalinan akalmanusia yang harus dididik secara seimbang dengan rasa di atas. Namun bisa berjalan secara sendiri-sendiri tidak harus sekaligus.

Terakhir, tentang kurikulum yakni seluruh kegiatan yang dilakukan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut di bawah tanggung jawab guru/ pendidik. Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler. Apa pun yang dilakukan peserta didik asal dibawah bimbingan guruadalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara[12], ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan lain sebagainya. Pengertian kurikulum ini merupakan salah satu yang terbaru dari rekonstruksi perkembangan pengertian kurikulum modern.

Adapun pengertian kurikulum di atas sangat luas sekali, sehingga memungkinkan penggunaan metode nature partisipatoris(partisipasi alami), dan role playing(bermain peran)adalahpendekatan yang dominan digunakan peserta didik. Namun penekanannya harus di bawah pengawasan pendidik atau guru. Dalam pembahasan ini yang menjadi pendidik (guru) sekaligus pengawas adalah Allah swt langsung terhadap Muhammad saw.Sedangkan kelas belajarnya Nabi ialah lingkungannya sehari-hari dan polarisasi metode pendidikan yang digunakan adalah nature partisipatoris dan role playing.

Di atas telah dibahasdua hal yang berkaitan tentang dimensi-dimensi pendidikan, guna melihat bagaimana konsep pen­didikan sebagai pengalaman belajar.Dari studi kritis itu dapat memberikangambaran lebih luas tentangpembelajaran/pendidikan. Inti dari penelaahan itu untuk mendudukkan konsep apakah telah terjadi pendidikan sebelum kenabian Muhammad saw. Sehingga dengan aktifitas-aktifitas Muhammad saw tersebut bisa dimasukkan ke dalam  sejarah pendidikan Islam.

Setelah ditelusuri berbagai aspek di atas maka penulis beranggapan, pendidikan Islam telah ada sebelum kenabian Muhammad saw. Untuk lebih lanjut  di bawah ini diuraikan sejarah pendidikan Islam pra kenabian yang mulai dengan pembahasan secara berurutan sesuai waktu kejadian/peristiwa.

Peristiwa yang dikaji di sini hanya beberapa saja yaitu lahir dalam keadaan yatim, sebagai pengembala kambing, sebagai prajurit perang, hidup menumpang dengan kaum kerabat, berkomtemplasi (menyendiri untuk mendapatkan petunjuk dari sang Penguasa Alam)  dan masih banyak kejadian lainnya yang tidak dibahas. Kemudian terakhir dari makalah ini adalah kesimpulan.

 

B.     Pembahasan

Menelusuri proses pendidikan Islam secara khusus dapat dilihat dari sejarah mulai diutusnya Muhammad saw menjadi utusan Allah swt kepada bangsa Arab. Dan secara umum dimulai ketika lahirnya Muhammad saw di sekitar abad ke 600 M[13] atau tepatnya pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal awal tahun Gajah bertepatan dengan 20 April 571 M[14]. Keterangan yang lain menyebutkan pada 17 Rabi’ul Awwal 570 M di Makkah[15] (penulis lebih cenderung pada keterangan terakhir karena lebih populer di kalangan ahli sejarah Islam). Sebelum menjadi utusan, Muhammad saw telah melewati jalan-jalan, pengalaman, dan peristiwa konkrit yang dari padanya merupakan persiapan-persiapan yang dirancang Allah swt untuk menjadikan Muhammad saw sebagai seorang pendidik bagi pengikutnya di tanah Arab. Pada proses pendidikan Islam selanjutnyasecara terus-menerus dipraktekkan oleh pengikut­nya sebagaimana dicontohkan Muhammad saw.

Seperti yang diungkapkan Ibrahim Amini bahwa“para utusan Tuhan layaknya para guru sekolah. Yang satu diutus sesudah yang lainnya untuk mengajak manusia berserah diri di hadapan Allah swt”[16]. Dari tanah Arab, berkembanglah Islam ke seluruh penjuru dunia, tidak ada sudut negeri di dunia ini yang tidak terjangkau oleh Islam. Dalam proses penyebaran dan pengembangan Islam, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pendidikan dan pengajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam dan pengajaran serta pendidikan adalah dua hal yang menyatu. Islam sebagai ajaran harus disampaikan kepada manusia sebagai penerima dan kemudian diberikan pembinaan yang terus- menerus dilakukan oleh si-penyampai pesan ke­pada si-penerimapesan. Dalam konteks pendidikan, pe­nyampai pesan sekaligus pembina disebut guru[17] atau pendidik dan penerima pesan sekaligus yang dibina sebut sebagai murid[18] atau siswa.

Jadi, untuk melihat proses perkembangan pendidikan Islam, maka harus ditinjau sejak berprosesnya Muhammad saw dalam lingkungan belajarnya di masyarakat Arab saat itu yaitu sebelum menjadi rasul. Dimana, disetiap aspek dari pe­ngalaman, peristiwa yang dilalui oleh Muhammad saw sebelum menjadi rasul mempunyai hikmah yang dalam. Jauh ke masa depan dapat di simpulkan bahwa persiapan-persiapan itu adalah untuk menjadikan Muhammad saw sebagai seorang pendidik untuk masyarakat Quraisy jahiliyah. Dari kesan itu dapat disebut bahwa seorang pendidik harus lebih sempurna dan mulia atau dengan kata lain lebih bersih jiwanya dari unsur kemaksiatan dan perilaku maksiat kepada manusia apalagi kepada Allah swt ketimbang orang yang dibina atau dididik.

Walaupun ada kehendak dari langit (Allah swt) bahwa Muhammad saw akan menjadi seorang rasul, dalam diri Nabi Muhammad saw sendiri punya keinginan supaya bisa memperbaiki kondisi masyarakat Quraisy di suatu saat nanti.  Bentuk keinginan tersebut menjadi kuat ketika Muhammad saw sering menyendiri ke gua Hira[19]. Selain keinginan untuk mendapatkan petunjuk dari Sang Mahakuasa, juga sebagai upaya meminimalisir kemungkinan terkontaminasi dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan sosial masyarakat arab jahiliyah yang bobrok itu. Pembahasan tentang berkontemplasi ini akan dibahas lebih jauh kemudian.

Dan untuk melihat lebih jauh seperti apa materi-materi serta prosespembelajaran Muhammad saw dalam kelas masyarakatnya dengan metode partisifatorisdan role playing, dapat diuraikan sebagai berikut.

Adapun pengalaman pembelajaran hidup Muhammad saw dalam kelas masyarakatnya yang pertama adalah lahir dalam keadaan yatim. Ketika lahir beliau sudah menjadi anak yatim, Muhammad saw ditinggal selamanya oleh ayahnya Abdullah hanya baru tiga bulan menikahi Aminah ibunya[20]. Hanya berselang beberapa waktu hidup dengan sang ibu tercinta, disaat usia Muhammad saw 6 tahun[21] ibunya kemudian harus memenuhi panggilan Allah swt.

Dari  peristiwa itu memungkinkan Muhammad saw menjadi seorang yang penyayang dan penyantun kepada kaum perempuandan penyayang kepada anak-anak yatim disekitarnya. Menjadi orang yang mudah berterimakasih kepada siapapun juga, karena ia sudah terbiasa hidup dalam pertolongan orang lain seperti kakeknya dan pamannya. Jiwa beliau sebagai seorang manusia biasa sungguh terlalu lembut dan penuh kasih tidak ada dendam dalam dirinya, karena seberat apapun cobaan yang dihadapinya kemudian hari bisa dimaafkannya. Apalagi setelah wahyu Allah swt diturunkan langsung ke dalam hati Muhammad saw melalui malaikat Jibril, maka bertambah indah kelemah­lembutan beliau sebagai seorang pendidik manusia di kemudian hari.

Kedua, sebagai penggembala kambing[22]. Kambing termasuk hewan yang susah diatur karena memang dia hewan namun lebih jauh ada pelajaran besar yang disiapkan oleh Allah swt untuk calon utusanNya itu, sebagaimana para nabi terdahulu juga menggembala kambing. Pelajaran yang dimaksud salah satunya adalah melatih ketabahan dan kesabaran. Memang sangat logis sekali ternyata sangat dibu­tuh­kan sekali kesabaran dalam mengembala kambing, tanpa kesabaran seorang tidak mungkin bisa mengembala kambing dengan baik.

Adapun kambing pada masa itu menunjukan bahwa pemilik­nya adalah orang kaya dari segi harta. Itu berarti mengindikasikan bahwa kambing merupakan harta yang tinggi nilainya masa itu. Dari pengalaman sebagai pengembala kambing, Muhammad saw telah berproses secara alami menanamkan dalam dirinya sebagai seorang yang amanah terhadap titipan orang lain. Dalam konteks manusia biasa selanjutnya ia digelari sebagai Al-amin (orang yang terpercaya). Tidak sampai disana saja, ternyata dengan pengalaman tersebut telah dapat juga membentuk pribadi yang bertanggung jawab terhadap tugas yang diembankan kepadanya.

Ketiga,ketika Muhammad saw berusia 15 tahun terjadi perang antara keturunan Kinanah dan Quraisy di satu pihak melawan kabilah Hawazin di pihak lain. Perang ini dikenal dengan perang Fijar yang artinya pendurhakaan. Disebut demikian karena awal terjadinyadisebabkan oleh pelanggaran atas larangan permusuhan pada bulan-bulan suci yang sangat dihormati berdasarkan aturan dan adat setempat[23].

Dalam perang ini Muhammad saw membantu pamannya memungut anak panah yang dilontarkan musuh dan sesekali melepaskan anak panah kepada musuh. Secara keseluruhan perang ini berlangsung empat tahun, kendatipun hanya beberapa tahun saja dalam setahunnya. Perang ini berakhir dengan perundingan yang melahirkan kesepakatan membentuk sebuah perserikatan yang disebut hilf al-fudhul yang artinya sumpah utama. Tujuan utamanyaadalah memberikan perlin­dung­an bagi yang teraniaya di kota Makkah, baik oleh pen­duduknya sendiri maupun pihak lain. Muhammad saw termasuk anggotanya dan merupakan anggota termuda[24].

Dari pengalaman Muhammad saw sebagai prajurit perang, memberikan didikan menjadi seorang ksatria yang tangguh, pemberani, tangguh, kesetiakawanan, patuh kepada pimpinan perang. Pengalaman sebagai anggota penjaga perdamaian bagi orang teraniaya sebagai konsekwensi perjanjianhalf al fudhul di kota Makkah menempanya menjadi seorang yang humanis, visioner dalam menatap masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan, yang kemudian cocok dengan tugas yang akan diemban beliau sebagai seorang rasul rahmatan lil ‘alamin. Di mana Muhammad saw juga concern berdakwah mengetengah­kan kaum mustad’afin (kaum marginal) yaitu kaum fakir miskin, anak yatim dan orang yang berutang ke dalam masyarakat yang bermartabat.

Keempat,hidup dalam kaum kerabatnya. Setelah wafat Siti Aminah ibunda Muhammad saw, maka ‘Abd  al- Muthalib melanjutkan pengasuhan, sampai kakek yang bijaksana ini wafat dua tahun kemudian. Tanggung jawab untuk mengasuh dan membesarkan Muhammad saw selanjutnya dipikul oleh Abu Thalib, seorang putera Abd al-Muthalib yang paling miskin, tetapi sangat dihormati oleh penduduk Makkah[25].

Kehidupan yang dijalani Muhammad saw belia bersama  Abd al- Muthalib yang bijaksana, memberikan pela­jaran yang sangat berharga tentang materi kebijaksanaan. Materi kebijaksanaan langsung diberikan atau diserap dari kakeknya tercinta. Sehingga semua pengalaman hidup bersama Abd al-Muthallib memberikan pondasi pribadi bijaksana kepada Muhammad saw di kemudian hari.

Dalam beberapa kesempatan Muhammad saw sering menyak­sikan pertemuan akbar. Pertemuan besar tersebut merupakan  musyawarah para pemimpin dari qabilah-qabilah di tanah Arab. Saat itu Muhammad saw langsung menyaksikan sekaligus mempelajari bagaimana berdiplomasidan bermusyawah dengan penuh toleran diberbagai majelis yang diikutinya. Maklum kondisi seperti ini sangat musykil didapatkan oleh anak-anak selain Muhammad saw. Karena Muhammad saw sendiri adalah seorang cucu yang sangat disayangi kakeknya dan selalu ikut menghadiri beberapa acara besar dan bersejarah di negeri Arab.

Pengalaman-pengalaman bersama Abd al-Muthalib adalah laboratorium bagi Muhammad saw yang mendapatkan materi kebijaksanaan sesungguhnya. Sejarah juga telah mencatat bahwa ‘Abd al-Muthalib adalah salah seorang yang bijaksana di masa itu. Kemudian kehidupan Muhammad saw bersama pamannya, Abu Thalib yang miskin tapi sangat dihormati adalah sebuah materi lain yang mengajarkan hidup berpandai-pandai dan kemudian mengajarkan bahwa kemuliaan sebenarnya bukan terletak pada harta benda, tetapi kemuliaan terletak ketika selalu terbuka untuk membantu orang lain[26].

Sebagai contoh, Muhammad saw yang yatim piatu dengan senang hati dibawa untuk hidup bersama dengan Abu Thalib, yang secara ekonominyalemah dan mempunyai anggota keluarga yang banyak. Di keluarga inilah Muhammad saw belajar berempati kepada orang miskindanyatim piatu di kemudian hari. Karena ia dapat merasakan sendiri, betapa gembiranya saat orang lain mau menerimanya sebagai anggota baru di keluarga itu, apalagi keluarga lemah segi finansial, namun mulia dari segi akhlak. Muhammad saw dapat memperhatikan dengan baik, walaupun miskin, keluarga tersebut tidak otomatis menjadi hina, namun tetap dihormati karena mampu menjaga muru’ah (wibawa), dengan tidak menjadi pengemis di tengah masyarakat.

Bila dipintas sejenak ketika menjadi utusan Allah, dalam masalah anak yatim, Muhammad saw pernah mengatakan, orang yang suka memelihara anak yatim di surga akan dekat bersamanya. Kemudian dalam masalah muru’ah, beliau mendorong umatnya agar tidak menjadi pengemis  sebagaimana sabdanya “Bahwa seorang yang pergi mencari kayu ke hutan dan menjualnya untuk memenuhi hidupnya lebih mulia ketimbang orang-orang yang menjadi peminta-minta”.  

Kelima,materi berkomtemplasi (menyendiri untuk mendapatkan petunjuk dari sang Penguasa Alam). Ibrahim Amini menyebutkan bahwa sebulan dalam setahun Muhammad saw melakukan i’tikaf di bukit Hira’ (gua Hira’). Keterangan di atas tidak merinci dengan pasti sejak kapan atau tepatnya pada usia berapa beliau telah mewiridkan i’tikaf di gua Hira. Namun yang jelas beliau sebulan dalam setahun selalu menghabiskan waktu di gua Hira’ yang bertujuan untuk menjernihkan fikiran dari hingar-bingar kejahiliyahan kaumnya yang mungkin merembes ke dalam fikiran dan jiwa beliau. Hal itu dapat dimengerti karena beliau hidup dalam lingkungan kaum Quraisy. Selain itu, sekaligus meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberi petunjuk cara memperbaiki kondisi masyarakatnya.

Petunjuk yang dimaksud ialah menurunkan kurikulum[27] (wahyu) yang jelas, memuat langkah-langkah yang dilakukan terhadap kaumnya. Materi ini menanamkan pentingnya selalu menjaga hubungan dan kedekatan dengan Tuhan yang Haqsetelah letih berfikir dan bekerja untuk manusia. Supaya selalu ingat bahwa manusia makhluk lemah dan perlu pertolongan dari Allah swt untuk menyelesaikan tugas-tugas besar mengajarkanmanusia kepada ketauhidan.

Melihat semua pengalaman Muhammad saw dalam berbagai peristiwa yang kompleks itu, merupakan proses membentuk kepribadian Muhammad saw menjadi seorang pendidik. Karena yang berproses adalah calon seorang rasul, makapendidikan yang disetting sedemikian rupa sehingga sempurna outcomenya. Bisa dikatakan, bahwa guru/pendidik masa itu hampir tidak ada, maksud pendidik di sini ialah minimal orang lurus fitrahnya kepada agama Allah swt. Dengan kelurusan fitrahnya itu, ia bersemangat mengajak orang lain kepada Allah swt. Namunsaat itutidak ada, kecuali beberapa orang yang mengaku pengikut nabi Ibrahimsang pembina Ka’bah. Mereka adalah Waraqah bin Naufal sepupu Khadijah istri nabi Muhammad saw yang kemudian masuk Nasrani[28], Abdullah bin Jashy, Usman bin Huwairist dan Zaid bin Umar[29]. Namun semangat mereka tidak kuat dan secemerlang nabi Muhammad saw dan para sahabat di kemudian hari. Selain semangat yang kurang kuat, kemurnian ajaran Ibrahim yang mereka yakini kurang jelas konsepnya.

Disebabkan ketiadaan guru atau pendidik, maka Allah swt langsung menjadi guru Muhammad saw, melalui peristiwa, pengalaman pahit atau senang. Maka, sejarah pendidikan dalam Islam dapat ditemukan sejak berprosesnya Muhammad saw sebagai manusia biasa di dalam hiruk-pikuk masyarakat Jahiliyah menjadi seorang nabi. Nabi yang sekaligus rasul tersebut akan menjadi seorang guru atau pendidik manusia di belakang hari adalah gambaran bahwa seorang pendidik harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi serta mempunyai sifat-sifat khusus seperti; berempati tinggi, lemah-lembut, amanah, cerdas, terpercaya, bertanggung jawab, bijaksana, berani, setia kawan, visioner, humanist, tegas, mulia dan tinggi derajatnya[30] dari yang dibina atau dididik.

Boleh dikatakan periode sebelum menjadi utusan adalah fase pembinaan “rasa[31]”. Rasa merupakan bagian dari akal manusia selain budi dan daya fikir[32] yang harus dikembangkan oleh pendidikan Islam. Adapun prinsip pendidikan Islam adalah pendidikan untuk mencerdaskan akal. Lebih jauh dapat dijelaskan konsep akal ini untuk mensinkronkan arah pendidikan yang dimaksud dalam bahasan ini karena ada kekeliruan sebagian orang dalam memahami apa sebenarnya akal itu.

Dalam hal ini, Sidigizalba menjelaskan bahwa akal itu bukan hanya pikir yang sebagian orang tertuju kepada otak sebagai sumbernya. Menurutnya,pikir dalam ucapan sehari-hari menunjukkan kepada kerja budi. Dan kalau kita himpun ayat-ayat al-Qur’an[33] yang mengandung istilah akal dan menguraikan pengertian yang menjadi isinya, kita akan berkesimpulan, bahwa dalam pengertiannya memang ada pikir. Tapi bukan itu saja, masih ada unsur lain yaitu rasa.[34] Beliau menambahkan bahwa kebenaran perkara ini dapat kita uji pada pengertian umum kata itu dalam bahasa aslinya, yaitu alat untuk berfikir dan alat untuk menimbang baik buruk atau merasakan segala perubahan keadaan, dalam istilah ilmu jiwa rasa yang melakukan tugas itu disebut rasa etika.[35] Lihat surat Al-Baqarah ayat 73 dan 219,masing-masing ayat menuturkan penekanan berbeda setelah membahas tentang kematian dan alam gaib, khamar dan judi. Bahwa soal mati adalah perkara gaibyang tidak mungkin difikirkan dan dihadapi oleh budi saja. Tentang peristiwa menghidupkan orang mati tidak akan diterima oleh fikiran saja. Kalau tidak disertai oleh rasa agama yang bersumber dalam qalbu. Sedangkan manfaat dan mudharat minuman keras dan judi dan apa yang akan disedekahkan dapat dipikirkan oleh budi sajaberdasarkan pengalaman atau kenyataan[36].

Dengan demikian pengertian yang dikandung oleh istilah akal adalah fikir dan rasa. Ia terbagi dalam dua segi dan tiap segi berpotensi untuk bekerja sendirian. Tapi dalam bentuknya yang penuh atau dalam wujudnya yang lengkap, akal adalah jalinan kerja budi dan kalbu, kerjasama fikir dan rasa[37]. Berdasarkan argumen yang disebutkan di atas menunjukan bahwa pendidikan yang dilalui Muhammad saw periode pra kenabian adalah pendidikan rasa yang merupakan bagian dari jalinan kesempurnaan akal manusia itu.

Kalau dicermati sifat-sifat yang muncul dari hasil belajar Muhammad saw, sebagian termasuk kelompok yang muncul oleh rasa sepertiempati tinggi kepada orang lain, lemah-lembut, amanah, cerdas, terpercaya, bertanggung jawab, bijaksana, berani,setia kawan, visioner, dan humanist.

Ternyata, pembinaan dan pendidikan rasa olehMuhammad saw melalui waktu lebih panjang dari usianya. Beliau lahir 12 Rabiul Awwal tahun Gajah hingga usia empat puluh tahun sebelum menjadi rasul pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriah, bertepatan dengan 6 Agustus 610 Masehi diwaktu sedang berkhalwat di gua Hira[38] atau versi lain menyebutkan pada tanggal 27 Rajab 610 Masehi (penulis cenderung pendapat pertama yang lebih populer dikalangan ahli sejarah Islam).

Pola pendidikan Muhammad saw bila mengacu kepada ruang lingkup pendidikan modern, yaitu ; sekolah, keluarga dan teman sebaya atau lingkungan masyarakat di mana ia tinggal[39], maka Muhammad saw adalah produk satu ranah pendidikan saja yaitu lingkungan masyarakat[40]. Pendidikan masyarakat yang dilalui Muhammad saw lebih menekankan aspek rasa atau afektive (dalam bahasa modernnya). Pada tahap pendidikan dasar Muhammad saw dikhususkan atau difokuskan pada pembinaan rasa atau emotional quetion(EQ).

Dari keterangan di atas, sudah semestinya kita lebih memberdayakan aspek rasa atau afektive untuk porsi yang lebih banyak, mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ketimbang hanya menekankan pada budi pikir atau kognitif. Menurut pendapat Al-Qobis (wafat 936/1012M) mengutip pendapat Hasan Abd al-Ali mengatakan sesuai pendapat Ikhwan al-Shafa pengetahuan hanya bisa diperoleh dari kepekaan perasaan, belum berdasar kekuatan akal[41]. Metode partisipatoris, demonstrasidan role playing cocok digunakan dengan banyak belajar di luar kelas ketimbang dalam kelas formal seperti yang biasa dilaksanakan selama ini. Bisa dikatakan pendidikan persiapan Muhammad saw sebelum jadi guru (utusan Allah swt) untuk manusia dibutuhkan waktu 40 tahun untuk mendidik/membina potensi rasa atau Emotional Quetion. Sehingga kepribadian beliau sangat sempurna dan mem­punyai daya tarik yang hebat terhadap manusia hingga hari ini.

Kalau dilihat masa pendidikan Muhammad saw selama 40 tahun dengan usianya 63 tahun, maka, 23 tahun saja Muhammad saw dididik oleh Allah swt pada aspek Intelectual Quetion (IQ). Kenapa dikelompokkan kepada pendidikan aspek kognitif  karena beliau belajar tidak hanya dengan pengalaman semata, akan tetapi telah ada materi (wahyu) sebagai panduan belajar lebih lanjut, sedang masa sebelumnya pendidikan hanya berlangsung dari pengalaman hidup seperti diuraikan di atas.

Apabila ditinjau dari pengaruh pribadi yang ditinggalkan atau yang melekat kepada para sahabat beliau sebagai murid-muridnya, maka pengaruh kepribadian beliau yang lembut, santun dan mulia tersebut masih menggema kuat dalam relung-relung zaman hingga saat ini. Ini membuktikan ternyata aspek pendidikan dengan menggunakan pendekatan “rasa” sangat efektif sekali dalam membetuk pribadi-pribadi seperti sang pendidik utama, yakni Muhammad saw. Bisa dikatakan outcome didikan Muhammad saw adalah para sahabat-sahabatnya, walaupun tidak berstatus sebagai nabi namun semangat mereka tidak jauh berbeda dari beliau sendiri sebagai pendidik utama mereka. Hasil dari pendidikan yang dikembangkan oleh Allah swt sebelum kenabian Muhammad sawadalah denganbanyaknyayang masuk Islam atas kesadaran sendiri, melihat kepribadian Muhammad saw yang sangat sempurna. Salah satunya adalah Umar bin Khattab, dengan pendekatanyanglemah lembut bisa melunak kepribadiannya yang terkenal kasar.

 

C.    Kesimpulan

Kesimpulan uraian di atas, bahwa pendidikan Islam telah ada ketika pra kenabian Muhammad saw. Bisa dijelaskan bahwa sejarah telah mencatat, ternyata nabi Muhammad saw telah melangsungkan pendidikan yang luar biasa. Pendidikan yang kurikulumnya dirancang oleh Allah swt, kelas belajar adalah masyarakat Quraisy, dan semua peristiwa adalah materi-materi yang disuguhkan kepada nabi Muhammad saw sebagai murid. Dengan kata lain, nabi Muhammad saw dengan materi-materi belajar menggunakan pendekatan partisipatoris yang terlibat langsung dengan kejadian yang dikehendaki oleh materi ajar yang disusun oleh Allah swt. Atau bisa juga disebut dengan metodepartisipatorisdan role playingatau seni peran, metode ini memungkinkanpeserta didik merasakan langsung peristiwa, pengalaman-pengalaman pembelajaran sehingga lebih mudah menyerap dan memaknai hasil pembelajaran tersebut.    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Amini, Ibrahim, Mengapa Nabi Diutus, Jakarta: Alhuda, 2006

 

Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011

 

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2009

 

Amin, Syamsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam Masa klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet, III

 

Sidigizalba,Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet III

 

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2008 Edisi Revisi

 

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarat: PT. Ciputat Press Group, 2010

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM PRA KEBANGKITAN MADRASAH DAN KUTTAB

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menganalisis Institusi Pendidikan  Islam Pra Kebangkitan Madrasah dan Kuttab

Indikator 

:

1.MenjelaskanPengertian Lembaga/Institusi Pendidikan Islam

:

2.Menjelaskan Awal PerkembanganPendidik­an Islam

:

3.MenjelaskanBentuk-bentukInstitusi/LembagaPendidikan Islam Pra Kebangkitan Madrasah dan Kuttab

Strategi Perkuliahan

:

PresentaseMakalah, Ceramah dan Tanya Jawab

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

 

100

 

A. Pendahuluan

 

Pendidikan Islam secara umum dimulai sejak berjibakunya Nabi Muhammad saw dengan masyarakat Arab Quraisy di Makkah. Awal pendidikan Islam secara resmi ketika turunnya wahyu pertama dilanjutkan wahyu kedua dan dikuatkan dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95[42] tentang cakupan pendidikan Islam sudah waktunya meluas menuju masyarakat Inter­nasional dengan memanfaatkan kegiatan haji pada tahun ke 12 kenabian. Kegiatan pendidikan Islam menjadi keharusan dilakukan nabi Muhammad saw untuk menyadarkan bangsa Arab tentang arah kehidupan manusia di dunia ini. Pola pendidikan Islam awal tentu tidak seperti keadaan yang kita kenal sekarang dengan fasilitas lengkap dan modern.  Sesuai masanya pendidikan Islam awal, sangat sederhana dengan fasilitas seadanya, namun outputnya tidak bisa diabaikan, para ulama berpendapat, bahwa hasil didikan awal tersebut menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah.

Adapun pembahasan sesi ini akan difokuskan pada; pengertian lembaga pendidikan Islam, perkembangan pendidik­an Islam periode awal dan institusi-institusi pendidikan Islam pra kebangkitan Madrasah dan Kuttab, kesimpulan dan soal-soal latihan

B. Pembahasan

 

1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu:

a. Pengertian secara fisik, materil, konkrit

b. Pengertian secara non-fisik, non-materil dan abstrak[43]

Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institut (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam penger­tian nonfisik disebut dengan pranata[44].

Ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian fisik materil, konkret, dan kedua pengertian secara nonfisik, non materil dan abstrak. Adanya dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek nonfisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan. Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian secara abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri[45].

Secara terminologi menurut Hasan Langgulung lembaga pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik yang tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah, kuttab dan sebagainya. Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a.   Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan,

b.  Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit dan sekolah-sekolah,

c.  Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu[46].

Lembaga sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan pokok di dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Berdasarkan uraian di atas, lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan ber­tanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan[47].

 

2.Awal Perkembangan Pendidikan Islam 

Perkembagan pendidikan Islam dikelompokkan kepada tiga   tahap dan dua periodisasi (Makah dan Madinah).

a.    Tahap Pendidikan Islam pada Periode Makah

Tahapan Pertama ditandai ketika Nabi Muhammad saw melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terhadap kaum kerabatnya di Makah. Aktifitas tersebut setelah wahyu pertama surat al-‘Alaq 1-5 diturunkan Allah swt melalui malaikat Jibril (ar-Ruh- al Amin).  

Perkembangan pendidikan Islam masa sembunyi-sembunyi  terbatas  untuk kaum kerabat dan orang-orang dekat nabi dari golongan bani Hasyim dan sebagian kecil golongan Bani Makhzum[48]. Kegiatan pendidikan Islam langsung dibina nabi Muhammad saw yang diadakan di rumah Arqam bin Abi Arqam. Pendidikan di rumah Arqam bin Abi Arqam berlangsung selama 3 tahun sampai turun wahyu kedua dalam surat al-Mudatsir 1-7.

Adapun para sahabat awal (as-Sabiquuna-al-Awwaluun) yangmenjadi peserta didik (menerima dakwah) Nabi ialah istrinabisendiri,Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Shidiq danArqam bin Abi Arqam. Intensitas pendidikan di rumah Arqam lebih ditingkatkan seiring semakin bertambahnya jumlahorang- orang yang bergabungyang kebanyakan mereka adalah golongan mustad’­afin (terpinggirkan) secara ekonomi dan politik kekuasaan di Makah.

Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy (1999) menyebut­kan, ketika orang-orang yang menganut Islam lebihdaritiga puluh lelaki dan perempuan,pembinaan dan pengajaranpada tahap ini kemudian telah menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan perempuanpenganut Islam[49]. Materi-materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan nabi fokus pada mengajarkan al-Qur’an dan Sunnah[50], orientasi materi bertitik tolak pada;

1)  Penanaman ketauhidan ke dalam jiwa para sahabat, sehingga setiap tingkah laku para sahabat mampu me­man­carkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap tingkah lakunya baik dalam keadaan sendiri maupun bersama-sama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Efek dari penjewantahan nilai-nilai tersebut ikut membantu proses penyebaran secara tidak langsung pendidikan Islam ke tengah-tengah masyarakat Quraisy yang lebih luas[51].

2)  Pendidikan ibadah, amal ibadah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad di Makah tentang shalat, sebagai per­nyataan pengabdian hanya kepada Allah swt. Ibadah shalat juga titik balik pengingkaran kaum muslimin awal kepada tuhan-tuhan nenek moyang bangsa Arab sekaligus proses penanaman tauhid uluhiyah[52].

3)  Pendidikan akhlak, nabi Muhammad saw sangat meng­anjurkan penduduk Makah yang telah menerima Islam agar melaksanakan akhlak yang terpuji, seperti; mene­pati janji, pemaaf, bersyukur, tawakal, tolong menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, membantu orang miskin dan orang musafir dan meninggalkan akhlak yang buruk[53].

Sedangkan untuk perencanaan pembelajaran al-Qur’an sebagaimana disebutkan as-Suyuti (dalam Syalabi) bahwa para sahabat menghafal 10 ayat. Di mana jumlah ini tidak ditambah sampai materi tersebut difahami dan diamalkan oleh para sahabat (peserta didik)[54].

Peren­cana­an pembelajaran seperti di atas dinamai hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Namun walaupun tersembunyi kurikulum tersebut telah terstruktur dengan baik bila dibandingkan dengan sistem pen­didikan modern hari ini. Nabi Muhammad saw ternyata jauh-jauh hari telah dengan cerdas meletakkan dasar-dasar kurikulum yang terukur model perencanaan pendidikan Islam. Perencanaan yang telah dibuat nabi tersebut dianggap luar biasa, mengingat ilmu-ilmupedagogik belum dikenal. Ilmu pedagogik yang berkembang masa itu masih mengandalkan aspek oral (lisan). Adapun selain oral seperti tulis baca masih belum dikenal secara luas, sehingga dengan situasi demikian membuat perencanaan pembelajaran seperti sekarang adalah menjadi tidak mungkin lahir.

Kondisi yang sangat sederhana itu ternyata merupakan kunci keberhasilan pendidikan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian? Hal tersebut karena penekanan pendidikan Islam diarahkan berdasarkan pada konteks keahlian dan kemampuan peserta didik.  Peserta didik dibina dan ditempa sampai benar-benar matang dan siap dengan keahlian yang diinginkan Nabi Muhammad saw sebagai pendidik. Proses pendidikan diseting dengan menetapkan setiap indikator keberhasilan harus tercapai dengan sempurna, baru kemudian disusul dengan materi selanjutnya. Terkadang untuk satu materi Nabi sering mengulangi sampai ranah afective peserta didik mampu berkembang dengan baik.

Pola pendidikan seperti ini juga telah membawa keberhasilan yang signifikan atas kegiatan pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) di Yogyakarta saat beliau melakukan gerakan perubahan di sana. Disebutkan pada salah satu pertemuan (pengajian al-Qur’an di Langgar), KH. Ahmad Dahlan ditanya oleh peserta didiknya tentang pengkajian surat al-Maun yang tidak pernah selesai dibahas. Mereka protes mengapa pelajaran selanjutnya tidak diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada mereka.

Menyikapi nada protes peserta didiknya tersebut KH. Ahmad Dahlan melemparkan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh para peserta didiknya, yaitu sudahkah mereka melak­sanakan materi-materi yang sedang dibahas tersebut. Setelah mendengar pertanyaan demikian dari KH. Ahmad Dahlan para peserta didiknya terdiam, karena memang mereka belum melaksanakannya.

Sangat urgen sekali hari ini, walau kita tidak boleh menyebutkan kata terlambat terhadap proses yang baik seperti yang dilakukan Nabi dan KH. Ahmad Dahlan di atas,  bahwa sudah mesti menyingkapkan kekaburan pemikiran kolektif kita bahwa perencanaan pendidikan berbasis keahlian dan kemam­puan perlu kembali dijewantahkan dengan konsisten oleh para perencana dan pelaku pendidikan (dosen, guru dll) agar pembelajaran menjadi lebih mendapatkan makna esensialnya. Maksudnya adalah jangan sampai proses pendidikan hanya berjibaku pada indikator berbasis kejar setoran dengan menetapkan target waktu tertentu sementara kita sering mengalpakan perhatian terhadap bagaimana peningkatan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu. Dengan  demikian pelajaran yang ditambah hanya menjadi sampah intelektual belaka.

Mungkin penjelasan di atas merupakan bentuk ‘kegalauan’ yang mewakili kesadaran esensi pendidikan Islam yang terkubur dan telah menghilang yang perlu dibangkitkan kembali. Tentu saja untuk mengembalikan apa yang dijelaskan di atas memerlukan perubahan mindset berani dalam mengajar materi agama Islam. Adapun perubahan pemikiran (mindset) yang berani itu adalah tidak ragu menabrak sistem pendidikan yang ada dengan semangat kecerdasan. Kita sadari bahwa pengajar tidak hanya menciptakan proses transfer knowledge belaka, namun lebih jauh, yang menjadi lebih penting menanamkan nilai-nilai ilmu itu kepada peserta didik yang muaranya menjadi pakaian kepribadiannya. 

Adapun metode pendidikan yang digunakan oleh Rasulullah periode Makah ada beberapa bentuk, diantaranya yaitu[55]:

a.    Metode Personal, metode semacam ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara dai (pendidik/penceramah) dan mad’u(jamaah). Dengan langsung bertatap muka sehingga materi yang disam­paikan langsung diterima, dan biasanya reaksi yang ditimbulkanmad’u langsung diketahui.Pendekatan ini Rasul lakukan untuk mencegah guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy, yang pada saat itu masih percaya dengan kepercayaan animismewarisan leluhur mereka.

b.    Metode Diskusi, di manaDaisebagai narasumber sedang­­kan Mad’usebagai audience. Tujuannya ialah untuk pemecahan problematika yang ada kaitannya dengan dakwah, sehingga apa yang menjadi per­masalahan dapat ditemukan jalan keluarnya. Pada masa sembunyi-sembunyi diskusi masih seputar ke­tauhidan, atau apa saja ajaran Islam itu, dan juga mengenai kehidupan setelah mati. Diskusi pada kondisi seperti itutidak leluasakarena harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

c.    Metode Bi al-Hal, dakwah metode ini dilakukan dengan ajakan melalui upayapenyatuan antara pemahaman atau pengetahuan (thinking) dengan keya­kin­an atau perasaan (feeling). Dengan demikian, dakwah dengan metode ini dapat dilakukan dengan mauidhah hasanah (memberi contoh teladan).

Metode pendidikan dan pengajaran ini sesuai dengan kebutuhandan situasi makah dalam kurun 3 tahun masa pendidikanIslam periode sembunyi-sembunyi.Di mana taktik ini dilakukan agar pemimpin Quraisytidak terlaluterkejut ataskehadiran Islam di Mekah. Masalah kema­pan­an agama dan hirarkis kekuasaan yang ada di Makah sangat sulit memberikan celah untuk munculnya agama baru apalagi agama Islam.

AdapunIslam dengan doktrin dan misinya telah dianggap sangat revolusioner dan sangat radikal. Misi Islam yang dianggap terlalu ekstrem radikal tersebut adalah upaya mencongkel kemapanan kaum borjuis (kaya) dengan penyamarataan antara budak dan majikan. Salah satu misi Islam bahwa kaum budak dipandang sama dengan majikan untuk masalah hak dan kewajiban. Penyetaraan ini tentu mengganggu kemapanan sosial bangsa Quraisy secara umum. Budak menjadi setara dengan majikan yang selama ini sangat berkuasa terhadap mereka. Kemudian memberikan pembagian harta warisan yang pantas kepada kaum wanita yang sebelumnya hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ bahkan sekaligus bisa diwariskan (wanita termasuk harta warisan).

Kedua,setelahturun wahyu kedua surat al- Mudatsir  1-7 yang bermaksud supaya nabi Muhammad saw mengadakan pendidikan secara terang-terangan kepada bangsa Quraisy khususnya[56].   

Dalam wahyu kedua ini Nabi Muhammad saw diperin­tah­kan oleh Allah swt agar melakukan aktivitas pendidikan tidak lagi terbatas kepadakaum kerabat terdekat serta tidak lagi dengan cara tersembunyi akan tetapi kegiatan pendidikan sudah saatnya dilakukan dengan cara terang-terangan. Sebab isyarat wahyu menyebutkan bahwa waktunya sudah tepat untuk melaksanakan pendidikan lebih luas kepada masyarakat Quraisy. Diantaranya  ketersediaan sumber daya insani (SDI) berupa keberadaan tenaga pendidik. Selain Nabi sebagai pendidik utama, para sahabat dianggap berkom­peten menjadi pendidik bagi masyarakat Arab karena telah di­training langsung oleh Nabi Muhammad saw selama 3 tahun untuk pokok materi pendidikan mengenai ketauhidan.

Ketiga,setelah melakukanpendidikan dan pengajaran Islam secara terang-terangankepada bangsa Quraisy, nabi Muhammad saw mengubah strategi  pendidikan menjadi terbuka untuk umum (secara umum). Pendidikan dan pengajaran ini bersifat internasional yang berlandaskan pada surat al-Hijr: 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah Allah tersebut pada musim haji, Nabi mendatangi kemah jamaah haji.

Pada awalnya banyak jamaah haji yang menolak kecuali sekelompok jamaah dari Yastrib. Jamaah Yastrib tersebut berasal dari kabilah Khazrajyang sangat antusias menerima pengajaran Nabi[57]. Untuk meneruskan pendidikan dan pengajaran Islam yang telah dirintis Nabi tersebut seterusnya diserahkan kepada Mus’ab bin Umair seorang sahabat beliau yang telah mengikuti proses pendidikan Islam selama 3 tahun di rumah Arqam bin Abi Arqam. Tugas itu tidak dilaksanakan di masa berlangsungnya haji akan tetapi langsung di Kota Yastrib. Dengan diutusnya Mus’ab bin Umair ke Yastrib telah membuka harapan baru bagi perkembangan pendidikan Islam untuk masa selanjutnya.

Dua tahapan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammadsaw hanya untuk kota Makah, tahapan ini digunakan Nabi untuk mempersiapkan tenaga pendidik dari keluarga dekatnya atau golongan Quraisy. Pertimbangan yang digunakan ialah :

Pertama, pendidikan Islam lambat laun harus di­sebarkan, sehingga membutuhkan tenaga-tenaga yang siap didistribusikan sesuai kebutuhan, maka para sahabat awal merupakan input yang sangat masuk akal, karena selain keterampilan dalam mengajar juga dibutuhkan nyali yag cukup kuat, sebab situasi kala itu tidak men­dukung untuk mengadakan pendidikan Islam. Di samping materi-materinya dinilai sangat radikal untuk ukuran bangsa Arab.

Kedua, keefektifan dan keefesienan, maksudnya, pen­didikan calon pendidik terdiri dari kalangan arab Quraisy sendiri atau orang yang telah mengenal dan berasimilasi dengan baik ke dalam budaya Quraisy, terutama linguistik Arab (kebahasaan) di Makah[58]. Pertimbangan tersebut, ber­kaitan dengan materi (wahyu) yang akan disampaikan sesuai dialek Quraisy. 

Ketiga,aspek penjiwaan/internalisasi materi ajar yang diberikan kepada peserta didik (audience). Maksudnya, kondisi psikologi para sahabat calon pendidik secara kontekstual, sangat tepat untuk mendukung penguasaan, kemantapan transfer knowledge danvalues kepada audience. Karena sebagian mereka adalah kaum lemah dan sebagian budak yang terpinggirkan di Makah, sedangkan materi yang akan diberikan berkaitan langsung dengan semangat pembebasan mereka dari kemapanan budaya feodal patriacal[59] Quraisy tersebut.

Pada tahapan ketiga, proses pendidikan telah bisa disebut bercakupan internasional. Karena pesan pendidik­an telah disampaikan juga kepada orang Yastrib suku Khazraj. Dengan ruang lingkup pendidikan Islam yang semakin meluas, maka metode  dan materinya juga ikut bertambah sesuai materi (wahyu) yang diturunkan Allah swt. (penambahan materi pendidikan sudah masuk pada periode pendidikan Madinah).  

b.    Tahap Pendidikan Islam Terbuka (Periode Madinah)

Tahapan pendidikan Islam periode ini terlaksana dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95. Pelaksanaan ibadah haji merupakan momen yang sangat tepat untuk melaksanakan proses pengajaran/penyebaran pesan (wahyu) kepada jamaah haji yang datang ke Makah. Suku Khazraj adalah yang pertama menerima pengajaran ini.

Aspek psikologis adalah faktor utama sehingga mereka mudah menerima pengajaran. Karena materi yang disampaikan juga sangat relevan dengan kebutuhan mereka yang sedang dilanda perang saudara akut antara suku ‘Aus dan suku Khazraj di kota Yastrib. Sesuai dengan materi awal Nabi Muhammad saw di Makah yang concern pada ketauhidan dan akhlak mulia, di antaranya berakhlak baik kepada sesama manusia dan saling tolong menolong antar sesama manusia. Materi ini sangat mereka harapkan, bukan saja harapan sebatas pesan oral, akan tetapi lebih jauh supaya bisa diaplikasikan di negeri mereka yaitu Yastrib.

Kemudian aspek yang tidak kalah pentingnya adalah kewibawaan Nabi sebagai pengajar adalah hal yang sangat berkesan sekali, sehingga mereka berharap Rasul datang ke kota mereka untuk memberikan pengajaran sekaligus tinggal di sana.

Peserta didik Nabi di kelas internasional ini terdiri 12 laki-laki dan 1 orang perempuan[60]. Kemudian tahap kedua sebanyak 73 laki-laki dan 2 orang perempuan[61]. Karena semangat dan kesungguhan mereka, sekaligus untuk kontinuitas pendidikan kelas inter­nasional ini, maka untuk sementara Nabi mengutus Mus’ab bin Umair  sebagai tenaga pendidik yang siap dan pilihan yang tepat waktu itu. Dikatakan siap karena beliau telah mendapat pendidikan langsung dari Nabi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Dikatakan tepat, karena Mus’ab bin Umair dianggap mempunyai kapabalitas, cakap secara fisik (tampan) dan memiliki wibawa, sehingga dengan alasan tersebut, proses transfer materi pengajaran /pendidikan Islam menjadi mudah.

Kota Yastrib sebagai destinasi (tujuan) program pe­ngem­bangan pendidikan Islam adalah sesuatu yang sangat logis mengingat kondisi Makah yang tidak bersahabat terhadap program pengembangan pendidikan Islam. Maka para sahabat (tenaga pendidik) dengan berombongan melakukan hijrah ke Yastrib. Karen Amstrong menyebutkan perpindahan/hijrah ini merupakan titik balik perkembangan pendidikan (dakwah) Islam lebih luas[62].

Adapun inti program pengembangan pendidikan di Makah berorientasi pada; persiapan tenaga pengajar/pendidik, persiapan dan penempaan mental calon pengajar/pendidik. Dapat disebut bahwa tenaga pendidik awal ini telah melakukan magang/praktek lapangan (istilah modern) di Makah. Orientasi pendidikan Islam di Makah secara umum dikategorikan sebagai kelas tamhidi (persiapan), kecuali untuk calon pendidik awal, pengajaran yang diberikan Nabi lebih mendalam. Kondisi laten budaya Quraisy yang kental, menyebabkan proses pengajaran hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Namun langkah ini sangat efektif, karena bangsa Quraisy telah mendapatkan informasi/pengetahuan Islam secara umum. Di saat fathuh (penaklukan) Makah di kemudian hari, orang Quraisy lebih mudah menerima pendidikan Islam, karena sebelumnya mereka telah memiliki pengetahuan tentang pengajaran Islam. Artinya bangsa arab di Makah telah mempunyai basic tentang Islam, sehingga banyak di antara mereka yang dengan sukarela masuk Islam ketika penaklukan berlangsung. Sebagian ada juga yang masuk secara terpaksa, namun proses dialogis yang terus dilakukan Rasul dan para Sahabat, mereka yang terpaksa menjadi bisa menerima.

Kembali kepada topik ini, pada pagi hari tanggal 4 September 622 M, rombongan sahabat Makah (Muhajrin) telah sampai di Yastrib. Di hari yang sama Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar baru tiba di Quba’. Mereka tinggal di sana selama 3 hari sebelum menyusul rombongan Muhajrin di Yastrib. Di Quba’ nabi memberikan pengajaran dan pendidikan kepada penduduknya sekaligus mendirikan institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw[63].

Di kota Madinah, program penggemblengan tenaga pengajar/ pendidik dapat dilakukan dengan maksimal. Demikian itu terbukti ketika para sabahat Anshar (orang Yastrib yang telah Islam) dan Muhajrin menjadi ujung tombak tenaga pendidik Islam baik di Madinah maupun ke semua penjuru negeri Arab.

Kemudian setelah Rasul sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal I H bertepatan tahun 622 M, beliau mendirikan masjid sebagai institusi pendidikan Islam yang kedua dalam dunia Islam.

Adapun materi pendidikan Islam yang diberikan Nabi periode ini diklasifikasikan sebagai berikut [64]:

1.    Pendidikan keimanan,

2.    Pendidikan Ibadat,

3.    Pendidikan Akhlak,

4.    Pendidikan Kesehatan (Jasmani), dan

5.    Pendidikan Kemasyarakatan atau kewarganegaraan.

Ramayulis menambahkan materi periode Madinah meliputi :      

1.    Tulis Baca Al-Qur’an,

2.    Kesejahteraan keluarga, dan

3.    Sastra Arab.

Sedangkan metode yang digunakan Rasul di Madinah meneruskan metode pendidikan di Makah dan beberapa tambahan yaitu [65]:

1.    Ceramah,

2.    Dialog,

3.    Tanya jawab atau diskusi,

4.    Demontrasi,

5.    Teguran langsung,

6.    Sindiran,

7.    Pemutusan dari Jamaah,

8.    Pemukulan (berkaitan dengan pengajaran Shalat untuk anak-anak),

9.    Komparatif kisah-kisah,

10.    Menggunakan kata Isyarat, dan

11.    Keteladanan.

Proses pendidikan yang dialogis menggunakan metode di atas nilai-nilai yang terkandung, untuk pendidik dan peserta didik dapat digambarkan sebagai berikut[66]:  Memperhatikan peserta didik secara menyeluruh serta kebutuhan-kebutuhannya dalam proses pembelajaran antara lain; mendengarkan pernyataan peserta didik, memperkenankan peserta didik mengutarakan isi hatinya, memilih tempat yang cocok  untuk bertemu dengan peserta didik seperti di masjid, dan memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan peserta didik.

Untuk peserta didik pernyataan yang diberikan harus jelas, pertanyaan yang disampaikan harus ringkas, persiapan jasmani dan rohani untuk mencari ilmu, kesiapan untuk menerima tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan, pertanyaan bermanfaat, pertanyaan akurat dan ilmiah,  pilihan waktu yang tepat bertemu dengan guru, duduk dekat dengan guru dan posisi duduk yang baik dan menyehatkan.

 

     3.    Bentuk-bentuk Institusi/ Lembaga Pendidikan Islam Pra Kebangkitan Madrasah dan Kuttab

Institusi atau lembaga pendidikan Islam dengan nama langsung Madrasah dengan pengertian tempat menuntut ilmu atau seperti tempat proses belajar-mengajar yang kita ketahui hari ini baru ada pada masa akhir Bani Abbasiyah di bawah pengaruh suku Seljuk Turki periode 2 di Baghdad yang berkuasa tahun 448-552 H/1055-1157 M[67]. Madrasah yang konotasi Universitas terbesar didirikan masa ini oleh Perdana Menteri Sultan Maliksyah (465-485/1072-1092)[68] yakni Nizam al- Muluk. Salah seorang tokoh ilmuan yang fenomenal di bidang keagamaan dan filsafat ialah Imam al-Gazali (1059-1111 M).

Sedangkan Kuttab sebagai tempat belajar telah ada sebelum Islam datang di Makah. Kuttab sebagai lembaga pen­didikan dasar sebelum Islam telah digunakan di Makah untuk kegiatan baca tulis. Seorang sejarawan Arab mencatat bahwa orang asli Makah yang pertama mengenal tulis baca diajar oleh seorang Kristen dan bahwa jumlah orang Makah yang mengenal tulis baca ketika Islam datang adalah 17 orang[69]. Namun menurut Ahmad Syalabi, orang yang pertama pandai tulis baca ialah Sofyan Ibnu Umaiyah Ibnu Andu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini mempelajarinya dari Bisyr Ibnu Abdil Malik yang belajar di Hirah[70]. Mungkin saja orang Hirah Kristen yang mengajarinya. Tetapi jumlah orang yang pertama pandai tulis baca waktu lebih dari satu orang.

Lebih lanjut Ibnu Batutah (779 H), menyebutkan kegiatan pembelajaran di tingkat Kuttab ini pendidiknya me­ngajarkan menulis dengan menggunakan kitab-kitab syair dan sebagainya.[71]

a.    Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

Sebelum berkembangnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnyabentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah;

1)   Kuttabsebagai lembaga pendidikan dasar

2)   Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)

3)   Masjid.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kebangkitan Madrasah yaitu

1)   Maktab/Kuttab

2)   Halaqah

3)   Majlis

4)   Masjid

5)   Khan

6)   Ribath[72].

b.    Rumah Ulama sebagai Lembaga Pendidikan

Masjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggara­kan­nya pendidikan Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum masjid dibangun, ketika di Makah Rasulullah menggunakan rumah al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau sebagai tempat untuk belajar Islam[73].

Untukmencapai tujuan dalam menyampaikan risalah tauhid sangat diperlukan suatu wadah atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah berprosesnya seluruh komponen pendidikan secara berkesinambungan dalam pencapaian tujuan pen­didikan yang sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa kuat­nya tanggung jawab kultural dan edukatif masyarakat dalam mempraktikkan ajaran Islam.

Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lahirnya pendidikan Islam di tandai dengan munculnya lembaga – lembaga pendidikan Islam. Ketika wahyu di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw,  maka untuk men­jelas­kan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah Arqam bin Abi al- Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan cera­mah di berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti yang dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi – materi pendidikan yang akan disam­paikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi saw[74].

Dengan dijadikannya rumah  Arqam bin Abi al-Arqam oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai tempat ber­kumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah melalui malaikat Jibril as., ini mem­buktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Dalam pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus di­kembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.

Sebelum masjid dibangun, maka di samping memberi pelajaran di rumah Arqam, Nabi juga mengajar di rumahnya di Makah, maka berkumpullah para sahabat di sekitar beliau untuk menerima pelajaran yang disajikan oleh Nabi. Kondisi tetap seperti itu hingga turunlah surat al-Ahzab ayat 35. Ayat ini di turunkan di Madinah sesudah masjid dibangun. Dengan turunnya ayat ini Allah telah meringankan kesibukan Nabi disebabkan mengalirnya manusia ke rumah beliau yang boleh dikata­kan tidak henti-henti[75].

Meski rumah bukanlah tempat yang ideal untuk mem­berikan pelajaran, banyak rumah ulama yang dipakai sebagaitempat belajar. Mungkin saja pelajaran di rumah dapat mengganggu penghuni rumah tersebut, namun ulama-ulama tidak keberatan rumahnya dipakai tempat belajar.Hal ini disebabkan semangat menyebarkan pengetahuan mereka dan karena belajar mengajar mempunyai nilai ibadah. Mereka dengan ikhlas dan senang hati menyediakan rumah-rumah mereka sebagai kelas-kelas belajar.

Belajar di rumah-rumah ulama merupakan fenomena umum di masyarakat Islam. Ini menunjukkan tidak ada rasa terganggu atau berat hati bila rumah mereka dipakai tempat belajar. Seharusnya, mereka berbangga hati karena pelajar-pelajar harus datang ke rumah mereka untuk bertanya dan belajar. Banyak laporan sejarah yang menjelaskan bahwa banyak pelajar yang menunggu di depan pintu rumah ulama-ulama. Mereka kesana untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi atau mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih. Ada diantara mereka yang menghadap ulama untuk meminta riwayat hadist, mendengarkan puisi, atau belajar ilmu lainnya[76].

 

C.  Kesimpulan

Bahwa lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan nilai-nilai yang ingin dicapai lembaga pendidikan Islam.

Awal perkembangan pendidikan Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejak turunnya wahyu pertama surat al-‘Alaq: 1-5. Kemudian pendidikan Islam secara terang-terangan ketika telah turunnya surat al-Mudatsir: 1-7, namun lingkupnya masih Arab Quraisy Makah. Sedang proses pendidikan terbuka yang meng-internasional setelah turunnya surat al-Hijri:94-95. Momen kegiatan pendidikan secara luas ini terjadi ketika musim haji tahun ke-12 kenabian, yang pertama sekali disambut dengan antusias oleh suku Khazraj dari Yastrib berjumlah 12 laki-laki dan 1 orang perempuan. Tahap pendidikan terbuka ketiga ini cikal bakal berkembangnya pendidikan Islam di Madinah setelah Nabi hijrah ke sana tahun 622 M.

Adapun materi-materi pendidikan yang ditekankan nabi Muhammad saw adalah Al-Qur’an dan Sunnah dengan fokus penekanan ketauhidan, ibadah dan akhlak terpuji, sedangkan pendidikan Islam di Madinah ada tambahan materi seperti; kesejahteraan keluarga, kesehatan (jasmani), kewarganegara­an, kesusastraan Arab dan baca tulis al-Qur’an. Metode yang dipakai adalah ceramah, dialog, tanya jawab atau diskusi, demonstrasi, teguran langsung, sindiran, pemutusan dari jamaah, pemukulan (berkaitan dengan pengajaran shalat untuk anak-anak), komparatif kisah-kisah, menggunakan kata isyarat, dan keteladanan.

Sedangkan lembaga pendidikan Islam yang berkembang masa awal ini adalah, Kuttabsebagai lembaga pendidikan dasar, rumah-rumah para ulama (para sahabat),   Badiah (Padang Pasir, dusun tempat tinggal Badwi), Masjid, Halaqah,  Majlis, danRibath.

 

Soal latihan :

1.        Jelaskan pengertian Lembaga Pendidikan Islam !

2.        Uraikanlah Perkembangan Pendidikan Islam zaman Nabi

a. Tahapan dan periode Makah

b. Tahapan dan Periode Madinah

3.        Jelaskanlah bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam pra kebangkitan Madrasah danKuttab zaman Nabi !

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Amstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204

 

Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indosesia (FKPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55

 

http://www.tugasku4u.com/2013/07/makalah-lembaga-pendidikan-islam.html  diunduh /2013/10/29

 

http://adarossyat.blogspot.com/2010/02/wahyu-yang-kedua.htm/2013/10/29

 

http://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/asep-sobirin/atsar-dakwah-dan-pendidikan-rasulullah-saw/2013/10/29

 

http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/24/metode-dakwah-rasul-489743.html/2013/10/29

 

http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html/2013/10/30

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 6

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23

 

Staton, Charles Michae, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h.  18

 

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.33

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENDIDIKAN MASA BANI UMAWIYAH

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menjelaskan Pendidikan Masa Bani Umawiyah

Indikator

:

1.     Perkembangan Pendidikan Masa Bani Umawiyah

:

2.     Tokoh-tokohIlmuandan Konstribusinyadalam Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah

:

3.     Lembaga Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah

 

4.     Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang Masa Bani Umawiyah

Strategi Perkuliahan

:

Presentase Makalah, Konstruktivisme, Kolaborative.

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikandan variasi sumber variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

:

100

 

 

A. Pendahuluan

           

Pendidikan Islam setelah pindah ke Madinah terus mengalami perkembangan dan kemajuan dengan bertambahnya kuan­titas peserta didik, tempat pendidikan, jumlah tenaga pendidik, pertambahan materi-materi ajar dan metode-metode pendidikan yang digunakan. Perkembangan yang signifikan terjadi pada masa Bani Umawiyah (661-743 M) berkuasa selama 90 tahun[77], bisa disebut periode I kemudian periode II mulai tahun (711-1492 M) di Andalusia (Spanyol) yang secara alamiah melanjutkan per­kem­­bangan pendidikan pada masa Khulafa –ar-Rasyidin.

Para pengembang awal pendidikan Islam masa Umawiyah adalah mereka yang masih hidup pada masa Umawiyah berkuasa. Semangat pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan lahir dari rahim ulama yang mempelajari al-Qur’an al-Karim. Dorongan untuk mencari ilmu dan menelaah alam, dalam bahasa wahyu pertama Iqra’ (bacalah). Membaca bisa dalam artian rangkaian huruf-huruf yang dikenal semua peradaban manusia, atau membaca tanda-tanda alam (ayat-ayat). Pendeknya membaca yang tersurat dan yang tersirat.

Lompatan perkembangan ilmu pengetahuan melalui proses pendidikan yang dilakukan para ulama baik dengan dukungan penguasa atau tidak telah melahirkan ilmu-ilmu baru di bidang eksak, sastra, filsafat maupun keagaman. Seiring perkem­bangan ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam juga ikut berkembang.

Dalam bab ini menyajikan topic: Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Tokoh-tokohIlmuandan Konstribusi­nya dalam Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang Masa Bani Umawiyah, Kesimpulan dan Soal-soal Latihan.

 

B.   Pembahasan

1.    Perkembangan Pendidikan Islam Masa Umawiyah

Pada masa Daulah (Dinasti) Bani Umayyah pendidikan Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan,namun bersifat desentralisasi dan tidak memiliki standar umur. Kajian keilmuan pada periode ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Makah, Madinah, Mesir, Cordova, Damsyik, Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir)[78]. Adapun aspek-aspek kemajuan pendidikan Islam yang mengalami peningkatan signifikan yang disorot dalam bab ini dalam bidang kurikulum dan metode pendidikan, diantaranya dapat diuraikan pada pembahasan berikut:

a.         Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umawiyah

Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam meng­gunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kuri­kulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu[79].

Seiring perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai ber­kembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi[80]. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umawiyah:

1)        Kurikulum Pendidikan Rendah

Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Al-Qur’an yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran antara mem­beda­kan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan. Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di Kuttab dan berakhir di diskusi halaqah (melingkar). Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga Kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Al-Qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.

2)        Kurikulum Pendidikan Tinggi

Perguruan tinggi Islam yang ada bukan berarti seperti yang dibayangkan hari ini, namun subtansinya kajian-kajian keilmuan yang dipelajari dilakukan oleh seorang peserta didik dan dosen/pendidik lebih mendalam. Kalau kita hubungkan tingkat keseriusan para pencari ilmu dari tingkat lain dibawahnya, maka pada tingkat perguruan tinggi waktu itu lebih giat menggali ilmu-ilmu yang ada. Parailmuan telah terbiasa menggunakan metode eksprimen,observasi, trial and errordan berfikir analitik untuk ilmu filsafat dan metafisika.

Berbicara kurikulum pendidikan tinggiyang ada waktu itu, ragamnya sangat bervariasi tergantung kepada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga pendidik/dosen tidak mewajib­kan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu[81].

Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah pendidikan tinggi dan berpindah dari sebuah pendidikan tinggi ke pendidikan tinggi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan yaitu, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah)[82].

 

b.        Metode-metode Pendidikan Islam pada Masa Bani Umawiyah

Pendidikan Islam di masa Dinasti Umawiyah tampaknya masih didominasi oleh metode bayani, terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Metode bayani dalam pendidikan Islam kala itu lebih bersifat ekspla­natif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja karena tingkat perkembangan ilmu-ilmu aqliah belum menjadi prioritas.

Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman itu, baru pada masa-masa akhir pemerintahan Umawiyah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab[83].

Metodeburhani /Tahlili (analitik) adalah metode yang telah dipakai pada zaman Aritoteles (lahir 384 SM)dengan pendekatan silogisme yang memakai istilah preposisi-preposisi[84]. Metode burhani diperkenalkan pertama kali oleh Al Kindi (801-873 M). Selanjutnya metode tersebut mencapai puncaknya ketika berada ditangan Ar-Rozi (865-925 M) dan Al- Farabi (872-950 M)[85] pada masa Bani Abbasiyah (tahun 132-656 H/750-1258 M)[86]

Selain metodeburhani, metode karya wisata (rihlah ilmiyah) dan penugasan sangat berkembang masa ini. Para ilmuan berlomba-lomba pergi ke wilayah yang pernah dinaungi peradaban Yunani untuk mendapat buku-buku klasik kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab[87].

Metode pendidikan Islam di bidang kajian keagamaan masih menggunakan metode kisah, amtsal, hukuman, pembiasaan, keteladan, diskusi, halaqah, ganjaran, dan tanya jawab. Penggunaan metode tersebut karena materi-materi keislaman sarat dengan hukum praktis untuk kehidupan sehari-hari.

2.        Tokoh-tokoh Ilmuan dan Kontribusinya dalam Pendidikan Islam Masa Umawiyah.

Banyak tokoh–tokoh ilmuan yang telah memberikan sumbangsih terhadap pendidikan Islam masa dinasti Umawiyah. Berkembangnya pendidikan Islam bukan dalam artian pembaharuan lembaga-lembaga, metode dan materi seperti pembaharuan pendidikan dunia modern yang kita kenal dewasa ini, namun lebih bersifat pembaharuan yang berkonotasi integrasi ilmu umum dan Islam seperti yang pernah dilakukan Muhammad Abduh (lahir1849M),dengan memasukkan mata pelajaran berhitung,aljabar,sejarah Islam,bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geometri dan geografi kedalam kurikulum al-Azhar. Dari segi metode perkuliahanyang bertele-tele yang dikenal dengan nama Syarah al-Hawasyi,diusahakan dihilangkan dan diganti dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkem­bangan zaman[88].

Perkembangan pendidikan Islam pada masa Umawiyah menanjak dari sebelumnya, yaitu dari yang belum ada menjadi ada; bukan memperbaiki yang telah ada, serta menyisipi yang telah ada. Perkembangan pendidikan Islam identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana ada ilmuan di sana dan pendidikan Islam. Walaupun yang menjadi ilmuan tersebut bukanlah orang muslim, tetapi semangat keilmuan didorong oleh dunia muslim yang bersumberkan al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw dan mereka berbakti dalam Tamaddun Islam di bawah pemerintahan Bani Umawiyah.

Perkembangan pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan yang terjadi secara integral. Bahwa pendidikan Islam bukan hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama namun juga ilmu-ilmu aqliah . Boleh jadi seorang ulama ahli tafsir juga ahli filsafat, atau menguasai ilmu-ilmu umum lainya. Bisa dikatakan ilmu pengetahuan tidak mengenal pemisahan ilmu agama dan umum. Dalam doktrin Islam sumber ilmu adalah satu yaitu Allah swt.  

Adapun Tokoh-Tokoh Pada Masa Bani Umayyah Periode I[89] terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.

a.   Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij

b.  Ulama-ulama Hadist yaitu: Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan guru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya, tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. 

c.  Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri ,Qys bin Mulawwah ,yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al Akhtal.

Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta bidang keahlian yang berkembang di Andalusia masa dinasti Bani Umayyah II[90] :

No

Nama

Bidang Keahlian

Keterangan

 

Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi

- Astrolog

- Ahli Hitung

- Ahli gerakan bintang-bintang

Dikenal sebagai Shahih al Qiblat karena banyak sekali mengerjakan penetuan arah shalat.

 

Abu al Qasim Abbas ibn Farnas

- Astronomi

- Kimia

Ilmi kimia, baik kimia murni maupun terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran. Farmasi dan ilmu kedokteran telah mendorong para ahli untuk menggali dan mengembangkan ilmu kimia dan ilmu tumbuh-tumbuhan untuk pengobatan.

 

Ahmad ibn Iyas al Qurthubi

Kedokteran

Hidup pada masa Khalifah Muhammad I ibn abd al rahman II Ausath

d.

Al Harrani

   

e.

Yahya ibn Ishaq

 

Hidup pada masa khalifah Badullah ibn Mundzir

f.

Abu Daud Sulaiman ibn Hassan

 

Hidup pada masa awal khalifah al Mu’ayyad

g.

Abu al Qasim al Zahrawi

- Dokter Bedah

- Perintis ilmu penyakit telinga

- Pelopor ilmu penyakit kulit

Di Barat dikenal dengan Abulcasis. Karyanya berjudul;al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif,dimana pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.

h.

Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib

- Ahli sejarah

- Penyair dan ahli nahwu sharaf

- wafat 238/852

- salah satu bukunya berjudul al Tarikh

i.

Yahya ibn Hakam

- Sejarah

- Penyair

k.

Muhammad ibn Musa al razi

- Sejarah

- wafat 273/886

- Menetap di Andalusia pada tahun 250/863

l.

Abu Bakar Muhammad ibn Umar

- Sejarah

- Dikenal dengan Ibn Quthiyah

- Wafat 367/977

- Bukunya berjudul Tarikh Iftitah al Andalus

m.

Uraib ibn Saad

- Sejarah

- Wafat 369/979

- Meringkas Tarikh al- thabari, menambahkan kepadanya tentang al Maghrib dan Andalusia, disamping memberi catatan indek terhadap buku tersebut.

n.

Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan

- Sejarah & sastra

- Wafat 469/1076

- Karyanya : al Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al Matin.

o.

Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli.

- Sejarah

- Penulis biografi

- Lahir di Cordova tahun 351/962 dan wafat 403/1013.

- Salah satu karyanya berjudul Tarikh Ulama’i al Andalus

 

Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab tidak terlepas daripada peran para ulama dan sastrawan, diantaranya adalah [91]:

a.            Ali al Qali. Ia adalah seorang tokoh besar pada zamannya. Ia dibesarkan dan menimba ilmu Hadits, bahasa, sastra, Nahwu dan sharaf dari ulama-ulama terkenal di Baghdad. Pada tahun tahun 330/941 al Nashir mengundang beliau untuk menetap di Cordova dan sejak saat itu Ali mengembangkan ilmu Islam sampai wafatnya (358/696). Dari sekian banyak karya tulisnya yang bernilai tinggi, diantaranya adalah al Amalî dan al Nawâdir.

b.           Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar. Ia adalah seorang ahli bahasa Arab, Nahwu, penyair dan sastrawan. Ia menulis buku dengan judul al Af’âl dan Fa’alta wa Af’alât. Ia meninggal pada tahun 367/977.

c.            Al Zabidi. Ia adalah guru dari Ibn Quthiyah. Al Zabidy sudah mengembangkan bahasa dan sastra di Andalusia sebelum adanya Ali al Qali. Bukunya yang terkenal adalah Mukhtashar al ‘Ain dan Akhbar al Nahwiyyîn.âîû

d.           Said Ibn Jabir, ia juga merupakan salah satu guru dari Ibn Quthiyah.

e.            Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini (269-319) dari Cordova dikenal sebagai orang pertama yang menekuni filsafat di Andalusia.

Berikut ini Bibliografi beberapa sastrawan Andalusia [92]:

a.            Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih. Lahir di Cordova 246/860. ia menekuni ilmu kedokteran dan musik, tetapi kecenderungannya lebih banyak kepada sastra dan sejarah. ia berhasil menggubah syari-syair pujian (madah) bagi empat khilafah Umawiyah, sehingga ia mendapat kedudukan terhormat di istana. Pada masa al Nashir ia menggubah 440 bait syair dengan menggunakan bahan acuan sejarah. Pada masa tuanya, Abu Amr menyesali kehidupan masa mudanya, kemudian ia berzuhud.

Oleh karenanya ia menggubah syair-syair zuhdiyyat yang ia himpun dalam al Mumhishât. Sebagian besar karya syairnya sudah hilang, sedangkan yang berupa prosa ia tuangkan dalam karyanya yang diberi nama al ‘Aqd al Fârid. Ia pada tahun 328/940 dalam keadaan lumpuh.

b.           Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid. Lahir di Cordova pada tahun 382/992. Ia dikenal dekat dengan penguasa. Dengan keterlibatannya dengan kemelut politik, ia sering membuat syair-syair dalma rangka membesarkan atau menggulingkan seorang penguasa. Pada masa kekuasaan Hamudiyah penyair ini dipenjarakan dan menerima penghinaan serta penganiayaan yang berat. Ia dibebaskan dalam keadaan lumpuh sampai wafat pada tahun 427/1035. Karyanya dalam bentuk prosa adalah Risâlah al Tawâbi’ wa al Zawâbigh, Kasyf al Dakk wa Atsar al Syakk dan Hanut ‘Athar.

c.            Ibn Hazm. Lahir pada tahun 384/994) merupakan penyair sufi yang banyak menggubah puisi-puisi cinta.

 

3.   Lembaga-lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti  Umayyah

Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah[93]:

BACA JUGA:   Taman makam islam malaka pesanggrahan jakarta selatan

a. Khuttab

Khuttab adalahtempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.

b. Masjid

Pada Dinasti Umayyah, Masjid adalahtempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.

c. Majelis Sastra

Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.  Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.

d.     Pendidikan Istana

Pendidikan Istana yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid. Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan.

Pendidikan anak di istana  berbeda dengan pendidikan anak – anak di kuttab pada umumnya. Di istana,orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu disebut mu’addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana di sebut mua’ddib karena berfungsi mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang – orang dahulu kepada anak-anak pejabat[94].

Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.

Pendidikan di istana,  tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istana di namakan denganmuaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau ajarkan al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara, (seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.[95]”

Di atas adalah contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pen­didik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.

Adapunrencana pembelajaran di istana sebagai berikut[96]:                                         

1)  Al-Qur’an (kitabullah)

2)  Hadis-hadis yang termulia

3)  Syair – Syair yang terhormat 

4)  Riwayat hukamah

5)  Menulis membaca dan lain – lain

 

 

e.    Pendidikan Badiah

Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.

f.      Perpustakaan

Al-Hakam Ibnu Nasir (350 H/961 M) mendirikan perpustakaan yang besar di Qurthubah (Codova). Perpustakaan ini tidak dipergunakan untuk membaca buku, tetapi disediakan juga ruangan untuk proses pembelajaran yang dibimbing oleh ulama sesuai bidang keahlian[97].

g.  Bimaristan(Rumah Sakit)

Rumah sakit di samping berfungsi untuk mengobati dan merawat orang sakit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat mendidik calon tenaga medis dan perawat, dan juga untuk mempelajari ilmu kedokteran[98].

Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut[99]:

a.   Madrasah Mekkah

Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.

b.   Madrasah Madinah

Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.

c.   Madrasah Basrah

Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.

d.   Madrasah Kufah

Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.

e.   Madrasah Damsyik (Syam)

Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.

f.    Madrasah Fistat (Mesir)

Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.  

g.   Madrasah Hasan Al-Bashri

Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.          

 

4. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Bani Umawiyah

.   Perkembangan Ilmu Pengetahuancukup signifikan, disamping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. Penguasa ikut memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah[100]:    

a.   Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses   pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn  Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.

b.   Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.

c.   Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.

d.  Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

e.   Ilmu Hadits dan penulisanya

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri    

f.   Teologi Islam (Ilmu Kalam)

Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   

 

C. Kesimpulan

Pendidikan Islam Zaman Bani Umayah mengalami kemajuan yang menentukan, karena perhatian penguasa ikut memberikan dorongan, di samping semangat keilmuan yang diusung ulama muslim yang notobenenya terinspirasi semangat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah kerap memberikan tantangan dan penghargaan untuk orang yang beriman yang menunjukan kualitas akal dan memberikan tempat yang terhormat untuk orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.

Perkembangan pendidikan Islam dari segi kurikulum dan, metodenya meningkat seiring bertambah banyak ilmu-ilmu baru yang ditemukan dari luasnya daerah taklukan Islam. Daerah takhlukan banyak meninggalkan khazanah ilmu pengetahuan yang ikut menambah kekayaan ilmu-ilmu Islam. Para ilmuan tidak melewatkan kesempatan yang ada dengan memanfaatkan ilmu-ilmu yang bertumpuk-tumpuk di daerah takhlukan. Perbedaan bahasa yang digunakan dalam buku-buku ilmu yang tinggal tidak bisa menghalangi mereka. Proses penterjemahan dari bahasa Yunani tidak langsung ke bahasa Arab tapi terlebih dahulu ke dalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa Arab.

Tokoh llmuan sekaligus pengembang pendidikan Islam zaman bani Umayyah adalah : Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri, Qys bin Mulawwah, yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al Akhtal, Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi, Abu al Qasim Abbas ibn Farnas, Ahmad ibn Iyas al Qurthubi, Al Harrani, Yahya ibn Ishaq, Abu Daud Sulaiman ibn Hassan, Abu al Qasim al Zahrawi, Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib, Yahya ibn Hakam, Muhammad ibn Musa al razi, Abu Bakar Muhammad ibn Umar, Uraib ibn Saad, Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan, Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli, Ali al Qali, Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar, Al Zabidi, Said Ibn Jabir, Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini, Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih, Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid, Ibn Hazm.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam terus tumbuh di antaranya; Khuttab, Masjid, Majelis Sastra, Pendidikan Istana, Pendidikan Badiah, Perpustakaan, Bimaristan (Rumah Sakit), Madrasah Mekkah, Madrasah Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik (Syam, Madrasah Fistat (Mesir), Madrasah Hasan al-Bashri, yang telahmengasilkan banyak ilmuan baik agama maupun ilmu-ilmu aqliah. Para ulama sekaligus ilmuan menjadikan tempat tinggal maupun tempat bekerjanya sebagai tempat pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan itulah munculnya cikal bakal ilmuan penerus dan mengahasilkan ilmu pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam di antara; Ilmu agama, seperti; al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh, .      Ilmu sejarah dan geografi, Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, Bidang filsafat, Teologi Islam (Ilmu Kalam).

Ditambah dengan perkembangan Bani Umayyah II yang berkembang di Codova (Spanyol) menambah semarak keilmuan.

 

Soal Latihan :

1.      Jelaskanlah dua aspek perkembangan pendidikan Islam periode Bani Umayyah

2.      Sebutkanlah lima tokoh ilmuan muslim dan jelaskan kontribusinya dalam perkembangan pendidikan Islam periode Umayah I dan II

3.      Sebutkanlah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berkembang periode Bani Umayah

4.      Jelaskanlah spesialisasi 3 pusat pendidikan Islam periode Bani Umayah Periode I

5.      Uraikanlah Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada Masa Bani Umayah

6.      Menurut anda faktor apa yang membuat berkembangnya pendidikan Islam dengan baik pada periode Bani Umayah tersebut. Dan bagaimana relevansi dengan keadaan meredupnya perkembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html/2013/10/31

 

http://ahmadbarokah05.blogspot.com/2012/10/pengertian-perkembangan-dan-metode.htm/2013/11/1

 

http://politik132.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-dinasti-abbasiyah.html/2013/11/1

 

http://muhammadmuslih06.blogspot.com/2013/02/pemikiran-muhammad-abduh-tentang.html/2013/11/1

 

http://16huzna.blogspot.com/2012/12/bani-mayyah.html/2013/11/1

 

http://imaduddin-syukra.blogspot.com/2011/05/para-ilmuan-muslim-dan-peran-mereka.html/2013/11/1

 

http://ratnatus.blogspot.com/2012/08/perkembangan-pendidikan-pada-masa.html/2013/11/1

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

 

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam Kepada Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Jakarta: PM3, 1981, Cet. I

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENDIDIKAN MASA ABBASIYAH

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menjelaskan Pendidikan masa Abbasyah

 

Indikator

:

1.    Perkembangan pendidikan Islam masa Abbasiyah

:

2.Tokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah

:

3. Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah

 

4. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah

Strategi Perkuliahan

:

T Presentase Makalah, Konstruktivisme, Kalaborative.

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

:

100

 

 

A. Pendahuluan

            Pendidikan Islam masa Abbasiyah (132 H/750 M-656 H/1258 M)secara alami mewarisi semangat bangunan pendidikan Islam yang telah ditata dan dibina  Bani Ummayah. Bani Umayyah berkuasa hanya 90 tahun, karena adanya pemberontakan yang dimotori oleh kaum Abbasiyah. Dikatakan Abbasiyah dikarenakan mereka ialah anak cucu yang keturunan langsung dari paman Nabi Muhammad saw yaitu Abbas bin Abdul Muthalib(566-652M).

Pemberontakan yang menyebabkan tumbangnya Kerajaan Bani Umayyah (Keluarga Sofyan bin Muawiyah) tidak serta merta menghancurkan tatanan kerajaan secara menyeluruh. Tidak ada yang berubah secara signifikan untuk tatanan masyarakat dan lembaga masyarakatnya. Namun yang mengalami perubahan adalah penguasanya saja, yang sebelumnya keturunan Umayyah tapi kemudian digantikan keturunan Ibnu Abbas ra atau disebut Bani Abbasiyah.

Berarti bidang pendidikan selain politik (kekuasaan) tetap seperti apa adanya, bahkan mengalami kemajuan yang lebih pesat. Batasan kajian ini hanya untuk masa kemajuan Abbasiyah tahun 750-833 M(menurut Ira Lapidus). sedangkan menurut  Muhammad Hudlari Bekmasakekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M). Periode ini penguasa kerajaan murni dikendalikan oleh orang Arab tanpa pengaruh bangsa ‘Ajam (non Arab) lainya. Menurut Ira Lapidus, setelah masuknya pengaruh ‘Ajam merupakan periode awal kemunduran Abbasiyah[101]. Awal masuknya pengaruh asing setelah meninggalnya Al-Mutawakkil dan digantikan oleh anaknya Al-Mustanshir(1226-1242 M).Dia mempunyai ibu berbangsa Turki, sehingga mengutamakan kaum Turki (Seljuq) sebagai pembantunya di Kerajaan. Ini awal bangsa ‘Ajam mulai mempengaruhi Bani Abbasiyah[102]Jadi, dianggap telah masuk awal kemunduran Bani Abbasiyah. Maka yang menjadi fokus kajian ini seperti yang disebutkan di atas. Sedangkan Pendidikan Islam Periode kemunduran Abbasiyah akan menjadi bahasan tersendiri, setelah ini.

Empat pokok bahasan yang akan dikupas pada sesi ini yaitu: Awal Perkembangan Pendidikan Islam Bani Abbasyah, Tokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah, Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah, kesimpulan dan soal-soal latihan

Setelah membahas materi ini mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan keempat bahasan di atas dengan baik.

             

B. Pembahasan

1.         Awal Perkembangan Pendidikan Islam Bani Abbasyah

Peletak utama dasar-dasar kekuasasan  Bani Abbasiyah adalah Abu Abbas As-Saffah (749-754 M)[103]. Namun sebagai pembina awal kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan Khalifah Al-Manshur (754-775) yang telah mendesain dengan baik berdirinya kota Bagdad dekat tempat Ctesiphon atas perencanaan filosof Persia, Nawbakht, dan ahli astronomi Masya’allah, seorang Muslim Yahudi. Dalam limapuluh tahun perencanaannya, kota Bagdad muncul menjadi kota paling penting di dunia dengan menyaingi Konstatinopel[104]. 

Berawal dari penyakit Al-Mashur yang susah dicarikan obatnya, maka didatangkanlah Jurjis ibnu Bakhti Yashu, seorang dokter Nestoria yang terkenal, dari akademi Kedokteran Jundi Syapur Ke istana Abbasiyah. Suatu Peristiwa yang memberikan pengaruh yang besar atas perkembangan sains dan seni pengobatan pada masa selanjutnya. Keberhasilan dokter Jurjis ibnu Bakti Yashu dalam menyembuhkan penyakit khalifah Al-Mashur maka mereka diberikan kemakmuran hidup di Bagdad oleh khalifah sebagai dokter-dokter istana, mereka juga membangkitkan studi karya-karya besar Hippocrates (436 SM) dan Galen (200 SM)[105]. 

Kemudian muncul pula ahli matematika dan astronomi India ke Istana al-Manshur pada tahun 773 M dengan membawa sebuah buku Sinddanta (Shindhin, sebuah risalah tentang astronomi) menyebabkan khalifah memerintahkan penerjemahan karya itu ke dalam bahasa Arab[106].

Muhammad Ibrahim al-Farazi melaksanaka tugas itu dengan baik dengan dibantu oleh pembantu-pembantunya yang cakap. Dalam beberapa tahun Irak (Bagdad) melahirkan sejumlah ahli astronomi yang sangat mumpuni hingga memberikan sumbangan yang berarti sekali sampai abad 14[107].

Di antara harta berharga yang didatangkan dari Bizantium, diperolehnya naskah-naskah Yunani tentang geometri, astronomi, kedokteran dan filsafat. Proyek penterjemahan berlangsung dengan baik atas sokongan Khalifah Harun-ar-Rasyid dan Al- Makmun[108].

Dari negeri Persia (Iran) Islam memperoleh astronomi, namun yang paling berpengaruh bidang kesusastraan dan seni rupa Arab. Di antara sastra terkenal yang diterjemahkan Khalilah wa Dimmah diterjemahkan seorang Zoroaster yang telah masuk Islam Ibnu al-Muqaffa (757 M)[109]. 

Proyek besar yang tengah dilakukan para khalifah Abbasiyah adalah transfer ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab sehingga mudah dipelajari oleh ulama atau cendikiawan muslim yang tidak banyak yang mampu menguasai bahasa tersebut. Program penterjemahan yang penomenal khalifah al-Makmun bidang filsafat, kedokteran dan sains Yunani.

Tercatat bahwa Hunain bin Ishaq (809-873 M) mendapat bayaran penterjemahan setara dengan berat buku yang diterjemahkan[110].  Adalah sebuah langkah fantastis oleh penguasa untuk mendorong semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Kebangkitan sebuah peradaban terkait dengan bersemangat tidaknya ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan menggeliat bila penguasa benar-benar cinta ilmu pengetahuan. Terbukti masa gilang gemilang peradaban Abbasiyah tatkala pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan benar-benar menjadi primadona. 

 Seiring dengan menggeliatnya proyek penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab, secara bersamaan kegiatan pendidikan Islam berjalan lebih bersemangat, karena semakin luasnya materi-materi baru yang didapatkan dari berbagai penjuru negeri. Para ulama dan cendikiawan muslim bertambah semangat menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu baru tersebut.

Tempat-tempat penterjemahan yang digunakan sekaligus menjadi tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan Islam. Istana, labor observasi dan rumah-rumah ulama menjadi tempat yang biasa digunakan sebagai tempat penterjemahan sekaligus pelaksanaan pendidikan Islam. Bait al-Hikmah yang didirikan khalifah Al-Makmun menjadi tempat yang luas digunakan untuk proses kegiatan keilmuan dan proses pendidikan Islam.  

Ada beberapa faktor yang berkesinambungan menjadi pendorong kemajuan pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah menurut Ramayulis yaitu[111] :

a.                   Karena adanya kekayaan yang melimpah dari pajak (kharaj).baik dari perdagangan maupun pertanian, dengan kekayaan itu, khalifah mudaj merealisasikan perencanaan untuk dalam maupun luar negerinya, serta pengembangan ilmu pengatahuan

b.                  Perhatian beberapa khalifah yang besar kepada ilmu pengetahuan seperti al-Mansur (757-775 M), al-Mahdi (775-785 M), Harun al-Rasyid (785-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Wathiq (824-8-47 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M). Tak kalah pentingnya, pengaruh keluarga Barmak, yang berasal dari Balk, pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia. Keluarga ini mempunyai pengaruh yag kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Bagdad. Mereka di samping menjadi Wazir juga menjadi pendidik anak khalifah di istana.

c.                   Kecenderungan umat Islam dalam mengggali ilmu pengetahuan besar sekali, maka banyaklah ulama di setiap kota  Islam masa itu.

d.                  Kondisi masyarakat Irak, yang mendesak perlunya suatu lmu baru kerena sungai Dajlah dan Furat menuntut penataan pengairan yang lebih baik serta pengelolaan perpajakan yang lebih sempurna.

e.                   Umat Islam yang telah bercampur baur dengan orang Persia, terutama Mawali, mereka inilah yang memidahkan ilmu pengetahuan  dan filsafat dari bahsa mereka ke dalam bahasa Arab.

f.                   Bagdad sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu maju dalam ilmu pengetahuan, dari pada Damaskus masa itu.

g.                  Lancarnya hubungan kerjasama, dengan Negara-negara maju lainya, seperti India, Bizantium dan lainya

h.                  Ditemukannya teknologi kertas[112], sehingga memudahkan para ilmuan mendokumenkan ilmu pengetahuan yang ditemukannya.

i.                    Secara umum tidak adanya saingan yang berarti dengan peradaban lainya[113].

Kondisi yang sangat tepat untuk perkembangan bani Abbasiyah ini, sebenarnya terjadi untuk lintas sektoral yang, selain pendidikan/pengajaran ilmu-ilmu aqliah yang diambil dari dunia luar dan daerah takhlukan, ilmu-ilmu agama tentunya tidak ketinggalan. Geliat ilmu agama dengan segala variannya berkembang dengan suburnya. Misalnya dalam bidang teologi/ilmu kalam Islam mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Makmun. Perseteruan pemikiran tidak hanya dalam lintas akademik murni melainkan merembes ke ranah politik dan kekuasaan. Karena kuatnya pengaruh teologi dalam kekuasaan Bani Abbasyah khusunya ketika al-Makmun berkuasa, lahirlah Istilah al-Mihnah (ujian kepada orang yang ingin masuk menjadi pejabat di kerajaan atau yang tidak mendukung). 

Pertikaian teologi yang melibat kekuasaan telah banyak membawa dampak negative kepada ulama yang tidak mendukung paham teologi yang berkuasa. Khusunya ulama-ulama yang menyebut dirinya pembela sunnah. Mereka tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluk sebagai mana yang dipercayai kaum Mu’tazilah (paham liberal) yang di dukung kekusaan. Mereka yang dianggap  membangkang, disiksa dan dipenjara. Bahkan ada yang wafat untuk mempertahankan kepercayaannya. Di antara ulama kalangan salaf yang kena getahnya ini adalah Muhammad bin Hanbal (lahir 164 H) di Bagdad[114]. Sedangkan yang wafat di antaranya Muhammad bin Maimun al-Jundi An-Naburi, Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i dan Abu Ya’kub Al- Buaithi[115].  

Namun, untuk ilmu aqliah  berkembangannya tidak seperti ilmu rumpun agama, bisa dikatakan relative stabil dan netral, karena ilmu-ilmu aqliah tersebut tidak menjadi bagian kepercayaan praktis masyarakat Islam kala itu. Bisa dikatakan kedudukannya hanya sebagai penopang kemajuan peradaban dan memudahkan kegiatan praktis masyarakat Islam.   Jadi, tidak terjadi sentiment seperti ilmu rumpun agama.

 

2.    Tokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah,

Salah satu faktor kesuksesan dinasti abbasiyah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah dengan banyaknya ilmuan muslim pada zaman tersebut yang memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sekaligus kepada pendidikan Islam diantaranya adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Kindi, Ibnu Haytham, al-Rhazi dan lainya di bawah ini diuraikan sebagai berikut[116]:

a.   Ibnu Sina

Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā, ia lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Iran), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Iran.

Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Al-Qanun fi At-Tibb.

b.   Ibnu Rusyd

Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja.

Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai “Kadi” (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada. Beberapa karya ibnu Rusyd yang terkenal diantaranya adalah Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat).

c. Al-Kindi

Al-Kindi (801-873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunaniditerjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang ia terjemahkan sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.

Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah memengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi. Ia menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.

Al-Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan olehIbnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid’ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.

 d.  Ibnu Haytham

Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (965-1039), dikenal dikalangan Barat dengan namaAlhazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.

Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H bersamaan dengan 965 Masehi, ia memulai pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di bandar kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan perhatian pada penulisan.

Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir, selama di sana beliau telah mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar. Setelah itu beliau menjadi seo­rang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, mate­matik, geometri, pengobatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang pengajian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi asas kepada pengajian pengobatan modern mengenai mata.

 e.   Al-Rhazi

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (865-925) atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran. Ia lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 9 Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-nya berasal dari nama kota Rayy. Kota tersebut terletak di lembah selatan jajaran Dataran Tinggi Alborz yang berada di dekat Teheran, Iran. Di kota ini juga, Ibnu Sina menyelesaikan hampir seluruh karyanya.

Ar-Razi sejak muda telah-mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.

Saat masih kecil, ar-Razi tertarik untuk menjadi penyanyi atau musisi tapi dia kemudian lebih tertarik pada kimia dan pada umurnya yang ke-30, ar-Razi memutuskan untuk berhenti menekuni bidang kimia dikarenakan berbagai eksperimen yang menyebabkan matanya menjadi cacat. Kemudian dia mencari dokter yang bisa menyembuhkan matanya, dan dari sinilah ar-Razi mulai mempelajari ilmu kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran dari Ali ibnu Sahal at-Tabari, seorang dokter dan filsuf yang lahir di Merv. Dahulu, gurunya merupakan seorang Yahudi yang kemudian berpindah agama menjadi Islam setelah mengambil sumpah untuk menjadi pegawai kerajaan dibawah kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mu’tashim.

Razi kembali ke kampung halamannya dan terkenal sebagai seorang dokter disana. Kemudian dia menjadi kepala Rumah Sakit di Rayy pada masa kekuasaan Mansur ibnu Ishaq, penguasa Samania. Ar-Razi juga menulis at-Tibb al-Mansur yang khusus dipersembahkan untuk Mansur ibnu Ishaq. Beberapa tahun kemudian, ar-Razi pindah ke Baghdad pada masa kekuasaan al-Muktafi dan menjadi kepala sebuah rumah sakit di Baghdad dan setelah kematian Khalifah al-Muktafi pada tahun 907 Masehi, ar-Razi memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Rayy, dimana dia mengumpulkan murid-muridnya. Dalam buku Ibnu Nadim yang berjudul Fihrist, ar-Razi diberikan gelar Syaikh karena dia memiliki banyak murid. Selain itu, ar-Razi dikenal sebagai dokter yang baik dan tidak membebani biaya pada pasiennya saat berobat kepadanya.

f.     Al-Khowarizmi

Beliau adalah bapak Aljabar. Karyanya yang terkenal yaitu Kitab Al-Jabru wal Muqabbala. Dari buku ini kita mengenal ilmu Aljabar yang diajarkan di pelbagai sekolah di dunia termasuk di Indonesia. Beliau juga yang menemukan angka nol. Di Barat beliau dikenal dengan nama Alghorizm. Nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah ilmu matematika yang disebut Algoritma[117].

g.                  Jamsyid Giatsuddin Al-Kasyri

Beliau hidup pada abad ke-17. Beliau adalah ulama’ yang sangat pandai dalam hal agama dan ilmu pengetahuan. Beliau adalah seorang Professor dalam bidang Matematika dan Astronomi di Universitas Samarkand. Beliaulah peletak dasar aritmatika yang dilakukan atas dasar slide rule yang dianggap sebagai penemuan ilmiah paling penting dalam matematika pada abad kini. Buku karangannya yang terkenal yaitu Makhutu Miftahil Hisab[118].

h.                  As-Simay

As-Simay adalah seorang yang ahli dalam bidang Biologi. Salah satu buku hasil karya beliau yang terkenal adalah Kitabun Nabati was Syujjar. Buku ini mengupas masalah biologi, terutama bidang tumbuh-tumbuhan dan pepohonan.

i.      Ibnul Awwan

Ibnu Awwan adalah seorang yang ahli dalam bidang pertanian. Bukunya yang terkenal yaitu Al-Fallah[119].

j.      Al-Jahiz

Al-Jahiz adalah seorang yang ahli dalam bidang biologi, khususnya bidang ilmu hewan. Karyanya yang terkenal adalah Al-Hayawan[120].

k.    Sabit bin Qurrah Al-Hirany

Beliau seorang yang ahli dalam bidang matematika. Karyanya yang terkenal antara lain Kitab Hisabul Ahillah dan Kitabul ‘Adad.[121]

l.      Abu Abdillah Al-Qazwani

Dilahirkan pada abad ke-7 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama’ yang ahli dalam bidang sejarah. Kitab yang dikarangnya, Asarul Bilad wa Akhbarul Bilad adalah kitab terbaik pada masanya[122].

m.                Abu Ar-Raihan Al-Bairuni

Beliau telah menyusun Kitab Al-Atsar Al-Baqiah yang merupakan kitab pertama di dunia yang meneliti tentang sejarah, perbedaan bulan, tahun, penanggalan, sebab, dan cara mengistinbatkannya. Kitab lain yang terkenal adalah Tahqiqu lil Hindi min Ma’qulah Maqbulatun fi ‘Aqli au Marzulah. dianggap sebagai kitab yang mengadakan studi tentang India secara lengkap. Di dalamnya dijelaskan sifat-sifat alamnya, tanahnya, cuacanya, adat penduduknya, pertumbuhannya dan asal-usulnya[123].

3.         Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah,

Pusat-pusat pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga pendidikan banyak mengalami perkembangan, sesuai perkembangan tumbuhnya semangat keilmuan baik aqliah maupun agama. Berikut ini, lembaga pendidikan Islam untuk kegiatan keilmuan agama dan aqliah  adapun Lembaga pendidikan Agama yang berkembang menurut Charles Michael Staton yaitu:

a.         Masjid

Masjid secara historis masjid Quba pertama yang menjadi Institusi pendidikan Islam pertama didirikan nabi Muhammad selain tempat ibadah sekaligus tempat pengajaran. Metode pengajaran yang digunakan nabi adalah halaqah (melingkar). Kemudian pelaksanakan halaqah di masjid-masjid kaum muslimin era Abbasiyah terbagi menjadi dua jenis dan halaqah yang secara umum pada tingkat tinggi da halaqah  yang khusus diperuntukkan bagi kajian dalam salah satu mazhab yang empat[124].

Sedangkan Masjid sebagai lembaga dibagi menjadi dua tipe yaitu pertama, Masjid Jami’ yang dibangun Negara di bawah pengawasan khalifah atau Gubernur. Kedua, Masjid non Jami’ yaitu masjid local yang ekslusif. Bangunan ini lebih kecil ukuran bangunannya. Bangunan ini dibangun sesuai kesbutuhan sekelompok masyarakat Islam yang tinggal di lingkungan tertentu atau sekelompok penganut mazhab tertentu. Masjid seperti ini tersebar diseluruh kota-kota Islam Abbasiyah[125].

Setiap masjid Jami’ dipimpin seorang syaikh yang diangkat khalifah atau Gubernur. Kegiatan halaqah mengambil tempat di satu sudut atau di seputar pilar dalam masjid. Halaqah dalam satu masjid menawarkan materi pelajaran seperti ; hadis, tafsir, fiqih, ushul al-fiqih, nahu, sharaf, dan sastra Arab. Jumlah murid dalam setiap kajian tergantung popularitas seorang syaikh. Biasanya halaqah terdiri dari 10 sampai 20 orang murid[126].

b.        Lembaga Wakaf

Berdasarkan hukum wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang assetnya akan mendukung satu lembaga yang dia pilih[127]. Lembaga wakaf mendukung kegiatan proses pendidikan Islam baik itu di masjid atau tempat lain, dukungan wakaf harta kaum muslimin yang disumbangkan digunakan  untuk membangun asrama mahasiswa (khan), biasanya penghuni asrama diisi oleh siswa atau mahasiwa yang jauh dari desa-desa, yang pada umumnya mereka belajar fiqih[128].

c.    Kuttab atau Maktab

Kuttabdan Maktab, berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian pendidikan dasar, yang mengajar membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan tingkat dasar. Mengenai waktu belajar di kuttab, dimulai dari hari sabtu sampai dengan hari kamis siang dengan materi al-Qur’an yang dilakukan dari pagi sampai Dhuha. Kegiatan menulis sampai waktu zuhur, dan Gramatikal Bahasa Arab, matematika dan Sejarah ba’da zuhur sampai siang[129].

d.        Al-Ribath

Al-Ribath adalah kegiatan sufi yang ingi menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syaikh yang terkenal dengan kesalehannya. Al-Ribath biasanya diisi oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufistik. Bangunan al-Ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan pelajaran agama[130].

e.         Al Zawiyah

Al-Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliah danaqliah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan oleh sufi sebagai tempat halaqah zikir dan tafakur untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah swt[131].

Lembaga pendidikan Islam yang memusatkan pada ilmu aqliah adalah :

a.    Bait al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium

Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah prototype institusi yang ada di masa Imperium Sasanid Persia, bernama ‘Jundisapur Academy’. Namun, kedua lembaga ini mempunyai perbedaan yang mendasar, kalau Jundisapur hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, sedangkan Bait al Hikmah memyimpan berbagai koleksi ilmu pengetahuan sekaligus tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.  Pada masa khalifah Harun al-Rasyid, Bait al-Hikmah diberi dinamakan Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat peneletian. Sejak tahun 815 M khalifah al-Makmun mengubah namanya menjadi ‘Bait al-Hikmah’. Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan Etiopia dan India[132].

Di institusi ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-Jabar dan Astronomi. Sedangkan direktur perpustakaan Bait al-Hikmah adalah Sahl Ibn Harun seorang nasionalis Persia yang ahli Pahlewi. Bait al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan metematika[133]. 

b.        Toko buku dan Perpustakaan

Walaupun sarjana-sarjana modern mungkin kesulitan mengakui toko-toko buku sebagai pusat pendidikan tinggi, tetapi mereka tetap mengakui fungsi tersebut di kota-kota Islam. Selama kejayaan Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah dan peran pentingnya, menyebar keseluruh wilayah Islam khususnya melalui Afrika Utara dan Semenanjung Iberia[134].

Sebelum perusakan dilakukan bangsa Mongol di Bagdad ada 100 lebih penjual buku atau toko buku. Kota-kota Sharaz, Basrah, Kairo, Kodova, Fez, Tunis dan banyak kota yang mendukung berlipatgandanya jumlah buku. Para pembeli dan penjualnya sering kali berasal dari kalangan cerdik pandai, yang tentunya memberikan andil yang sangat besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Parsi. Atau bangsa-bangsa Timur dan melalui karya-karya berbahasa Arab  yang disalin dan disediakan untuk umum[135].

Proses pendidikan Islam terjadi di toko buku dan perpustakaan dengan lingkaran diskusi dan Sanggar Sastra. Perpustakaan adalah inti dari program pengajaran, yang memperluas materi-materi pelajaran dalam perkuliahan dan diskusi-diskusi[136].

c.      Rumah sakit dan Klinik

Rumah Sakit dan Klinik berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi selama kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Rumah Sakit seperti halnya dalam kasus Perpustakaan dan Laboratorium menerima dukungan Khalifah, Gubernur dan Sultan[137].

Proses pendidikan kedokteran diselenggarakan di lingkungan Rumah Sakit. Kelompok awal (para dokter yang terkenal) dapat bekerja dengan para muridnya secara pribadi, mempercayakan kepada mereka penanganan pasien di tempat pengobatan dan klinik mengontrol kemajuan pengobatan, dan melibatkan mereka dalam proses pengklinikan seperti operasi[138]. 

Tujuan dari bimbingan ini adalah untuk menggabungkan pelajaran-pelajaran teoritis dan praktis ke dalam pengalaman belajar terpadu terhadap pelajar yang bersangkutan. Seorang dokter mengajar di klinik atau rumah sakit seperti itu, yang dikerumuni murid-muridnya lebih menyerupai sistem modern, dalam hal; bimbingan dan ‘pengasramaan, di mana seorang dokter menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan secara bergilir kepada murid-muridnya[139].

d.        Kesusteraan-pendidikan Liberal dalam Islam

Orang-orang yang ingin meningkatkan pendidikan mereka melalui media informal tidaklah terbatas pada pelajaran ilmu-ilmu non Islam. Kerangka dari sebuah pendidikan secara umum telah terbentuk di dalam Islam melalui kususesteraan yang disebut ‘adab’, yang sering diterjemahkan sebagai pelajaran tatakrama[140].

Untuk membantu orang-orang mempelajari adab, beberapa ahli multi disipliner Islam menulis buku-buku teks yang menyajikan informasi dasar mengenai semua bidang ilmu pengetahuan tersbut[141]. Seperti al-Farabi dan al-Khawarizmi dll.

e.         Al-Qurhur (pendidikan rendah Istana)

Munculnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat didasarkan atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya setelah dewasa. Untuk itu, keluarga raja dan pejabat istana lainya berusaha mempersiapkan anak-anaknya sejak kecil dengan memperkenalkan tugas-tugas serta lingkungan   kerjanya di masa depan[142].

Para pejabat istana dan khalifah memperkerjakan para pendidik yang disebut muaddib di lingkungan istana. Syalabi mengatakan mendidik para calon raja (pangeran) adalah pekerjaan yang sangat digemari[143]. Keluarga terkenal sebagai pendidik di kalangan Istana adalah keluarga al-Barmakh di istana khalifah Abbasiyah.

f.     Rumah para Ilmuan (ulama’)

Beberapa ilmuan menjadikan rumahnya sebagai tempat pendidikan, antara lain; rumah Abi Muhammad ibn Hatim al- Razi al-Hafiz dalam mempelajari ilmu kedokteran, dan rumah Abi Sulaiman al-Sajastani dalam mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantik[144].

Dijadikannya rumah para ilmuan tersebut sebagai tempat proses pendidikan menurut Ramayulis dilatarbelakangi oleh beberapa hal di antaranya:

a.    Rumah dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus.

b.    Situasi dan kondisi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, dan lain-lain.

c.    Adanya anggapan, bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik daripada guru yang mendatangi murid.

d.   Jumlah murid yang banyak, sehingga sebagian hanya bisa ditampung belajar di rumah ulama yang bersangkutan[145].

 

 

4.    Ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah.

Beberapa ilmu pengetahuan yang berkembang masa BaniAbbasiyah, yaitu ilmu kedokteran, hukum, filsafat, dan hadits[146]:

a.  Kedokteran

Ilmu kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai keadaan sehat maupun tidak. Artinya kesehatan bisa hilang, dan jika hilang, perlu diperbaiki. Dengan kata lain, seni dimana kesehatan berkaitan, dan akan diperbaiki setelah hilang.

Kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang cara-cara untuk mempertahankan tubuh dari penyakit dan cara-cara untuk penyembuhan tubuh dari penyakit tersebut. Pada kejayaanya, ilmuan muslim mempunyai pengaruh yang besar di bidang ini, bahkan ada yang dinobatkan menjadi bapak kedokteran dunia, yaitu Ibnu sina.

1).   Fisiologi

يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ (7) فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah (Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.” (al-infithaar, 6-8).

“Dalam menentukan kegunaan setiap organ seharusnya kita melakukan percobaan untuk membuktikan kebenaran dan penelitian yang jujur, tanpa memperhatikan apakah pendapat itu sejalan atau tidak dengan pendahulu kita.” (Ibnu Nafis).

Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi organisme hidup serta bagian-bagiannya, dan mempelajari faktor fisika serta kimia dan proses yang terlibat didalamnya.

Dalam pengembangan ilmu fisiologi, ilmuan muslim yang mempunyai pengaruh besar salah satunya adalah Ibnu Nafis (687-1288), dikenal sebagai bapak fisiologi sirkulasi karena dia adalah orang pertama yang menjelaskan sirkulasi paru-paru, sirkulasi coroner, dan sirkulasi kapiler. Bahkan dia orang yang paling awal menjelaskan tentang konsep metabolisme.Ibnu Nafis yang bernama lengkap ‘Ala’ al-Din ‘Ali ibn Abi l’Haram al-Qurasi tersebut, adalahsalah satu dokter yang mendukung pembedahan pada manusia, dia juga pernah mengkritik pendapat Galen dan Ibnu Sina atas teori empat cairan yaitu pulse (denyut nadi), tulang, otot, usus, organ indra, esophagus, dan perut dalam bukunya Commentary on Anatomy in Avicenna’s Cannon.

Teori Galen yang lain pun sempat dibantahnya, Galen yang mengatakan bahwa jalur peredaran darah diantara dua ruangan pada jantung itu tidak terlihat, tapi Ibnu Nafis mengatakan sebaliknya. Bantahan Ibnu Nafis yang disebut juga sebagai “second Avicenna”  tersebut bukan untuk menjatuhkan Ibnu Sina maupun Galen karena kesalahan teorinya, tapi semata-mata untuk melengkapi teori mereka yang pasti mempunyai kekurangan pada setiap teori yang ia keluarkan.

Dokter arab Ibn al-Lubudi (1210-1267), berasal dari Damaskus, menulis The Collection of Discussion Relative to Fifty Psychological and Medical Question, menyebutkan bahwa jantung adalahorgan pertama yang terbentuk dalam tubuh janin. Sedangkan menurut Hippocrates, organ yang pertama terbentuk adalah otak. Beliau juga menjelaskan bahwa tulang yang membentuk tengkorak dapat tumbuh menjadi tumor.

2).   Anatomi

As forthe parts of the body and their functions, it is necessary that they be approached through observation (الحس) and dissection (التسريح), while those things that must be conjectured and demonstrated by reason are diseases and their particular causes and their symptomps and how bated and health maintained (Ibnu Sina).

“Mengenai bagian-bagian tubuh dan fungsinya, perlu dilakukan pendekatan melalui observasi dan pembedahan. Sementara, hal tersebut harus diduga dan dibuktikan dengan alasan penyakit, penyebab dan gejalanya, serta bagaimana penyakit dapat diatasi dan kesehatan dapat terpelihara.”(Ibnu Sina)

Anatomi berasal dari bahasa   Yunani “ἀνατομίαanatomia dari “ἀνατέμνειν anatemnein”, yang berarti memotong. Sejarah anatomi adalah ilmu yang berkembang dari pemeriksaan awal seseorang yang menjadi korban persembahan sampai analisa canggih bentuk tubuh oleh ilmuan modern. Al Zahrawi, seorang dokter Muslim terkenal mencatan bahwa anatomi adalah sebuah ilmu yang sangat dibutuhkan untuk proses pembedahan, autopsi mayat dilarang untuk kebutuhan latihan maupun praktek, walaupun tidak ada larangan dalam ajaran agama.

Studi anatomi dimulai pada awal 1600 SM yang diperoleh dari data papyrus Mesir kuno. Lembaran itu menunjukan bahwa jantung, pembuluh darah, hati, ginjal, limpa, hypothamulus, rahim dan kandung kencing telah diketahui pada zaman tersebut, dan dalam lembaran tersebut tercatat bahwa pembuluh darah berasal dari jantung.

Ilmuan Anatomi yang terkenal pada abad ke 2 masehi adalah Galen, penemuannya pada anatomi tubuh menjadi buku teks anatomi dan telah digunakan selama ratusan tahun, tetapi hasil karyanya tersebut hilang dan ditemukan kembali oleh dokter kebangkitan eropa (Renaissance doctors) melalui hasil karya dokter muslim.

Setelah jatuhnya kekaisaran Roma, studi anatomi hampir hilang di Eropa, tetapi studi ini berkembang sangat pesat di dunia Islam sehingga muncullah para ilmuan Muslim yang ahli dibidang ini diantarannya Ibnu Sina, Ibnu Nafis, Hunayn, yang mempunyai peran aktif dalam mengembangkan ilmu ini. Dalam bukunya Sarh al-Qanun, Ibnu Nafis mempunyai kontribusi yang sangat besar yaitu pendapatnya tentang sistem sirkulasi darah dalam tubuh, yang baru ditemukan kembali tiga abad lalu. Dia menjelaskan tentang bronkitis dan interaksi pembuluh dalam tubuh dengan udara dan darah.

Al-Qanun fi al-Tibb karya Ibnu Sina, mencakup banyak penemuannya dibidang anatomi yang secara resmi diterima masyarakat zaman ini. Dia adalah saintis pertama yang menjelaskan tentang pendeskripsian perbedaan mata, seperti conjunctiva sclera, choroid, aqueous humour, optic chiasma, saraf penglihatan, iris, retina, kornea, dan lapisan lensa mata.

Selain Ibnu Sina, penjelasan anatomi mata pun ada kaitannya dengan Ibnu al-Haytham yang mewakili teori penglihatan oleh Galen, Euclid dan Ptolemy pada gambar yang dibuatnya pada tahun 1083 M di mesir, ilmuan yang sempat hidup dizaman Abbasiyah dan Fatimiyah ini menjelaskan tentang hubungan antara saraf-saraf penglihatan (optic nerves) dan bola mata menuju otak.

3).  Alat-alat kedokteran

Selain mempunyai peran penting dalam berkembangnya ilmu kedokteran, ilmuan muslim pun mempunyai banyak kontribusi dalam menemukan adn mengembangkan alat-alat kedokteran guna mempermudah dokter dalam proses penyembuhan, seperti yang tertulis pada Kitab Al-Tasrif karya Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas al-Zahrawi (936-1013).

Buku at-Tasrif yang dikarang al-Zahrawi menggambarkan beberapa alat medis yang ditemukan oleh ilmuan muslim, diantaranya adalah plester pelekat, benang bedah, cauter, ligature (tali-pengikat), forceps (tang-penjepit), injection syringe, thermometer, retractor, scalpel, surgical hook, surgical rod,dll.

4). Buku-buku dan teks kedokteran    

Kemajuan ilmu pengetahuan pasti mempunyai sumber-sumber yang terpercaya dan salah satunya adalah buku, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada zamannya, ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah banyak menulis buku, dibawah ini penulis akan mencantumkan buku-buku dan teks kedokteran yang ditulis oleh ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah yang beberapa dari buku tersebut telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, di antaranya:

No.

Judul

Penulis

1

Firdaous al-Hikmah (Paradise of Wisdom)

Ali ibn Sahl Rabban al-Tabari (860)

2

Adab al-Tibb (Ethics of Physician)

Ishaq bin Ali Rahawi (854-931)

3

Masalih al-Abdan wa al-Anfus (sustenance for the body and Soul)

Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934)

4

Al-Hawi (the Comprehensive Book of Medicine)

Muhammad ibn Zakariya Razi (865-925)

5

Shukuk ala alinusor (Doubts about Galen)

6

Man la Yahduruhu al-Tabib (A Medical Adviser for the General Public)

7

Al-Judari wa al-Hasbah (A Treatise on the Smallpox an Measles)

8

Disease of Children

9

Sense of Smelling

10

The Experimental of Medical Science and its Application

11

The Book of Simple Medicine

12

The Book of Disasters

13

Food and its Harmfulness

14

Why abou Zayd Balkhi Suffers from Rhinitis When Smelling Roses in Spring

15

Stone in the Kidney and Bladder

16

The Book of Tooth Aces

17

Food for Patients

18

Benefits of Honey and Vinegar Mixture

19

The Book of Surgical Instrument

20

Fruits Before and after Lunch

21

About the menstrual Cycle

22

Fatal Disease

23

About Poisoning

24

Misconseptions of a Doctor Capabilities

25

The Social Role of Doctors

26

Kitab Kamil as-Sina’a  at-Tibbyya (Complete Book of the Medical Art)

Ali ibn Abbas (982-994)

27

Kitab Tibb al-Machayikh

Ibn al-Jazzar al-Qayrawani (898-980)

28

Risalah al-Shafiyah fi Adwiyat al-Nisyan (Teratise on Drug for Forgetfulness)

Ibn Ishaq bin Hunayn (900)

29

Al-Taisir

Ibn Zuhr (1091-1161)

30

The Method of Preparing Medicine and Diet

31

Aqrabadhin (Medical Formulatory)

Al-Kindi (803-873)

32

De Gradibus, Treatise on Diseases Caused by Phlegm

33

Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine)

Ibnu Sina (980-1037)

34

The Book of Healing

35

Kitab at-Tasrif (Book of Healing and Concessions or The method of Medicine )

Abu al-Qasim Khalaf ibn Abbas al-Zahrawi (936-1013)

36

Sharh Tashrih al-Qanun Ibn Sina (Commentary on Anatomy in Avicenna’s Canon)

Ala al-Din Abu al-Hasan ibn Abi Hazm al-Qurashi al-Dimashqi (Ibnu Nafis) 1213-1288

37

Al-Shamil fi al-Tibb (The Comprehensive Book on Medicine)

38

Kitab al-Mukhtar fi al-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs)

39

Commentary on Compound Drugs

40

Al-Mujaz fi al-Tibb (A Summary of Medicine)

Abu Ali al-Hassan ibn al-Hasan ibn al-Haytham (Ibn al-Haytham) (965-1040)

41

Risalat al-A’ada’a (An Essay on Organ)

42

Al-Shamel fi al-Tibb (Reference Book for Physician)

43

Kitab al-Munazir (Book of Optics)

44

The Polished Book on Experimental Ophtalmology

45

Kitab al-Saydala (The Book of Drugs)

Abu Rayhan al-Biruni (937-1050)

46

Al-Athar al-Baliyah

47

Collection of Discussion Relative to Fifty Psychological an Medical Questions

Ibn al-Lubudi (1210-1267)

48

The Books of Elite Concerning the Unmasking of Mysteries and Tearing of Velis

Gaubari (1200)

 

5) Farmasi

Di antara ahli farmasi masa Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah al-Mugni (berisi tentang obat-obatan), Jami’ Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi)[147].

b. Hukum

Hukumadalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat dalam kriminalisasi. Dalam pelaksanaannya, hukum mempunyai dua bentuk yaitu hukum pidana dan hukum perdata.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan–perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang–undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan danatau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Dalam Islam hukum pidana dinamakan qisas yaitu nyawa dibalas nyawa, tangan dibalas tangan, tetapi apabila seseorang membunuh, maka tidak langsung dibunuh tetapi diadakannya penyelidikan lebih lanjut terlebih dahulu tentang kejadian yang sebenarnya.

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat dengan cara tertentu, hukum ini disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Hukum perdata digolongkan menjadi beberapa bagian, diantaranya hukum keluarga, hukum harta, hukum perikatan, dan hukum waris.

Khalifah kedua dinasti Abbasiyah, al-Mansur mereformasi Baghdad menjadi ibukota dinasti pada tahun 762 M sehingga membawa perubahan besar pada dunia Islam dengan munculnya sebutan “The Golden Age of Islam” dan perubahan hukum-hukum kenegaraan dengan berdasar pada hukum-hukum berbasis pada al-Qur’an dan Sunnah sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Pada abad kedua kekuasaan dinasti ini, sekolah tinggi hukum aliran sunni dan syiah didirikan, salah satu ahli hukumnya adalah Ibnu Rusyd, seorang yang menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang fisikawan sekaligus hakim. Kedudukannya sebagai pemuka agama dalam bidang hukum islam dan hakim di kordoba sangat dihormati. Pada zamannya, banyak orang yang datang untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu hukum. Pada masa Harun ar-Rasyid, mazhab imam Hanifah menjadi dasar hukum karena pendapat-pendapat hukumnya merupakan sebuah reformasi yang dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di kota Kufah, kota yang maju pada zamannya. Salah satu muridnya adalah Abu Yusuf yang menjadi Qadhi al-Qudhat, yang hidup pada zaman Harun ar-Rasyid.

Pada masa dinasti ini, hukum yang lebih dominan dipakai adalah hukum syi’ah sehingga resmi menjadi dasar ideologi abbasiyah dalam menentukan hukum dalam mengatasi sebuah kasus.

c. Filsafat

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumya. Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan khalifah al-Ma’mun (813-833 M) kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian dipelajari, didalami, dan diadakan perubahan-perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tokoh-tokoh filsafat (ahli filsafat) Islam yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain Abu Ishak Al-Kindi (809-873 M), Abu Nashr al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1036 M), Al-Gazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198).

Salah satu filsafat terkenal adalah al-Ghazali, dia adalah orang yang pertama kali menggabungkan konsep ilmu filsafat dan mistik dalam kehidupan sehari-hari. Pada masanya, terjadi sebuah krisis kepercayaan yang tinggi dilingkungannya sehingga menggugah al-Ghazali untuk belajar filsafat dengan maksud untuk mencari kebenaran tentang perbedaan tradisi umat muslim, dan keputusan terakhirnya adalah menjadi pengikut sufi mistik.

Dia juga menulis tentang kriteria seseorang dikatakan murtad secara sistematis, dia menulis bahwa barang siapa yang berpandangan bahwa bumi diciptakan tanpa ada tujuan, atau tuhan tidak maha kuasa, kebangkitan setelah mati itu bohong, adalah orang yang ingkar terhadap agama dan harus dibunuh.

Filsafat yang lainnya adalah al-Kindi, konsep filosofinya berdasar pada konsep fisik dan metafisik Aristotelian yang hampir sama dengan konsep Neoplato. Dengan dasar filosofinya, al-Kindi pernah mencoba untuk mempadukan antara konsep pembelajaran islami dengan filosofi Aristotelian dan Neoplatonic sehingga didirikanlah Mashsha’i atau sekolah keliling yang mengajarkan tentang islam, dan dialah orang yang menulis risalah On the First Philosophy yang dipersembahkan untuk khalifah al-Musta’sim.

Mashsha’i yang didirikan oleh al-Kindi banyak mendapatkan perpaduan konsep dari filosofi lain, seperti al-Farabi yang melengkapi konsep perpaduan awal, dan ibn Sina yang membawa Mashsha’i menuju puncak kesempurnaan. Banyak orang menyadari bahwa al-Farabi atau “guru kedua” setelah Aristoteles, bukan hanya sebagai pendiri filosofi politik Islam, tetapi juga sebagai pendiri filosofi Islam itu sendiri. Dalam penilaian terhadap filosofi Aristoteles dan Plato, dia menulis komentar pada hukum-hukum yang dibuat oleh Plato. Al-Farabi mendapatkan pelatihan filosofi dari seorang Kristen bernama Yuhanna b. Haylan.

d. Hadits

Hadits berasal dari bahasa arab yaitu الحديث yang bermakna perkataan, dalam syariat Islam hadits bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, maupun apa yang dilakukan para sahabat nabi dan disetujui olehnya. Pada zaman dinasti Abbasiyah, ilmu hadits merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat, bahkan para ulama hadits di zaman tersebut masih terkenal sampai hari ini, seperti Imam Bukhari (194-252 H / 810-866 M), Imam Muslim (204-261 H / 820-875 M), Ibnu Majah (207-273 H / 822-887 M), Abu Dawud (202-275 H / 818-889 M), dan Tirmidzi (200-279 H / 816-82 M), mereka merupakan para perawi hadits yang terjamin keshahihannya.

Kumpulan hadits yang mereka riwayatkan telah dikumpulkan dalam bentuk buku yang diberi judul atas nama mereka sendiri, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan Sunan at-Tirmidzi.

e.         Ilmu Tafsir

Berkembangnya ilmu tafsir pada abad ketiga hijriah dalam upaya memenuhi kebutuhan untuk memahami al-ur’an sebagai bertambah banyaknya jumlah penduduk Islam akibat bertambah luasnya kekuasaan Islam. Beberapa tafsir al-Qur’an yang ada waktu Abbasiyah antara lain: Jami’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Ibn Jarir al-Thabari, Mu’alim al-Tanzirl (al-Baghawi), tafsir al-Kabir (al-Razi), Tafsir Abu Bakar al-Isham dan Tafsir Ibn Jarwi al-Asadi[148].

f.         Ilmu Fikih Qira’at

       Ilmu qira’at muncul sesuai dengan luasnya wilayah Islam, sehingga factor lahjah sangat mempengaruhi pengucapan bacaan al-Qur’an untuk setiap wilayah Islam. Pembacaan al-Qur’an yang berbeda juga didasari teks al-Qur’an yang tidak mempunyai titik dan baris. Adapun ulama yang ahli sebagai pembahas pertama ilmu Qiraat dari segi dasar dan sanad yang dianut setiap ahlinya adalah Harun Ibnu Musa al–Bushani (w.170). beberapa tokoh Qiraat yang terkenal pada masa ini adalah; Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai, Yahya Ibn Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib dan sebagainya[149].

g.        Ilmu kalam

       Ilmu kalam disebut juga ilmu logika, ilmu yang bagaimana cara berlogika. Masuknya ilmu kalam ini menurut Ramayulis berkaitan dengan masuknya bangsa-bangsa yang beradab sebelumnya ke dalam kekuasaan Islam. Ilmu kalam yang mampu menjelaskan tentang kejelasan aqidah Islam,

       Orang sebelum Islam telah biasa menggunaka ilmu semacam ini untuk berdebat mempertahankan keyakinannya. Oleh karena itu Islam juga memerlukan ilmu ini untuk mempertahankan ajarannya dari serangan atau dalam menyakinkan orang ahli kitab dan sebagainya.

       Adapun tokoh Mutakallimin yang terkenal masa itu adalah ; Washil bin Atha’, Amr Ibn ubaid pelopor aliran Muktazilah, Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani pemuka aliran Asy’ariyah[150].

h.        Ilmu Fikih

Munculnya ilmu Fiqih berkaitan dengan bertambah banyak persoalan umat Islam dalam lapangan praktis oleh bekembangnya perikehidupan masyarakat Islam. Tentu persoalan umat masa Nabi dan sahabat tidak bisa lagi dipadakan harus ada ijtihad baru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis yang berguna untuk menuntun kehidupan masyarakat Islam, dalam hubungannya dengan tuhan, alam atau sesamanya dalam pergaulan sehari-hari.

            Menurut Charles Michael Staton jumlah mazhab fikih mencapai 500 mazhab. Namun hanya empat mazhab yang mahsyur yaitu ; Abu Hanifah (699-767 M), Imam Malik (715-795 M), Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)[151] sedangkan dari syi’ah ada Ja’far Shadiq. 

i.          Ilmu Tarikh

Nama seperti Muhammad Ishak (w.152 H) adalah yang pertama menulis sejarah (Tarikh) nabi Muhammad saw, kemudian diringkas oleh Ibn Hisyam (w. 218 H) dengan judul bukunya syarh ibn Hisyam.  sedangkan penulis lainya adalah Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al –Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti[152].

j.          Ilmu Nahwu

Tokoh yang paling utama dalam ilmu nahwu adalah khalifah Ali bin Abi Thalib ra, kemudian keahlian terapannya adalah Abu Aswad al-Duali yang hidup pada masa Bani Umayyah, beliau sekaligus dianggap telah membinan dasar-dasar ilmu ini. Pada masa Abbasiyah perkembangan ilmu nahwu bertambah pesat, tersebut nama ahli seperti ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar, al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, dan sebagainya. Untuk ulama yang ahli tersebut seperti ; Al-Kasai, Abu Ja’far dan Al –Ruas[153].

C. Kesimpulan

Kemajuan suatu peradaban telah membuktikan, bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat berperan dalam memberikan kemilau sebuah Daulah, Dinasti atau Kerajaan. Tidak terkecuali di zaman modern ini faktor ilmu pengetahuan yang berkembang dan maju disebabkan oleh pelaksanaan pendidikan yang baik. Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengingatkan bagi Negara-negara yang ingin maju lebih cepat setara dengan bangsa yang telah maju, hendaklah memperhatikan lembaga pendidikannya dengan baik. Memperhatikan dalam arti membangun pendidikan nasionalnya dengan kesungguhan, baik fasilitas, tenaga edukasi, suasana akademis yang kondusif, keterbukaan mimbar akademik dan sebagainya.

Jauh sebelum nasehat di atas diungkapkan, pemerintahan Islam seperti Bani Abbasiyah telah memberikan perhatian khusus kepada bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan dan memperbaiki semua fasilitas lembaga pendidikan Islam. Memberikan apresiasi yang luar biasa kepada para   ulama dan cendikia yang ada di zamannya.

Ilmu pengetahuan menjadi primadona dalam perhatian masanya. Banyak ilmuan terkenal seperti ; Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Ibnu Haytham, Al-Rhazi, Al-Khowarizmi, Jamsyid Giatsuddin Al-Kasyri, As-Simay, Ibnul Awwan, Al-Jahiz, Sabit bin Qurrah Al-Hirany, Abu Abdillah Al-Qazwani, Abu Ar-Raihan Al-Bairuni, untuk ulama bidang keagaman seperti ; Ibn Jarir al-Thabari, al-Baghawi al-Razi,Abu Bakar al-Isham danIbn Jarwi al-Asadi. Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai, Yahya Ibn Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib, Washil bin Atha’, Amr Ibn ubaid, Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani, Imam Malik, Imam Syafi’I,  Imam Ahmad bin Hanbal, Ja’far Shadiq, Muhammad Ishak, Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al –Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti, Ibn Hisyam, ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar, al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, Al-Kasai, Abu Ja’far dan al –Ruas,

Serta tumbuhnya kembangnya lembaga pendidikan Islam baik yang mengkhususkan diri pada pendalaman keagamaan maupun ilmu-ilmu aqliah  seperti; Masjid, Lembaga Wakaf, Kuttab atau Maktab, al-Ribath, al Zawiyah, Bait al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium, Toko buku dan Perpustakaan, Rumah sakit dan Klinik, Kesusteraan, al-Qurhur (pendidikan rendah Istana), Rumah para Ilmuan (ulama’), dan bidang kajian yang tumbuh diantaranya ; Kedokteran, Hukum, Filsafat, dan Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Fikih Qir’at, Ilmu kalam, Ilmu Fikih, Ilmu Tarikh,dan Ilmu Nahwu.

Selain itu, buku-buku teks kedoktaran telah banyak ditulis serta tidak luput pula penciptaan alat praktek untuk medis telah berkembang sedemikian rupa. Buku-buku teks kedoteran telah banyak disadur oleh bangsa Barat ke dalam bahasa latin dan Inggris.  

Tak bisa dipungkiri lagi suasana keilmuan telah melahirkan modifikasi dan penambahan ilmu pengetahuan yang hebat pada masa Bani Abbasiyah. Khazanah keilmuan sebagian telah menjadi acuan bagi para ilmuan yang datang kemudian, sampai memasuki masa kemunduran Abbasiyah.

 Di era kemunduran bisa dilihat pendidikan dan keilmuan tidak lagi menjadi perhatian utama, karena pemerintahan disibukkan oleh godaan politik dan kekuasaan, serta khalifah yang berkuasa kurang perhatian, lemah dan tidak cakap. Ini bisa disebabkan, karena tidak baiknya pendidikan Istana untuk calon pangeran yang akan menjadi raja. Atau boleh jadi juga faktor pendidik Istana yang tidak berkompeten dalam memberikan binaan kepada calon raja atau khalifah tersebut dan sebagainya. Untuk melihat lebih jauh bagaimana pendidikan Islam di era kemunduran Abbasiyah akan diuraikan setelah materi ini. 

 

Soal Latihan :

1.        Jelaskanlah awal perkembangan pendidikan Islam masa Bani Abbasiyah.

2.        Jelaskanlah tokoh-tokoh ilmuan yang memberikan konstribusi pendidikan Islam masa Bani Abbasiyah.

3.        Uraikanlah lembaga-lembaga pendidikan Islam masa Bani Abbasiyah.

4.        Uraikanlah khalasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang masa Bani Abbasiyah.

5.        Jelaskanlah faktor pendorong berkembangnya pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan masa Bani Abbasiyah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

https://www.facebook.com/KekhalifahanIslamDaulahDinastiBaniAlbasiaIndonesia/posts/215145995306564/2013/10/6

 

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/06/lkrwsg-daulah-abbasiyah-almustanshir-khalifah-pemberani/2013/10/6

 

http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa.html/2013/11/7

 

http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

http://penyux.wordpress.com/tag/ibnu-rusyd/2013/11/8

 

http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

 

Khan, Muhammad Abdur Rahman, Sumbangan Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Penterjemah: Drs. Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III,

 

Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Penterjemah, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994 

 

Syalabi,Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt

 

 

 

 

 

BAB VI

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL SELAMA DINASTY ABBASIYAH PERIODE KHALIFAH AL MA’MUN (813-833 M)

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menjelaskan Perkembangan Intelektual Selama Dinasty Abbasiyah Periode Khalifah Al Ma’mun (813-833 M)

 

Indikator

:

1.     Gerakan Penterjemahan

:

2. Perkembangan Bait al Hikmah

:

3. Perkembangan Pemikiran Mu’tazilah

 

4. Usaha untuk mengislamkan Ilmu Pengetahuan Asing

Strategi Perkuliahan

:

T Presentase Makalah, Konstruktivisme, Kalaborative.

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

:

100

 

 

A.    Pendahuluan

Al-Ma’mun, Abu al-Abbas ‘Abd Allah ibnu Harun al-Rasyid (786-833 M), khalifah ‘Abbasiyah ketujuh, yang terkenal sebagai khalifah yang paling intelek dari keluarga ‘Abbasiyah. Di bawah kekuasaanya (813-833 M),  Dinasty ‘Abbasiyah mencapai masa keemasannya ketika ia menyatukan kerajaan dan mendorong pengembangan pemikiran Islam. Selain itu, penterjemahan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Romawi (dan Syiria) untuk berbagai ilmu pengetahuan seperti; filsafat, astronomi, matematika, dan ilmu kedokteran Yunani, yang telah mendapatkan dorongan besar pada masanya.  Pada waktu itu, Bait al Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) dibangun[154] sebagai perpustakaan yang paling bergengsi pada masanya, dan kemudian menjadi sebuah sumber budaya baru yang bahasa Arab dalam penuturan dan Islam sebagai inspirasi, namun sangat dipengaruhi oleh tradisi Yunani. Selanjutnya, sarjana-sarjana berusaha di sana menyatukan warisan intelektual “Barat” dan “Timur”.

Jadi, kita dapat melihat bagaimana dunia Islam telah menemukan dan mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai kerajaan seperti Romawi dan India, di samping itu, para sarjana yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai latar belakang kepercayaan. Di antara mereka ada sarjana yang Muslim, Kristen, Zoroarter dan Sabiah, semuanya bekerja di bawah alur pemikiran Mu’tazilah.  Al-Ma’mun sendiri seorang penganut paham Mu’tazilah yang mempunyai berkonstribusi dalam mengembangkan serta memajukan pendidikan yang bercorak kebebasan akal tersebut[155]. Yang menariknya, bahan-bahan baku dari Bait al-Hikmah tidak dibatasi pada ilmu teologi dan filsafat tetapi secara luas kepada bidang astronomi (perbintangan), dan matematika, sebagai mana juga ilmu perpetaan.

Al-Ma’mun sendiri telah secara aktif mengambil bagian dari kekayaan khasanah ilmu pengetahuan yang ada untuknya. Terutama sekali setelah menerima gelar  imam/pemimpin kaum muslimin/khalifah dan membuktikan penguasaan yang baik terhadap ilmu pengatahuan, di samping kekuasaanya di bidang politik dan militer. Dengan kemampuan tersebut membuatnya bangga, sehingga memerintahkan sejumlah sarjana, yang masuk di dalamnya Harran seorang penyembah bintang, untuk menterjemahkan buku-buku warisan Yunani ke dalam bahasa Arab[156]. Akhirnya, dialah yang  menjadi satu-satunya penguasa  dari khalifah ‘Abbasiyah yang meresmikan sebuah usaha tersistematis serta menetapkan usaha penyelidikan dan menerjemahan Ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

Makalah ini merupakan hasil saduran dari artikel yang dikarang oleh Lathiful Khuluq dengan judul “Perkembangan Intelektual selama Dinasty Abbasiyah periode khalifah al Ma’mun (813-833 M).”  dengan judul asli “Intellectual Development During of The ‘Abbasid Caliph al-Ma’mun (813-33 M)” , yang penulis ambil dari buku “The Dynamic  Islamic of  Civilization” dalam arikel ini banyak manfaat yang penulis pikir perlu diungkapkan kepada para pembaca untuk kalangan mahasiswa Unieversitas Muhammadiyah Sumatera Barat secara umum serta bagi mahasiswa pada fakutas Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam secara khusus, yang mana mereka rata-rata belum begitu tertarik untuk membaca dan memahami artikel dalam bahasa asing khusus bahasa Inggris, demikian itu disebabkan keterbatasan penguasaan mereka terhadap bahasa warga dunia tersebut. Sehingga saya berusaha menyadur ke dalam bahasa Indonesia sesuai pula dengan kemampuan yang saya miliki.

Penulis artikel ini sebenarnya tengah berusaha menguraikan perkembangan pemikiran Islam semasa kekuasaan al-Ma’mun. Yang khususnya, menguraikan perjelmaan/perubahan dan penyatuan ilmu pengetahuan asing  menjadi ilmu pengetahuan Islam. Dengan berusaha menjelaskan sejarah penerjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Arab. Terutama karya-karya dari Yunani, serta perkembangan Bait al Hikmah sebagai pusat intelektual dan budaya masa itu. Sebagaimana juga akan menguraikan  sejarah perkembangan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi kerajaan. Dilanjutkan dengan  usaha-usaha kaum muslimin dalam “meng-Islam-kan”  ilmu pegetahuan baru yang mereka dapatkan juga akan disajikan dan terakhir soal-soal latihan essay.

 

B.     Gerakan Penterjemahan

Proyek penterjemahan ilmu pengetahuan asing telah dimulai sejak periode Dinasty Umayyah tepatnya diwaktu pangeran Khalid, anak Khalifah Yazid (680-83 M) berkuasa, di mana dia telah memerintahkan beberapa orang sarjana untuk menterjemahkan buku-buku kimia Yunani ke dalam bahasa Arab[157]. Kemudian, di lanjutkan oleh Dinasty/kekaisaran/kerajaan ‘Abbasiyah, yang mana gerakan penterjemahan dilakukan lebih serius dan tersistematis di bawah sebuah pengawasan. Karenanya, hampir semua ilmu pengetahuan Yunani, yang ada dalam perlindungan Gereja dan para Rajanya, diambil dan dipindahkan ke dalam bahasa Arab serta dipersembahkan untuk masyarakat khususnya kaum Muslim[158]. Jibril ibnu Bakhtishu (w.830 M), sebagai contoh, yang telah berkonstribusi dalam pengembangan ilmu sains, khususnya dalam bidang fisika.Meskipun demikian, usaha yang paling serius untuk mendapatkan ilmu pengetahuan asing hanya dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah al- Ma’mun.

Pada masa al-Ma’mun telah dimulai sebuah proyek untuk pengembangan intelektual dunia Islam dengan mengirimkan banyak sarjana ke Yunani guna meneliti manuskrip-manuskrip (naskah) Yunani[159]. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gagasan untuk memilih bahasa Syria sebagai target bahasa pertama karena pada kenyataanya para penterjemah kebanyakan sarjana-sarjana Kristen Syiria yang telah terbiasa menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Aramaik. Akibatnya, ketika al-Ma’mun memulai gerakan penterjemahan, mereka menjadi personil utama untuk melakukan tugas itu dan mereka telah lama melakukan pekerjaan yang sama, dalam pendekatan demikian hanya mereka yang tahu bagaimana caranya[160].

Penterjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab hanya dimulai Hunayn ibnu Ishaq (808-873 M),[161] seorang sarjana Kristen Hirah ahli bahasa Syiria yang mengimplementasikan metode baru ini dalam usaha penterjemahan. Para penterjemah menggunakan semua metode yang ada untuk melaksanakan proyek terjemahan itu, seperti membandingkan berbagai macam manuskrip/naskah; sebuah pendekatan yang memaksa mereka untuk mendapatkan naskah berbahasa Yunani sebanyak mungkin.  Mereka juga membandingkan naskah Yunani dengan terjemahan bahasa Syiria secara cermat, sebagai usaha guna memahami naskah tersebut secara lebih baik[162]. Selanjutnya, di Bagdad, Khalifah al-Ma’mun membentuk sebuah tim penterjemah yang terdiri dari Hunayn ibnu Ishaq dan kemenakan lelakinya Hubais, Ya’kub Qusta ibnu Luqa, orang-orang Kristen Nestoria seperti Abu Bishr Matta ibnu Yunus, Ibnu ‘Adi, Yahya ibnu Bitriq dan lainnya[163].

Metode-metode penterjermahan juga sudah mulai dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai macam kesulitan yang ditemui saat proses penerjemahan. Salah satu kesulitan yang sangat mendasar adalah bahasa Yunani yang digunakan dalam naskah tua tidak hanya telah mati, tetapi sangat berbeda dari logat/penuturan  orang-orang Yunani saat itu. Lebih jauh, dalam rangka untuk memahami barbagai macam naskah-naskah tersebut, para penterjemah harus memiliki pengetahuan tentang materi yang sedang ia terjemahkan. Ditambah lagi, naskah tersebut harus didiskusikan terlebih dahulu dan terkadang naskah asli yang ada merupakan satu-satunya naskah yang tersisa. Sehingga proses penterjemahan tersebut harus menyandarkan pada naskah tunggal saja.  Langkah ini dilakukan agar maksud teks asli tidak melenceng dengan terjemahannya.

 Demikian juga, naskah asli Yunani yang orisinil terkadang tidak tersedia dan para penterjemah harus menyandarkan pula pada versi bahasa Syiria. Yang mana biasanya hasilnya tidak begitu baik dan jauh berbeda dari makna naskah asli. Kesulitan lain adalah untuk bahasa Arab itu sendiri, di mana gaya bahasanya berbeda dengan dialek percakapan sehari-hari. Bagaimanapun, fleksibelitas bahasa Arab juga memberikan sumbangan yang berarti dalam proses penterjemahan. Louis Massignon mengatakan bahwa bahasa Arab sangat membantu dan menghasilkan eksplorasi pemikiran internal kaum muslimin. Terutama sekali cocok untuk bahasa pengantar ilmu pasti  dan untuk perkembangan selanjutnya terlihat progresnya dalam sejarah ilmu matematika. Peralihan dari llmu hitung dan  ilmu ukur yang berdasarkan intuitif dan sering bersifat perenungan kepada sebuah ilmu hitung yang menggunakan rational/akal, yang pada akhirnya kedua ilmu tersebut karena dari akar yang sama telah satukan oleh para sarjana muslim[164].

Jadi, pada abad ke sembilan, ada dua metode penterjemahan yang termahsyur. Yang pertama dikembangkan oleh Yuhanna ibnu Bitriq, Ibnu al-Naima al-Himsi dan yang lainnya. Mereka mendukung metode penterjemahan secara harfiah lmelalui penerjemahan kata-per-kata. Sesuai dengan itu, para penterjemah harus mempelajari setiap kosa kata Yunani sekaligus maknanya kemudian dipilih sebuah kosa kata Arab dan mencocokan makna dari kedua kosa kata tersebut kemudian menggunakannya dalam proses penerjemahan naskah. Bagaimanapun, cara ini tidak cukup terbukti ampuh karena kenyataanya tidak semua kosa kata Yunani dapat diterjemahkan dengan mencocokan dengan kosa kata Arab. Sebagaimana hasilnya banyak kosa kata tersisa yang tidak bisa diterjemahkan. Gabungan kalimat pada sebuah bahasa tidak selalu dapat disamakan untuk setiap gabungan bahasa lainnya.

Di samping bahasa kiasan yang umumnya ada di dalam setiap bahasa tentu tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Metode penterjemahan kedua yang dikembangkan oleh Hunayn ibnu Ishaq, al-Jawhari dan lainnya, serta dianggap lebih unggul dari metode sebelumnya. Dasar keunggulan tersebut terletak dari segi metodologinya, yang mengharuskan para penterjemah untuk membaca dan memahami semua kalimat bahasa Yunani terlebih dahulu, kemudian menterjemahkan maksudnya ke dalam bahasa Arab. Menggunakan metode ini berarti akan memberikan arti yang sama dalam maksud tetapi tidak secara struktur bahasa[165]. Hunayn juga telah meningkatkan kualitas penerjemahan dengan menciptakan sebuah “peristilahan”/terminology sebagai sebuah standar baru.

Terjemahan ilmu pengetahuan asing/Yunani ke dalam bahasa Arab paling  awal baru fokus pada tiga bidang ilmu pengetahuan, yakni, ilmu perbintangan, kimia dan kedokteran. Kecenderungan ini berakhir hingga paruh kedua abad ke Sembilan, ketika dua orang penerjemah terkenal, yaitu, Yahya ibnu ‘Adi (w.974) dan Abu ‘Ali ibnu Ishaq ibnu Zera (w.1008)  telah tampil pada waktu itu.  Yahya ibnu ‘Adi  dalam hal ini, tidak hanya memperbaiki banyak hasil terjemahan tetapi juga menulis ulasan pada hasil karya Aristoteles, yaitu, pembagian, Sophistic, Puisi, dan Metafisika, ia juga mengulas karangan Plato, seperti, Timeus dan Hukum. Dia juga seorang ahli ilmu logika terkenal yang telah menterjemahkan buku Prolegomena Ammonius dan pengantar untuk karya Porphyry yang berjudul, “Isagoge”. Di sisi lain, Bin Zera, telah pula memperbaiki terjemahan untuk buku kedokteran dan filsafat[166]. Karena itu, setelah dua ratus tahun (hingga abad sebelas). semua dasar-dasar karya Aristoteles dan juga banyak risalah yang tidak terkenalnya, dan sejumlah ulasan bahasa Yunani, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab[167].  Banyak karya Plato dan ragam teksnya, atau sejenisnya juga telah diterjemahkan sebagaimana juga beberapa karya Proclus dan tentunya naskah Plato baru lainnya. Selain itu, sejumlah literature ilmu pengetahuan, yang masuk di dalamnya, naskah teknik juga diterjemahkan. Bagaimanapun seperti, puisi Yunani, drama, dan literatur fiksi lainnya sebagaimana juga sejarah Yunani sangat jarang diterjemahkan[168]. Pemikiran seperti ini mungkin karena kaum muslimin telah merasa puas dengan sejarah yang mereka miliki dan kesusteraan serta tidak merasa butuh untuk memepelajari yang lainnya. Dengan penuh penyelasan, setelah mencapai puncaknya pada abad kesembilan, gerakan penerjemahan telah mulai secara terus-menerus merosot di abad ke sepuluh[169].

Pada waktu itu keemasan perekembangan Ilmu pengetahuan Islam, penerjemahan menjadi lebih kurang sebagai sebuah pekerjaan professional dan upah para penterjemah lebih kurang sama sebagaimana para tabib, dan bahkan lebih tinggi lagi dibanding para ulama/qadhi. Al-Ma’mun bahkan menggaji Hunayn sama dengan berat emas untuk setiap lembaran yang diserahkan dalam bahasa Arab[170]. Sebagaimana hasilnya, status para penterjemah benar-benar terhormat. Sebagian besar buku-buku terjemahan tersebut masih bersifat sekuler. Sungguh  jika dilihat sepintas lalu pada karya-karya tersebut, banyak sekali risalah yang berbau ilmu pengetahuan sekuler. Dengan begitu, langkah ini mengarah kepada sekulerisasi yang dikhawatirkan ulama tradisonal (sarjana Muslim), orang yang khawatir bahwa diterjemahkannya ilmu pengetahuan asing akan membahayakan kepercayaan orang Islam yang masih awam. Proyek yang tengah dilakukan ini menurut ulama artodok tidak dapat membantu penguatan Islam,  yang mana pada kenyataanya bahwa penerjemahan itu tidak dilakukan untuk kepentingan demi mempertahankan Agama Islam[171]. Bahwa adalah kenapa setelah ulama arthodok yang mempengaruhi pusat kepemimpinan Abbasiyah, sebuah usaha telah dibuat untuk mengekang  pengaruh ilmu pengetahuan asing dengan menolak dan mengehentikan semua gerakan penerjemahan tersebut.    

 

C.    Perkembangan Bait al Hikmah

Bait al-Hikmah merupakan lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan oleh al-Ma’mun sekitar tahun 815 M[172]. Yang dipercayai menjadi sebuah penyontohan dari akademi kuno Jundishapur, aktivitas utamanya menterjemahkan filsafat Yunani dan karya-karya ilmu pengetahuan yang dibawa dari Romawi. Pemimpin pertama lembaga ini adalah Yuhanna (Yahya) ibnu Masawayh[173]. Pimpinan berikutnya Sahl ibnu Harun[174] dan Salm, orang yang ditugaskan oleh Said ibnu Harun. Di sana ada juga sejumlah besar  pengawai penterjemah, dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Banu al-Munajjim, selain itu ada pegawai penyalin dan penjilid.   

Bait al Hikmah merupakan sebuah pengembangan dari perpustakaan yang dibangun oleh Harun al-Rasyid yang disebut Khizanat al-Hikma (Perbendaharaan Kebijaksanaan), di mana keturunan Barmaky[175] telah memulai penerjemahan bermacam risalah Yunani. Al-Ma’mun kemudian memberikan sebuah perintah resmi untuk gerakan penerjemahan, yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam dan budaya seutuhnya. Untuk lembaga ini al-Ma’mun mempekerjakan seorang ahli observatorium astronomi di Bagdad di bawah kendali seorang muallaf Yahudi yaitu; Sind ibnu Ali kemudian dilanjutkan Yahya ibnu Abi Manshur. Lebih lanjut, al-Ma’mun kemudian menambah observatorium lainnya di Mt. Qasiyun Palmyra (Damaskus). di mana para sajana Muslim menemukan sebuah tabel astronomi baru dengan memperbaiki satu-satunya table astronomi kuno peninggalan Ptolemy[176]. Sehingga, Bait al-Hikmah menjadi sebuah gabungan dari perpustakaan, pendidikan dan biro penerjemahan, dan yang paling penting sekali lembaga pendidikannya semenjak pembangunan museum Aleksandria[177].    Dalam pada itu, bahasa Syiria, pemikiran Yunani, sain dan karya-karya teknik telah diterjemahkan ke dalam bahasan Arab.

Tidak perlu diperbincangkan lagi, bahwa itu telah memainkan sebuah peranan yang amat penting dalam memindahkan hasil karya kuno yang ada kepada dunia Islam, dan darinya telah mendorong sebuah ledakan aktifitas intelektual di dunia Islam. Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai sebuah perpustakaan yang amat penting  yang kemudian diperkaya dengan sejumlah sumber-sember terjemahan. Kemudian daripada itu, telah memberikan  banyak inspirasi kepada beberapa orang untuk mendirikan  model perpustakaan yang serupa, dan membangun perpustakaan-perpustakaan lainnya. Beberapa orang sarjana menyakini bahwa lembaga ini dirancang dalam usaha untuk pengembangan adat kebiasaan Persia sebelum Islam. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada fakta bahwa kedua kegiatan seperti Universitas Jundishapur dan para penterjemah awal lebih memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan praktis ketimbang teori ilmu pengetahuan murni[178].

Bait al-Hikmah sebagian besarnya telah mengabdikan diri kepada perekembangan ilmu pengetahuan dengan penelitian para sarjana serta proses pendidikan  yang diberikan kepada para pelajar yang sebagian besar masih belum matang. Para sarjana yang dipekerjakan diberikan fasilitas tempat tinggal gratis oleh kerajaan  di lembaga tersebut[179]. Banu Musa (anak Musa ibnu Shakir seorang ahli astronomi terkenal), seperti Muhammad, Ahmad dan Hasan, sebagai contoh telah mendapatkan dukungan yang besar dari al-Ma’mun dan telah mampu menjadi sarjana yang terpelajar sebagai sebuah hasil perhatian pribadi yang telah ditunjukkan oleh  direktur utama Bait al- Hikmah, yakni Yunus ibnu Mansur[180]. Sarjana terkenal lain di lembaga ini yang bekerja sebagai penerjemah dan pengulas filsafat Yunani juga sebagai perumus dasar filsafat Islam adalah al-Kindi[181].  Selanjutnya,  menjelang berakhirnya rezim al-Ma’mun, Bait al-Hikmah telah memulai menerjemahkan karya-karya non logika; sebuah tahap yang menunjukan berkurangnya pengaruh pemikiran Aristoteles. Seorang perintis penerjemahan karya non logika adalah Jabir  ibnu Hayyan al-Azdi al-Thusi al-Sufi (721-815) yang telah memulai penerjemahan naskah ilmu kimia semenjak kekuasaan Harun al-Rasyid. Dan bahkan perhatian utamanya adalah ilmu kimia, Jabir juga mempelajari; ilmu logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu klenik, ketabiban, mekanik,  dan hampir setiap bidang ilmu pengatahuan lainnya[182].

Bagaimanapun, sejak kekuasaan al-Mutawakkil, Bait al-Hikmah telah menunjukan kemerosotan yang terus-menerus. Khalifah al-Mutawakkil yang berkuasa merupakan seorang penyokong para ulama arthodok, yang kemudian menghacurkan orang-orang Mu’tazilah dan pusat ilmu pengetahuan mereka, Bait al-Hikmah. Meskipun begitu, satu hal yang mesti tidak terlupakan bahwa pembangunan Bait al-Hikmah telah menginspirasi banyak orang, sebagaimana juga para penguasa lainnya untuk mendirikan lembaga-lembaga yang serupa. Salah seorang dari mereka adalah Fatimah yang selama kekuasaan Hakim, telah membangun Dar-el-Hikma di tahun 1005 M. Bait al-Hikmah kemudian digabungkan ke dalam tempat sekolah hingga penyerangan tentara Mongol, yang telah membakarnya selama penghacuran Bagdad pada tahun 1258 M[183].

  

D.    Perkembangan Pemikiran Mu’tazilah

Paham Mu’tazilah merupakan sebuah gerakan keagamaan  yang didirikan di Basrah pada paruh pertama abad ke 2 H/8 M oleh Wasil ibnu ‘Ata’ (w. 131/748)[184], seperti penganut paham Qadariah, Mu’tazilah percaya bahwa setiap orang itu bebas untuk membentuk dan mengontrol perilaku mereka melalui sebuah teologi dengan pendekatan spekulatif, mereka juga menggunakan metode dialektika dan logika untuk mendukung keyakinan mereka itu. Mereka menganggap menyerupaan manusia dengan Tuhan seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an hanya sebagai simbol semata dan pernyataan kiasan yang ada menurut mereka mesti ditafsirkan[185].

BACA JUGA:   Wisata Masjid di Blitar

Dan berbeda dengan pandangan penganut paham tradisional, mereka percaya bahwa penciptaan al-Qur’an dan menetapkan sebagai makhluk, dengan mengadopsi teori Aristoteles bahwa tidak ada yang bisa menciptakan dari ketiadaan. Akibatnya, mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah melakukan penciptaan al-Qur’an dan mengirimkannya ke dunia. Ditambah lagi, mereka menentang anggapan kaum tradisional bahwa al-Qur’an tidak diciptakan dan merupakan kalam Tuhan yang abadi atau Qadim[186]. Menurut Michelangelo Guidi, orang Mu’tazilah menjadi “sayap orang-orang agresif orthodok dalam melawan orang berpaham bid’ah yang menduakan Tuhan (menurut mereka Tuhan itu Esa, dan tidak menyerupai makhluknya sedikitpun, maka semua kemungkinan penyerupaan denganNya harus ditiadakan) dengan menciptakan untuk mereka senjata dialektika[187]”. Pada waktu itu, aliran Mu’tazilah menjadi sebuah pendidikan teologi yang sangat penting dalam dunia Islam.

            Di bawah pengaruh Ahmad ibnu Abi Du’ad, seorang hakim/qadhi Mu’tazilah yang kuat, al-Ma’mun telah mendukung pengajaran Mu’tazilah, sebagai sebuah kelompok intelektual Islam[188]. Orang yang mempertahankan bahwa agama dan akal dapat diasimilasikan[189]. Kontribusi al-Ma’mun dalam menetapkan garis ideologi Mu’tazilah yang dapat dianggap berasal darinya, paling kurang ada dua pemikiran. Yang pertama adalah sebuah doktrin yang dapat digunakan untuk dapat berkompromi dengan doktrin Syi’ah[190].   Kedua, Aliran Mu’tazilah telah menentang doktrin Kristen yang menegaskan bahwa Yesus merupakan perkataan Tuhan (kalam Tuhan) dan bersifat ilahiyah[191]. Agaknya, mereka telah percaya al-Qur’an juga kalam (perkataan) Tuhan, namun telah diciptakan dan tidak bersifat ilahiyah.  Karena itu, doktrin ini telah membuka kemungkinan bagi al-Ma’mun untuk secara bebas menafsirkan al-Qur’an, jika ia menghendaki. Bernard Lewis menyatakan bahwa “Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) dan penggantinya telah berusaha untuk menerapkan sebuah doktrin paham Yunani yang diketahui sebagai Mu’tazilah, sebagai doktrin resmi kerajaan, dan menyiksa pengikut paham selainnya.[192]

Akibatnya, al-Ma’mun mengumumkan sebuah perintah di hadapan semua hakim/qadhi dan rakyatnya untuk mengakui bahwa al-Qur’an sebagai makhluk. Selain itu, khalifah mengancam para hakim serta akan mencopot jabatannya jika tidak setuju dengan doktrin tersebut. Demikian pula para ‘ulama’ diancam dengan tidak diakui posisi dalam masyarakat serta kesaksiannya tidak dapat diterima, lebih jauh akan dihalangi dari pengajarannya[193]. Salah seorang ‘ulama’ yang mendapatkan penderitaan karena penyiksaan yang berketerusan adalah Ibnu Hanbal. Beliau telah mendapatkan hukuman dan dipenjara karena penolakannya untuk tidak mau bersikap lebih liberal dan mengakui paham teologi Mu’tazilah yang rasionalistik[194]. Kebijakan ini kemudian tetap dilanjutkan oleh dua khalifah pengganti al-Ma’mun, yakni, al-Mu’tasim dan al-Wathiq (813-847 M), mereka juga berusaha untuk memberantas pemahaman kaum tradisional orthodok  melalui sebuah rangkaian penyiksaan.

            Selajutnya, sejak tahun 848 M, Khalifah al-Mutawakkil secara bertahap telah membalikan keadaan yang tidak menguntungkan bagi kaum ortodok ini dengan menghukum orang-orang Mu’tazilah, membakar buku-buku mereka, mengusir mereka dari istana dan memecat mereka dari posisi kekuasaan, dalam waktu yang sama ia mengambil keyakinan kaum tradisional sebagai mazhab kerajaan. Pada tahun 849 M, al-Mutawakkil secara resmi menghapus kebijakan pendahulunya tersebut. Dan menitahkan, semua diskusi mengenai al-Qur’an dihentikan serta mengakhiri penyiksaan (mihna)[195]. 

Bernard Lewis menyebutkan bahwa “ketika al-Mutawakkil (847-861 M) memerlukan dukungan yang terkenal untuk melawan tentara Turki yang membangkang ia memaksa mengikat dan bahkan menekan kaum Mu’tazilah serta menyuruh mereka untuk mengadopsi pemahaman kaum tradisional.[196]” Bagaimanapun, gagasan kaum Mu’tazilan tidak pernah mati. Dan, bahkan ulama Ash’ary sendiri, sebagai sebuah aliran teologi tradisional orthodok, menggunakan metode Mu’tazilah itu untuk merubuhkan doktrin Mu’tazilah[197]. Lagi pula, pada zaman modern, banyak aktivis muslim dan sarjana menggunakan pokok pemikiran Mu’tazilah tersebut untuk membangkitkan kembali pemikiran Islam melawan Barat[198]. 

 

E.     Usaha untuk mengislamkan Ilmu Pengetahuan Asing

Semangat umat Muslim untuk mengusai ilmu pengetahuan dan pemikiran baru telah didorong oleh ajaran Islam itu sendiri. Di mana semua umat Muslim diwajibkan untuk menelaah semua ciptaan Tuhan. Al-Qur’an sendiri mendorong penjelajahan alam dunia ini. Karena itu, ayat al-Qur’an pertama, sebagai contoh, menantang kaum muslimin untuk membaca dan menceritakan[199]. Lebih dari itu, dalam al-Qur’an tersebut, Tuhan menjanjikan akan mengangkat derajat ‘orang yang berpendidikan’ (orang yang berilmu pengetahuan) (Qur’an, 58:11)[200]. Jadi, Pesan dalam al-Qur’an mendorong kaum muslimin untuk menuntut ilmu pengetahuan dan hikmah di manapun berada.

     Tidak seperti Dinasty Umayyah yang belum memberikan perkembangan ilmu pengetahuan yang berarti, Dinasti Abbasiyah telah mengambil langkah aktif untuk mendapatkan kebudayaan Hellenistik[201]. Karenanya, dorongan keilmuan mereka, bersama dengan restu agama Islam berkaitan dengan ‘ilmu telah membimbing mereka kepada kebangkitan dunia intelektual Muslim di abad pertengahan. Pada waktu itu, sarjana Muslim seperti al-Kindi (w. 870)[202], muridnya, al-Sarakhsi (w. 899), al-Farabi (w.950)[203],  Abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani (w.985) dan al-Amiri (w. 992) telah mengembangkan keilmuan yang mereka miliki sesuai dengan semangat Islam[204].

     Sebuah kasus untuk bahasan ini adalah Abu Ya’qub ibnu Ishaq al-Kindi yang merupakan seorang pengarang paling terkenal, ahli matematika, dan ahli ilmu pengatahuan (scientist). Dan, bahkan telah menpelajari ilmu Metafisika karangan Arsitoteles, al-Kindi telah membangun teorinya dan berhenti mengikuti pemikiran Yunani ketika pemikiran mereka tidak sejalan dengan wahyu al-Qur’an[205]. Menurutnya, “ilmu pengetahuan adalah hakikat segala sesuatu dan kebenaranya alami”. adalah sama seperti pesan Nabi Muhammad Saw. Al-Kindi juga mengakreditasi sebuah rumusan untuk perbendaharaan teknik berfilsafat dalam bahasa arab dan merupakan satu rumusan ulang dari filsafat Yunani yang telah disesuaikan dengan doktrin Islam. Dalam hal ini, ia telah diikuti oleh al-Farabi, melaluinya, pondasi filsafat menjadi terbangun baik dalam Islam[206].

     Para sarjana menjadi bersemangat dan tekun dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahua, serta orang Muslim yang datang kemudian telah pula meneruskan langkah kedua pakar ilmu pengetahuan tersebut untuk menjadi nahkoda penelitian dan penyelidikan sains. Selain itu, pencarian mereka akan ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti pada pemikiran pubakala klasik tersebut, tetapi telah merambah kepada usaha penjelajahan alam itu sendiri. Jadi, Islam telah secepat mungkin menghasilkan ilmuan yang asli lahir dari rahim Islam itu sendiri dalam berbagai cabangnya, seperti, ahli astronomi, matematika dan kedokteran. Sarjana Muslim telah mengasimilasikan dan menyempurnakan warisan ilmu pengetahuan tersebut dan telah menemukan hal-hal baru sejauh itu baik. Untuk melakukan tugas tersebut, mereka disediakan oleh penguasa Islam dengan beberbagai perangkat pendukung guna menunjang keahlian mereka dalam meneliti dengan berbagai lembaga seperti, perpustakaan, pusat penerjemahan, rumah sakit, dan observatorium[207]. Sebagai contoh, para astronom selama kekuasaan al-Ma’mun telah menemukan hukum gerakan peredaran tatasurya dan telah meletakkan landasan dalam menentukan pergerakan bintang-bintang serta telah dapat menentukan titik terjauh planet-planet[208] di jagad raya.

     Tambahan lagi, di bawah bimbingan al-Qur’an dan Hadis Nabi, sarjana Muslim telah menyerap ide-ide dari banyak sumber tetapi demikian itu selalu menjadi landasan semangat universal agama Islam. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan alam dari Yunani, Kaldea, Persia, India, dan Cina telah diubah menjadi ilmu pengetahuan Islam. Selain itu, kaum Muslimin telah menyatukan ilmu pengetahuan tersebut ke dalam sebuah bahan baru yang mana inspirasinya adalah Islam[209]. Lebih lanjut, mereka tidak mengambil sain dunia Timur dan Yunani yang bertentangan dengan Islam atau yang akan memberi noda kepada nilai-nilai moral yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Mereka hanya mencari informasi yang berfaedah menurut mereka[210].

     Di bawah perlindungan al-Ma’mun, orang-orang yang professional, tabib, ahli hukum, guru, penulis, dan seterusnya-telah menerjemahkan karya-karya filsafat utama Aristoteles sebagaimana juga mereka telah menterjemahkan buku yang berisi ulasan-ulasan Plato terbaru (Neo-Platonic) dan karya Galen dari abad pertengahan, dan banyak karya ilmu pengetahuan Persia dan India telah juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Setelah itu, sarjana Arab mengasimilasi semua ilmu pengetahuan tersebut dan mengilhaminya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan, Islam kemudian menghilangkan banyak sifat asli, semangat padang pasir dan membubuhkan semangat nasionalis Arab[211]. Demikian itu, sampai sekarang masih tetap dipergunakan untuk menjadi sebagai sebuah petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk masa depan. Meskipun begitu, beberapa filosof Muslim telah melupakan ide ‘Islamisasi’ filsafat Yunani dan mengambilnya sebagai mana adanya dengan tanpa menyaring ide-ide tersebut terlebih dahulu. Sekolah Aristoteles Arab, sebagai contoh mereka menerima ajaran Aristoteles bahkan ketika terjadi konflik dengan pernyataan hafiah al-Qur’an. Beberapa dari mereka bahkan melangkah lebih jauh dengan menyakini bahwa al-Qur’an mempunyai sebuah arti lain (esoteric) yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan[212]. Selain itu, beberapa orang sarjana Muslim seperti Ibnu Sina, telah mencoba mengharmonisasikan Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut tanpa merubah dasar doktrinya[213].

     Pada sisi lain, beberapa sarjana Muslim lainya telah berusaha mengkritisi ilmu pengetahuan Yunani berdasarkan nilai-nilai Islam. Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa, “Orang seperti Ishraqi dan Ibnu Taimiyah telah melakukan sebuah upaya penolakan yang tersistematis untuk ilmu logika Yunani. Abu Bakar al-Razi mungkin orang yang pertama yang mengkritisi ketokohan Aristoteles[214].”  Jadi. seseorang dapat menyatakan hal itu, bahkan banyak filosof Muslim mengasimilasikan pemikiran Yunani, bahkan banyak pula di antara mereka telah mengambil budaya serta pemikiran Yunani tersebut mentah-mentah. Tidak mengejutkan kemudian, hakikat dari ajaran Islam adalah berdasarkan monolistik, yang telah menjadi dasar kecenderungan ini[215]. Akibatnya, ketika menterjemahkan karya-karya Yunani, banyak Dewa dan Dewi yang disebutkan di dalamnya telah menjadi simbol dari Tuhan dan Malaikat-malaikat sesuia versi bahasa Arab[216].

     Pengambilalihan orang Muslim atas warisan budaya klasik tersebut telah membawa kepada jaman keemasan pemikiran Islam; sebuah era yang sering disebut era Kebangkitan Islam[217]. Ini adalah sesuatu kenyataan yang sebenarnya, bahwa penakhlukan yang dilakukan oleh bangsa Arab tidak pernah berusaha untuk menghancurkan budaya kerajaan sebelumnya, akan tetapi kaum muslimin senantiasa mengambil dan mencontoh lebih banyak  model  institusi, administrasi dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sebuah contoh kasus dalam masalah ini adalah pengambilalihan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam Islam. Jadi, pusat filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani sebelumnya, seperti Mesir dan Syiria, telah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam[218].

 

F.     Kesimpulan

     Al-Ma’mun memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan intelektual muslim. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuat dia mendorong para sarjana untuk menterjemahkan ilmu pengetahuan Persia, Yunani, dan India ke dalam bahasa Arab, kemudian memperkaya dan menyebarkan  tradisi Muslim tersebut. Selain itu, perannya dalam proses ini tidak hanya termasuk mengirim para sarjana untuk mencari naskah dari pusat peradaban kuno seperti Romawi,Alexandria, dan India, tapi juga telah menggaji banyak sarjana yang aktif dalam usaha mentransformasi ilmu pengetahuan serta mengguyur mereka dengan harta. Oleh karena itu, usaha serius ini dilakukan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan asing, yang menggerakkan Khalifah al-Ma’mun  untuk membentuk gerakan penterjemahan. Hal ini telah dibantu pula dengan kelenturan bahasa Arab, yang mampu menyerap semua istilah yang kompleks.Selain itu, aktifitas penerjemahan tersebut tidak berhenti hanya pada proses penterjemahan saja, akan tetapi sebuah langkah dalam usaha menciptakan ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim Islam telah dibangun oleh sarjana-sarjana Muslim, seperti yang dilakukan Ibnu Sina. Al-Ma’mun juga membangun Bait al-Hikmah yang telah menjadi pusat utama penerjemahan dan kemahiran ilmu pengetahuan asing guna dipindahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagai sebuah lembaga yang menggabungkan antara; perpustakaan, biro penerjemahan dan observatorium, Bait al-Hikmah telah menjadi symbol kekuatan kekaisaran Abbasiyah. Selain itu, sebagai sebuah pusat penelitian, Bait al-Hikmah telah berkonstribusi dalam pengembangan intelektual Muslim selama abad pertengahan. Sungguh, Bait al-Hikmah telah menjadi sebuah lembaga prestisius yang memberi tanda atas kemegahan kekaisaran Abbasiyah kepada dunia. Ambisi dari  penguasa Muslim membangun pusat intelektual tersebut mungkin dapat dilihat sebagai sebuah usaha kekaisaran Abbasiyah untuk menyaingi pusat peradaban yang diciptakan kerajaan sebelumnya, sebagai contoh, Jundishapur dan Aleksandria, serta pusat kebudayaan pada zaman itu, seperti pusat kebudayaan yang dibangun kekaisaran Umayyah II di Spanyol dan Romawi. Selanjutnya, proses penerjemahan itu telah melahirkan kebangkitan sarjana-sarjana Muslim dalam menciptakan ilmu pengetahuan melalui proses analisis dan kritik terhadap karya-karya ilmu pengetahuan yang telah diterjemahkan sebelumnya.

     Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Dinasty Abbasiyah telah didorong oleh keterbukaan kekaisaran, yang mana pada gilirannya sikap inclusive tersebut sebenarnya diilhami oleh sifat keterbukaan Islam itu sendiri. Ini sangat jelas sekali jika melihat fakta bahwa para Penguasa Islam telah menerima sarjana-sarjana non Muslim sebagai abdi kekaisaran untuk bersama mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagai contoh, Hunayn ibnu Ishaq seorang Kristen Syiria, yang mana ia telah secara aktif berpartisipasi dalam aktifitas tersebut. Para sarjana tersebut, bahkan menjadi inisiotor utama dari aktifitas itu, khususnya selama periode awal. Selain itu, Islam itu sendiri telah mendorong kaum Muslimin untuk mencari ilmu pengetahuan dan hikmah di manapun berada. Jadi, usaha untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan ilmu asing tersebut berdasarkan semangat ajaran Islam. Dan, bahkan beberapa sarjana Muslim telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Yunani dan Persia, sebagian lainnya, telah sukses pula menciptakan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar ajaran Islam yang monolistik. Selanjutnya, bahkan Islam telah banyak menghilangkan karakter aslinya, yang mana telah didasarkan dari kehidupan padang pasir, banyak dari perkembangan intelektual tersebut tidak bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Karenanya, semua aspek-aspek itu telah menciptakan batasan kebudayaan dan kebangkitan aliran rasionalistik, yang mana pada gilirannya, menggiring kepada masa keemasan Islam. Masa keemasan tersebut telah berhasil menjembatani antara ilmu pengetahuan klasik dan kebangkitan bangsa Eropa, yang kemudian menggiring kepada masa industrialisasi dan modernisasi bangsa Eropa dan Dunia. 

Soal Latihan

 

1.      Jelaskanlah bagaimana Gerakan Penterjemahan pada masa Khalifah al-Ma’mun

2.      Jelaskanlah Perkembangan Bait al Hikmah yang telah dibangun oleh Khalifah al-Ma’mun

3.      Uraikanlah Perkembangan Pemikiran Mu’tazilah pada masa Khalifah al-Ma’mun

4.      Uraikanlah bagaimana Usaha para sarjana Islam dalam  mengislamkan Ilmu Pengetahuan Asing masa Khalifah al-Ma’mun

 

 

 

 

 

DAFTAR PERPUSTAKAAN

 

Al Tikriti, Bahjat Kamil, “The Religious Policy of al-Mutawakkil ‘Ala Allah al ‘Abbasi (232-247 H/847-861 M),” M.A. Thesis, The Institut of Islamic Studies, McGill University: Montreal, Canada, July, 1969

 

Al-Hillali, Muhammad Taqi-ud-Din and Khan, Muhammad Muhsin (eds.), The Noble Qur’an in the English Leanguage, Virginia, U.S.A. Saadawi Publications, 1985

 

Baloch, N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989

 

D. Sourdel, “al-Barmakids” El 2, I, Tt

 

————-, “Bayt al-Hikmah,”E 12, Tt

 

————-, “Bayt al Hikma,” El 2, Tt

 

————-, “la politique des succsesseurs d’ al-Mutawakkil,”Studia Islamica, XIII (Paris), 1960

 

Dodge, Bayard, Muslim Education in Medieval Times, Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962

 

Dampier, Sir William  Cecir, A History of Science and Relations with Philosophy and Region, Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan Company, 1942

 

Fakry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New York and London: Columbia University Press, 1970

 

Gibb, Hamilton A.R., Studies on the Civilization of Islam, ed. by Stanford j. Shaw and William R.Polk, Boston: Beacon Press, 1962

 

Goodman, “The Translation,” in Young et al. (ed.), Tt

 

Hitti, Philip K, History of the Arab, London: MacMillan Education Ltd., 1970

 

Holt et al, (eds), The Cambridge, Tt

 

Iqbal, Allama Muhammad, The Recounstruction of Religion Thought in Islam Lahor: n.p., 1965

Lewis, Bernard, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol. IV, Cambridge University Press, 1966-67

 

————–, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol.IV, Tt

 

Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge: University Press, 1994

 

Mez, Adam, The Rainassance of Islam, Transleted by S. Khuda Bukhsh and D.S., Margoliuth, New York: AMS Press, 1975

 

Massignon and Arnaldez, R., La Science antique et Medieval, Paris: n.p., 1957

 

Nasr, Sayyed Hoseein, Science and Civilization in Islam, Cambridge, Massachusett: University Press, 1968

 

Pinto, Olga, The Libraries of the Arabs during the Time of the Abbasids ,  Islamic Culture 3, 1929 

 

Qadir, C.A., Philosophy dan Science in the Islamic World, London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968

 

Rekaya, M., “al-Ma’mun,” El 2, III, Tt

 

Rosenthal, Franz,The Classical Heritage in Islam, London: Routledge, 1992

 

Semaan, Khalil I (ed), Islam and the Medieval West of Intercultural Relations, Albany: State University of New York Press, 1980

 

Staton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, the Classical Period A.D.700-1300, New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990

 

Sarton, George,  A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of Greece, Cambridge: Harvard University Press, 1952

 

Sarton, George, Introduction the History of Science  from Homer to Omar Kayyam, Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company  Baltimore, 1953,

 

Taton, Rene (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, transled by A.J. Pomeran B.S.c., New York: Basic Book Inc., 1963

 

W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, Edinburg: Press, 1972

 

Walzer, Ricard, Greek into Arabic Essay on Islamic Philosophy, Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press, 1970

 

——————, “Abu Nasr Muhammad b. Muhammad al Farabi, “El 2, II, Tt

 

Zakeri, Mohsen, ‘ Sahl b. Harun b. Rahawayh, “ El 2, III, Tt

 

BAB VII

PENDIDIKAN ISLAM ZAMAN KEMUNDURAN ISLAM (AKHIR ABBASYAH)

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menjelaskan Pendidikan Zaman KemunduranAbbasiyah

 

Indikator

:

1.      Kondisi perkembangan pendidikan Islam Zaman kemunduranAbbasiyah

:

.2.Tokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah

:

3.Lembaga Pendidikan Islam kemunduran Abbasiyah

 

4. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah

Strategi Perkuliahan

:

T Presentase Makalah, Konstruktivisme, Kalaborative.

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

:

100

 

A. Pendahuluan

Pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan mencapai titik kulminasi pada zaman Khalifah al-Makmun (813-833 M). Puncak kejayaan pendidikan dan ilmu pengetahuan, sepenuhnya didukung oleh penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan. al-Makmun sendiri sangat menyukai ilmu kalam dan sekaligus menjadi pendukung aliran mu’tazilah hingga wafatnya. Setelah meninggalnya al-Makmun digantikan oleh putranya al-Muktashim (833-842 M) sampai kepada khalifah al-Watsiq (842-847 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M)[219] kondisi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan bisa disebutkan masih stabil tidak menurun kemudian tidak pula menanjak.

Periode kemunduran ini dipicu oleh kurang stabilnya pusat kekuasaan (istana), karena adanya intrik politik istana yang membuat konsentrasi untuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan umum untuk peradaban terpecah, tapi situasi tersebut masih bisa dikendalikan oleh khalifah yang berkuasa. periode sebelum watafnya al-Mutawakkil masih dianggap stabil untuk pengembangan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, pertikaian politik di kalangan istana, setelah wafatnya khalifah al-Mutawakkil antara dua putranya al-Mustashir (861-862 M) dan al-Muktasim (862-866 M), telah mulai babak baru kemunduran pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan secara umum perdaban Abbasiyah. Seperti dikatan Montgomery (dalam siti Mayam), setelah naik tahtanya al-Mutawakkil sampai masuknya kekuasaan Buaihi (334-447 M/945-1055 M)[220]  peradaban Abbasiyah, tidak pernah berubah menjadi maju[221]. Karena, sepanjang masa itu, khalifah-khalifah tidak lagi mempunyai kekuasaan mutlak terhadap peradaban Abbasiyah yang dipegangnya[222].

Banyaknya campur tangan para Jenderal Turki untuk menentukan kebijakan kerajaan, sehingga berimbas kepada banyaknya bidang kemunduran yang dialami kerajaan (daulah) Abbasiyah, salah satunya adalah bidang pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan. Tabiat serdadu Turki yang mempengaruhi Istana atau kerajaan sangat mempengaruhi perkembangan peradaban secara signifikan, sebab tabiat mereka lebih tepat untuk medan pertempuran bukan untuk pengaturan pemerintahan dan administrasi negara (untuk sementara). Dapat dikatakan peran yang dilakon tersebut adalah  mainan baru, yang sebenarnya masih asing bagi mereka walaupun ada juga yang telah lama tinggal bersama khalifah di kerajaan, sebagai pengawal istana, namun itu belum anggap cukup.  Intervensi-intervensi kebijakan khalifah sangat kentara sekali, sehingga khalifah hanya sebagai simbol saja, yang tidak banyak memainkan peran penting untuk kerajaan.

Oleh sebab itu, untuk urusan perkembangan pendidikan dan ilmu pengatahuan khususnya penanda kemajuan zaman yang telah dirintis para khalifah sebelumnya mulai meredup secara berangsur-angsur namun pasti. Yang demikian itu nampak jelas sebagai akibat kurangnya perhatian penguasa dalam pengembangan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Di samping itu semangat keilmuan sudah mulai berangsur-angsur surut, karena mulai minimnya apresiasi dari penguasa.

Bentangan masa yang disebut zaman kemunduran Bani Abbasiyah sebenarnya lebih panjang dari zaman kemajuan sebelumnya, sejak periode al –Mutawakkil (847-861 M) sampai 1258 M ketika jatuhnya kota Bagdad ketangan bangsa Mongol Tatar. Dengan demikian, lebih dari masa empat abad lamanya zaman kemunduran berlangsung, faktor utama adalah ketidakstabilan kekuasaan dan pengaruh yang ditimbulkan pengawal istana raja oleh tentara belian dari turki dan Persia[223].

adapun ruanglingkup kajian ini berkisar seputar; Menjelaskan Kondisi perkembangan pendidikan Islam Zaman kemunduranAbbasiyah, MenyebutkanTokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam Abbasiyah, Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah, dan Menjelaskan Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah, kesimpulan dan soal-soal latihan.

setelah mengikuti materi ini, mahasiswa diharapkan menguasai beragam informasi tentang kondisi dan masalah-masalah yang menyebabkan kemunduran pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan era Abbasiyah.

 

B. Pembahasan

1.    Kondisi perkembangan pendidikan Islam zaman kemunduranAbbasiyah,

Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan, mengenai perkembanga masa awal kemunduran dan penguhujung kemunduran Bani Abbasiyah ini. Tapi yang jelas factor polemik perbutan kekuasaan adalah yang paling senter berkembang, sehingga pemikiran untuk tetap menjaga dan membangkit kemajuan peradaban yang khususnya bidang pendidikan dan Ilmu pengetahuan hampir dikatakan menurun drastis.

Dua bangsa yang saling memperebutkan hati khalifah menunjukan ketidakstabilan pihak kekuasaan yaitu khalifah. dua kekuatan yang ada saling bertarung untuk memperebutkan posisi perdana menteri disentral kekuasaan Abbasiyah di Bagdad.

Titik jenuh masyarakat Abbasiyah telah pula memberikan respon yang kurang positif dengan timbulnya keorganisasian sufi yang mengedapan akhirat semata. Para pendirinya yang berpengaruh tidak peduli lagi dengan urusan dunia (harta, pangkat, kekusaan dan bahkan semua aspek pendidikan dan keilmuan) yang sedang diperebutkan banyak kalangan.   Masa bodoh semacam itu, merembes kepada kurang diperhatikannya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Memang, para ilmu pengetahuan terkadang berlomba untuk ikut pula mendapatkan perhatian penguasa, ujung-ujung jabatan.

Kemudian ditambah perang urat syaraf antara golongan teologi dikalangan umat sangat dahsyat, serta tidak luput pertikaian antara penganut mazhab. baik sesama mazhab sunni maupun sunni dan syi’ah.

Kompleks sekali permasalahan yang dihadapi bani Abbasiyah di samping para khalifah yang naik dan turun sangat lemah, ketergantungan mereka kepada para tentara bayaran asing sangat tinggi hanya dipergunakan untuk menguasai rakyat sendiri. Sehingga sikap cuek sudah hal yang dianggap wajar untuk zamannya, walaupun itu tetap disayangkan sekali. 

sebenarnya, para ilmuan muslim masih ada yang hidup pada masa kemunduran ini seperti ibnu Sina,  dan al –Hayan, namun diera ini, eksplorasi keilmuan dan pendidikan Islam tidak begitu bersinar seperti sebelumnya.

 

2.      Tokoh-tokohilmuandan konstribusinya dalam Pendidikan Islam Abbasiyah.

Tokoh ilmuan tetap lahir dan memberikan pencapain yang berarti zaman tersebut diantara lahirnya para filosof dan ilmuan aqliah  lainya seperti [224];

a.    Abd al-Rahman Sufi, salah seorang ahli fisika yang paling cemerlang di zamanya, dia adalah sahabat karib, Amir Ad-Dawlah dari bani Buwaihi, dengan berbagai argument dia disebut Agustus kedua Bangsa Arab.

b.    Ad-Dawlah, di samping seorang Amir, ia juga seorang sarjana fisika, ia pernah mendatangkan ke istanaya, orang-orang terpelajar untuk ambil bagian dalam diskusi ilmiah

c.    Al-Kafi dan Abu al Wafa’ dua ahli dalam ilmu perbintangan, Ilmu Alam, dan Ilmu Pasti, mereka memperlajari dan menulis tentang perjalanan planet-planet di angkasa. penemuannya mengenai solstisi musim panas dan equinox musim gugur, amat banyak menambah pengetahuan manusia.

d.   Ibnu Sina (980-107 M) selain sebagai filosof ia juga seorang Dokter pengarang ensiklopedia dalam ilmu kedokteraaan yang terkenal dengan nama Al-Qanun Fi al-Thib. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, berpuluh-puluh kali cetak da digunakan di Eropa hingga Abad XVII. Banyak karanganya yang terkenal seperti bahasanya tentang fisika, Metafisika dan Matematikan yang terdiri 18 jilid.

e.    Jabir ibn Hayyan terkenal dengan bapak ilmu Kimia. dan Abu Bakar Zakaria al-Razi (865-925 M), pengarang buku besar tentang Al-Kimia yang baru dijumpai Abad XX lalu.

f.     Abu Raihan Muhammd al Baituni, seorang ahli dalam ilmu Fisika, sebelum Galileo, telah mengemukakan teori tentang bumu berputar pada asnya.

g.    Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali (1059-1111 M) seorang yang ahli ilmu filsafat, fikih, tasauf, teolog, tafsir, sya’ir-sya’ir arab[225] dan lainya. Karyanya bidang filsafat tahafutu al falasifah dan untuk kajian tasauf buku Ihya ‘Ulumuddin[226].

h.    Abul Ma’ali al-Juwaini (w.478 H), seorang ahli ilmu fikih, dan Mantik[227]. yang kemudian menjadi guru Imam al-Ghazali, sekaligus sebagai Rektor Madrasah Nizamiyah di Bagdad.

 

 

3.         Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah

Di masa Abbasiyah di bawah pengaruh Buwaihi gerakan intelektual atau pendidikan masih diperhatikan untuk lintas disiplin ini terbukti para pengeran dan wazir-wazirnya mendukung penuh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan[228]. Para ilmuan di undang oleh pangeran dan perdana menteri datang ke istana, mereka terdiri atas astrolog, dan dokter. Putra Perdana Menteri Mu’izz Daulah adalah seorang yang aktif  dalam kehidupan kultural keilmuan dan pendidikan Islam. Al-Habsy seorang Gubernur Bashrah, membangun sebuh perpustakaan yang memiliki koleksi buku sebanyak 15.000 jilid. Putra Mu’izz lainya, Bakhiyar (Izz Daulah), terlepas dari kegagalannya sebagai seorang raja, adalah seorang penyair. Begitu juga ‘Adhud Daulah terkenal sebagai pelindung terbesar ilmu pengetahuan[229].

Abu Muhammad al-Muhallabi seorang wazir Buwaihi, adalah seorang budayawan yang cerdas. sebagai seorang ahli prosa, dan sya’ir, yang fasih dalam bahasa Arab dan Persia, dia mengumpulkan sarjana-sarjana terkemuka dan penyair-penyair terkenal di sekelilingnya. Selanjutnya Shahin Ibn Abbad adalah seorang teolog. Kemudian Wazir Syapur Ibn Ardasyir mendirikan Rumah Sakit (Dar al’Ilm: Academy of Learning) yang sangat terkenal pada waktu itu.  Sebuah Institusi syi’ah mendirikan perpustakaan yang sangat baik dan memiliki koleksi buku sebanyak 100.000 jilid. Perpustakaan ini di dirikan pada 381 H/991 M atau 383 H/993 M, berlokasi di Bain al-Suran, wilayah bagian perkampungan Karkh. Namun perpustakaan ini dihancurkan oleh tentara Seljug  pada 451 H/1059 M[230].

Kemudian ketika Seljuq menguasai kekuasaan Abbasiyah, perkembagan lembaga pendidikan Islam yang disebut sebagai Madrasah sekelas universitas atau pergurun tinggi didirikan dengan disain pembelajaran terbaik muncul di zaman kemunduran Abbasiyah ini. 

Madrasah Nizamiyah dirikan oleh Nizal Al-Mulk seorang perdana menteri Seljuq, yang berkuasa pada masa Sultan Alp Arselan (1065-1067 M) dan anaknya Sultan Malik Syah. di Madrasah inilah al-Ghazali pernah mengajar selama empat tahun (1091-1095 M). Selain al-Gazali, gurunya al-Imam Haramain al Juwaini juga pernah mengabdi di Madrasah ini.

Masa kemunduran ini kekeuasaan dipegang sepenuhnya oleh sultan-sultan Seljuq (Turki), sedangkan khalifah hanya sebatas symbol kekhalifahan. Perkembangan lembaga pendidikan  baik di Istana, Kuttab Perpustakaan dan sebagainya tidak banyak para ahli sejarah yang menjelaskan, mereka hanya banyak menjelaskan Madrasah Nizamiyah ini sebagai lembaga yang dianggap universitas pertama yang menjadi tipe pengembangan universitas-universitas di dunia kemudian hari[231].

Madrasah Nizamiyah berdiri dilatarbelakangi oleh[232] :

a.         Faktor Pendidikan.

Pendirian Madrasah Nizamiyah merupakan konsekwensi logis dari pertambahan murid pada masa perkembangan dan pertumbuhan Islam. karena jumlah murid yang terus bertambah maka system pendidikan pu harus berubah, dari berorientasi kepada individual ke sifatnya massal.

b.         Faktor Politik

Pendirian Madrasah Nizamiyah, di samping factor pendidikan, juga dilatarbelakangi factor politik. seperti diketahui, sebelum Seljuq berkuasa Abbasiyah sedang dikuasai Buwaih. Dinasti ini menganut aliran Syi’ah dan mereka berusaha menanamkan pengaruh aliran itu ke tengah-tengah masyarakat melalaui propaganda aktivitas pendidikan. Seljug sendiri beraliran sunni , antara keduanya mempunyai idielogi yang jauh berbeda.

Adapun kurikulum, yang dikembangkan di Madrasah Nizamiyah beroientasi kepada penyebaran paham Sunni. Orientasi ini sebagai counter taktis untuk memimanilisir paham Syi’ah di masyarakat.

Menurut Mahmud Yunus (dalam Ramayulis) rencana praktis pengajaran di Madrsah Nizamiyah, pada saat itu didominasi oleh pengajaran ilmu-ilmu keagamaan atau ilmu-ilmu Syari’ah[233]. di Madrasah Nizamiyah pengajaran ilmu seperti kedoteran, falak, fisika, dan ilmu aqliah lainya tidak diajarkan.

Untuk mendukung tujuan pengajaran, perdana menteri Nizam al-Mulk menetapkan pendidik dengan kualifikasi yang mumpuni di bidang syariah. Semua ulama terkenal yang beraliran sunni  di datangkan ke Madrasah Nizamiyah. Untuk meraih tujuan praktis Madrasah, cabang-cabangnya didirikan di seantaro kekuasaan Abbasiyah, seperti; Bagdad, Nisyabur, Isfahan, Heart, Merw, Mosul dan Khuristan. Dan di antara para Pendidik yang telah mengabdikan ilmunya menurut Syalabi sebagai berikut [234]:

No

Nama Dosen

Tahun Wafat

Madrasah Nizamiyah tempat mengabdi

1.

Abu Ishaq Asy-Syrazi

476 H

Bagdad

2.

Abu Nashr Ash Shabbagh

477 H

Bagdad

3.

Imam al-Haramain Abul Ma’ ali Yusuf Al-Djawaini

478 H

Nisyabur

4.

Abul Qasim Al-‘Alawy Ad-Dabbusi

482 H

Bagdad

5.

Abu Bakar Muhammad Ibnu Tsabit al-Chudjandi

483 H

Isfahan

6.

Muhammad Ibnu Tsabit Asy-Syafi’i

483 H

Isfahan

7.

Abu Bakr Asy-Syasi

485 H

Herat

8.

Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu Hamid

495 H

Herat

9.

Abu Muhammad Ath-Thabary

495 H

Bagdad

10.

Abdurahman Ibnu Ma’mun

498 H

Bagdad

11.

Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syirazi

500 H

Bagdad

12.

Abu Zakaria Yahya Al-Chatib At-Tabrizi

502 H

Bagdad

13.

Al Kaya Al-Hirasi

504 H

Bagdad

14.

Abu Hamid Al-Ghzali

505 H

Bagdad dan Nisyabur

15.

‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ali Fashihi

516 H

Bagdad

16.

Abul Fathi Ibnu Burhan

518 H

Bagdad

17.

Abu Sa’id Abu Sa’id Al Bazzar

520 H

Bagdad

18.

Ahmad Al-Ghazali

520 H

Bagdad

19.

Ahmad Maihani

527 H

Merw

20.

Mu’inuddin Sa’id Ibnu Bazzaz

538 H

Bagdad

21.

Mauhub Ibnu Ahmad Al-Djawaliqi Al-Bagdad

539 H

Bagdad

22.

Muhammad Ibnu Yahya

548 H

Nisyabur

23.

Abu Sa’id Ahmad Ibnu Abi Bakr

551 H

Isfahan

24.

Syarafuddin Yusuf Ad-Dimasyqi

557 H

Bagdad

25.

Asy-Syakh Abun Najib

563 H

Bagdad

26.

Jusuf Ad-Dimasqi

563 H

Khuristan

27.

Rdhiyuddin Al-Qazwini

575 H

Bagdad

28.

Abu Barakat Al-Anbari

577 H

Bagdad

29.

Abul Khair Isma’il Al-Qazwini

581 H

Bagdad

30.

Abu Thalib Al-Mubarak

585 H

Bagdad

31.

Muhyiddin Abu Hamid

586 H

Mosul

32.

Majuddin Abu ‘Ali Yahya Ibnur  Rabi’

606 H

Bagdad

33.

Yahya Ibnu Qosim

616 H

Bagdad

34.

Bahauddin Ibnu Syaddad

632 H

Bagdad

35.

Najamuddin al-Badzirai

655 H

Bagdad

36.

Abul Mnaqib a-zindjani

656 H

Bagdad

37.

Syamsuddin al-Kabsyi

665 H

Bagdad

38.

Nashiruddin Al-Faruqi

672 H

Bagdad

39.

Madjuddin Ibnu Dja’far

682 H

Bagdad

40.

Syarafuddin Asy-Syahristani

291 H

sebagai asisiten di Bagdad

41.

Muhammad Ibnu al-‘Aqili

Permulaan Abad 8

Bagdad

42.

‘Abdullah Ibnu Baktasy

Akhir Abad 8

Bagdad

43.

Al-Fairuz Abadi

817 H

Asisten di Nisyabur

 

       Melihat komposisi pengajar diberbagai Madrasah Nizamiyah baik di pusat Bagdad atau cabang-cabangnya. menunjukan keterkaitan pemikiran tradional Asy-‘As’aryah yang mendasarkan  diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pendidikan umat Islam yang berorientasi sufitik[235]. Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek bathiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan pola pendidikan yang menerapkan pola pendidikan rasional dengan pendekatan empiric tidak berkembang. Tipikal dari pola pendidikan ini sangat memperhatikan intelektual dan penguasaan materi[236].

       Beberapa analisis yang dikemukan oleh Samsul Nizar mengenai titik balik kemunduran pendidikan Islam khususnya atau perdaban umumnya adalah :

Pertama,telah berlebihannya Filsafat Islam yang bersifat sufistik. Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat Islam yang menyebabkan manusia yang kembali tuhan dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan tuhan. Madrasah-madrasah yang berkembang menjadi zawiyat-zawiyat untuk mengadakan nadat, merintis jalan untuk kembali dan menyatu dengan tuhan di bawah bimbingan dan otoritas sufi[237]. Kedua, sedikitnya kurikulum Islam, kemunduran dan merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran   pada masa ini tampak jelas, dengan sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran umum di Madrasah-madrasah, perhatian terhadap ilmu alam telah tergeser pada pinggir yang jauh, tidak banyak/tidak sama sekali diajarkan di madrasah. adapun ilmu-ilmu keagamaan yang berkembang adalah; tafsir, hadis, fikih, dan usul fikih, ilmu kalam, serta teologi.[238] Sedangkan untuk Madrasah tertentu ilmu kalam yang diajarkan telah pula dicurigai[239].

Ketiga,Tertutupnya pintu ijtihad, diera kemunduran ini pintu ijtihad telah dianggap tertutup, sehingga sekolah-sekolah yang dikenal pada masa sebelumnya, selain Madrasah yang didirikan Nizam al-Mulk telah tidak dipergunakan lagi. Artinya semangat intelektual lintas disiplin sudah statgan, kecuali untuk ilmu-ilmu agama yang terus dipacu sekedarnya. Pendidikan hanya banyak dilaksanakan di rumah-rumah ulama dengan menekankan pada pemikiran sufistik kepada anak didiknya. Para ulama periode ini enggan untuk berijtihad karena anggapan pintu ijtihad telah tertutup[240].

c.         Potret Perkembangan Madrasah Nizamiyah.

Usaha yang dilakukan Nizam al-Mulk dengan membangun Madrasah Nizamiyah mendapat respon positif dari masyarakat. Dalam usaha yang paling mengesankan ialah seorang perdana menteri sekelas Nizam al-Mulk ikut membina langsung proses pembelajaran yang terjadi di kelas, Nizam al-Mulk biasa bertukar pikiran dengan mahasiswa dalam kunjungannya ke Madasah Nizamiyah baik di Bagdad maupun cabang-cabang lainya.

Melihat kesungguhan pemerintah masyarakat ikut pula mendirikan Madrasah dibeberapa tempat di antara tang terkenal adalah Madrasah Nizamiyah Nisyapur dan Nizamiyah Bagdad.

Madrasah Nizamiyah Nisyapur didirikan oleh Nizam al Mulk untuk Al-Juwaini yang memimpin dan menjadi dosen (Mudarris/Guru Besar), selama 3 dekade sampai wafatnya pada 478 H/1085 M. Menurut Ibn Khallikan (w.681 H/1282 M) berdiri sekitar 440 H/1050 M[241]. Dengan 43 orang Rektor yang memimpinnya[242].

Sedangkan Madrasah Nizamiyah Bagdad dimulai pembangunan menurut al-Jawzi pada 457 H/1065 M. Beberapa bangunan tua di pinggiran sungai Tigris diruntuhkan, lahu bahan materilanya digunakan untuk membangun Madrasah ini. Dua tahun setelah selesai diresmikan penggunaanya. Menurut Syalabi Madrasah ini menyediakan perpustakaan yang luas, banyak kitab-kitab keagamaan di dalamnya. Fasilitas asrama, pemberian Beasiswa dan biaya operasional Madrasah tentunya disediakan oleh penguasa.  Dana wakaf terkumpul mencapai 15. 000 dinar pertahun. Jumlah yang telah mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan operasional Madrasah dalam setahun[243].

Selanjutnya, pola dasar pembangunan Nizamiyah menurut Charles Michael Staton, Madrasah ini terpisah dari bangunan masjid[244]. Berarti pendidikan tinggi ini telah mengambil bentuk maju model universitas modern. Kegiatan pembelajaran disediakan khusus hampir mirip dengan bentuk klasikal.

 

4.     Ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah

Perkembangan Ilmu Pengatahuan sejalan dengan perkembangan pendidikan. Bertambah jumlah lembaga pendidikan maka bertambah pula ilmu pengetahuan yang yang ada. Begitu pula sebaliknya bertambah sedikit lembaga pendidikan akan bertambah pula ilmu pengetahuan yang dihasilkan atau berkembang. Perkembangan lembaga pendidikan Islam adalah bagian yang mendasar untuk perkebangan ilmu pengetahuan. Sedangkan  dukungan semua pihak terutama penguasa terhadap pendidikan sangat menentukan kemajuan pendidikan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengatahuan di era kemunduran Abbasiyah dari dua dinasti yang mempengaruhi Abbasiyah yaitu Dinasti Buaihi dan Seljuq dapat diuraikan sebagai berikut :

a.         Masa Dinasti Buaihi

Pada masa dinasti Buaihi perkembangan ilmu pengetahuan masih ter-integral (tidak terjadi dikotomis ilmu aqliah dan agama). Para penguasa Buaihi masih memberikan suppor untuk perkembangan ilmu pengetahuan aqliah dan agama, walaupun tidak sesemarak periode sebelumnya. di antara ilmu yang berkembang adalah; fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis (kedokteran), dan ilmu Kimia. Untuk ilmu aqliah berkembang, fikih yang beorientasi aliran Syi’ah, dan teologi[245].

 

b.        Masa Dinasti Seljuq 

Masa Seljuq berkuasa ilmu pengetahuan berkembang hanya untuk ilmu-ilmu kegamaan saja dan sedikit ilmu Alam (nampaknya sudah mulai memasuki bentuk dikotomis ilmu pengetuhuan walaupun tidak sepenuhnya). Pengembangan ini karena adanya motivasi politik antara aliran Sunni dan Syi’ah.  Penggalakan aktivitas keilmuan melalui pendidikan sekelas Madrasah Nizamiyah adalah bentuk nyata dari pengaruh politik untuk mempertahankan keberlangsungan aliran sunni di kekuasaan Abbasiyah. Ilmu pengetahuan yang diajarakan di Madrasah Nizamiyah berorientasi ilmu keagamaan dan sedikit ilmu kealaman. Menurut Mahmud Yunus kurikulum (matapelajaran) yang diajarkan di Madrasah Nizamiyah adalah ; Al-Qur’an, Sastra Arab, Sejarah Nabawiyah, Fikih, Ushul Fikih dengan menitik beratkan pada mazhab Syafi’I dan teologi Asy-‘Ariyah[246].

Kemudian menurut Mahmud Yunus seperti; kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid, Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, Kesehatan, cara memelihara binatang, bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman[247]. Samsul Nizar Menambahkan untuk komposisi kurikulum di Nizamiyah (masa dinasti Seljuq) sebagai berikut ; Tafsir, hadis, ilmu Kalam dan teologi[248]. Djamaludin Darwis menyebutkan dari al-Makdisi kompoisis kurikulum Nizamiyah ialah ; Al-Qur’an, Hadis, ‘Ulmu al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Fiqih dan Ushul Fiqih[249]. Oleh Albert Hourani (Djamaludin Darwis) Madrasah ini didirikan mengajarkan al-Qur’an dan Hadis tetapi tujuan utamanya adalah pengajaran Fiqih.

 

 

 

 

 

 

C.Kesimpulan

Pendidikan Islam Zaman Kemunduran Islam (Akhir Abbasyah)mengalami statganitas dan menurun secara drastis, karena perhatian penguasa tidak banyak dicurahkan untuk pengembangan bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian penguasa banyak terfokus keranah politik, bagaimana mempertahankan kekuasaan. Tarik- menarik pengaruh kekuasaan di pusat pemerintahan Bagdad antara dinasti Seljuq dan Buaihi bisa dikatakan sebagai penyebabnya. atas pengaruh kedua dinasti yang mendominasi Abbasiyah, khalifah hanyalah sebagai symbol atau boneka yang tidak punya power atas kuasa kekuasaan yang diembannya sebaga seorang penguasa Abbasiyah.

Untuk pengembangan keilmuan di masa dinasti Seljuq dan Buaihi ini ilmu tidak banyak jumlah, di antara ilmuan yang terlahir di zaman ini adalah ; Abd al-Rahman Sufi, Ad-Dawlah, Al-Kafi dan Abu al Wafa’, Ibnu Sina, Jabir ibn Hayyan, Abu Raihan Muhammd al Baituni, Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali, Abul Ma’ali al-Juwaini. sedangkan lembaga pendidikan yang ada diantaranya ; Perpustakan, Madrasah Nizamiyah dan Istana di zaman Buaihi.

Ilmu pengetahuan yang berkembang adalah ; fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis (kedokteran), Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, cara memelihara binatang, bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman dan ilmu Kimia. Untuk ilmu aqliah berkembang, fikih, ushul fikih yang beorientasi aliran Syi’ah, dan teologi, tafsir al-Qur’an, ‘Ulumu al-Qur’an, Hadis, Tasauf, Sastra Arab, Sejarah Nabawiyah, kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid, dan ilmu kalam.

 

Soal Latihan :

2.      Jelaskanlah perkembangan pendidikan Islam era kemunduran Abbasiyah.

3.      Sebutkanlah tokoh-tokoh ilmuan yang terkenal di era kemunduran Abbasiyah.

4.      Jelaskanlah lembanga pendidikan Islam yang ada diera kemunduran Pendidikan Islam di era Abbasiyah.

5.      sebutkalah ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang di era kemunduran Abbasiyah

6.      urainkanlah penyembab kemunduran perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan di era kemunduran Abbasiyah.

 

 

 

            ,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009

 

Darwis, Djamaludin,Dinamika Pendidikan Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaan. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2

 

Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III

 

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi

 

Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994

 

Syalabi,Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VIII

PERTUMBUHAN ILMU-ILMU ISLAM DI MADRASAH

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menguraikan

Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam di Madrasah

Indikator 

:

1.Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam

:

2.Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama,

:

3.Peranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam

Strategi Perkuliahan

:

PresentaseMakalah, Ceramah dan Tanya Jawab

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

 

100

 

A. Pendahuluan

Membicarakan sejarah pertumbuhan ilmu-ilmu Islam dalam konteks yang sebenarnya, dapat dilihat sejak dimulainya dakwah Nabi Muhammad saw secara resmi di Makah.Konsentrasi dakwah beliau seperti diketahui pengajaran tentang tauhid, ibadat dan akhlak. Sejak awal Nabi Muhammad saw tidak memperkenalkan ilmu-ilmu dalam bentuk dikotomis (dibedakan), sebab, sumber ilmu hanya satu yaitu Allah al-‘Aaliim (Tuhan yang Mahatahu). Selain itu, ilmu-ilmu yang aqliah/profan belum begitu dibutuhkan. karena posisi ilmu tersebut hanya sebagai pelengkap dan penunjang. Sedangkan pokok atau dasar bangunan keilmuan yang sebenarnya belum mapan.

Pokok bangunan keilmuan yang dibangun nabi Muhammad saw awal terfokus pada ‘ruang’penyingkapan ontologi (sumber) ilmu pengetahuan. Intinya, sumber ilmu adalah Allah swt kemudian diberikannya kepada siapa yang berusaha mendapat itu dengan menggunakansemua potensi yang dimilikimanusiaseperti; pancaindra, Aqal dan Qalbu. Jika,persolantersebuttelah duduk, maka proses selajutnya akan lebih mudah. Untuk itu, pendidikan Islam diera awal baru mengajarkan ilmu-ilmu utama (ilmu agama) tentang tauhid, ibadat dan akhlak yang sifatnya wajib untuk diketahui/dituntut oleh manusia menurut Imam al-Ghazali ( w.1111 M). Pertumbuhan ilmu-ilmu Islam awal disebut sebagai masa perintisan ilmu-ilmu Islam. Kemudian era pembinaan pendidikan Islam memasuki era Umawiyah (661-743 M) dan era puncak kemajuan pada masa Abbasiyah (132 H/750 M-656 H/1258 M), sekaligus era mempertahankan, memperbaiki (restrukturisasi) pertumbuhan ilmu-ilmi Islam.

Di atas telah dikatakan bahwa prinsip dasar pengembangan ilmu pengetahuan melalui pendidikan Islam tidak mengenal dikotomis (pembedaan) antara ilmu agama dengan ilmu aqliah/profan, sebab sumbernya hanya satu yaitu Allah swt. Kemudian, prinsip ini menjadi pudar dan bahkan hampir tidak dikenal pada era kemunduran Islam. Situasi tersebut berkaitan dengan sikap jenuh yang menimpa masyarakat dan penguasa muslim di bidang politik dan teologi keagamaan, yang puncaknya pada masa Abbasiyah akhir, tepatnya masa Bani Seljuq mengusai pemerintahan Abbasiyah di Bagdad  (447 H/ 1055 M-656 H/ 1258 M). Sehingga concern pertumbuhan ilmu berkisar ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu aqliah/profane tidak menjadi perhatian utama, bahkan, dicurigai keberadaannya, seperti ilmu kalam.  

Berkaitan dengan Madrasah sebagai tempat pertumbuhan ilmu-ilmu Islam yang dimaksud pada sesi materi ini adalah Madrasah dalam konteks lembaga perguruan tinggi, baik karena nama dan sekaligus proses kegiatan keilmuan telah memenuhi standar sebagai Madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam lebih lanjut setingkat universitas atau perguruan tinggi, atau penamaan saja, karena posisinya dianggap memenuhi standar sebagai lembaga perguruan tinggi/universitas baik di masa Umawiyah II (Spanyol) maupun masa Abbasiyah salah satunya Madrasah Nidzamiyah. Sedangkan arti Madrasah sebagai tempat proses belajar mengajar sepanjang lintasan sejarah pendidikan Islam mulai Nabi Muhammad saw yang yang dikategorikan pendidikan dasar seperti Kuttab, Ribath, Zawiyah, Saloon Sastra, Rumah Ulama, Pendidikan Istana dan lain-lain tidak akan dibahas.

Sedangkan dimaksud ilmu-ilmu Islam yang tumbuh di Madrasah mengacu kepada ilmu dalam pengertian integral (satu) tidak dikotomik (pembedaan). Diera pertumbuhan Madrasah dalam pengertian perguruan tinggi di masa Umawiyah  II Spanyol maupun periode Abbasiyah awal (masa kemajuan), mengajarkan ilmu-ilmu Islam secara integral. Namun pada era Islam mundur di akhir Abbasiyah pertumbuhan ilmu-ilmu Islam mulai fokus kepada ilmu keagamaan. sehingga konotasi ilmu-ilmu Islam hanya bernuansa keagamaan, sedangkan aqliah/profan tidak termasuk, padahal secara prinsip, semua ilmu itu milik Allah yang bersifat intergral dan bukan dikotomis.

Adapun fakus bahasan materi ini adalah ; Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama, Peranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Kesimpulan, dan Soal-soal Latihan.

B. Pembahasan

Para pakar sejarah pendidikan Islam telah menempatkan prototype perguruan tinggi dalam dunia Islam tertuju kepada Madrasah Nidzamiyah. Ahmad Syalabi, menjelaskan dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” bahwa masih ada beberap Madrasah yang dibangun selain Nidzamiyah, seperti ; Madrasah Ayubiyah di Mesir, Madrasah Nurudin Zanky, sekolah Kedokteran dan An-Nuryah Kubra[250]. Charles Michael Stanton, menyebutkan Madrasah Nidzamiyah khususnya telah menginspirasi perkembangan dan tatapengelolaan Universitas-universitas di Eropa di Abad kebangkitannya (Renaisance) lebih spesifiknya di daratan Inggris dan Prancis[251].

Dapat difahami terlebih dahulu bahwa Madrasah diabdikan terutama kepada al-uluum al-Islamiyah atau biasa juga disebut al-uluum ad-diniyyah dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir dan hadits. Meskipun ilmu-ilmu ini juga memberikan ruang gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, dalam pengertian bukan ijtihad yang dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian, ilmu-ilmu non agama (profan) sejak awal perkembangan madrasah sudah dalam posisi yang marjinal.

Meski Islam pada dasarnya tidak membeda-bedakan nilai-nilai ilmu agama dan ilmu umum, namun dalam prakteknya supremasi lebih diberikan kepada ilmu agama. Terlepas dari semua itu, jika dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian terbatas, supremasi dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan dalam batas tertentu agaknya mengandung implikasi positif. Supremasi ini membuat transmisi syari’ah yang merupakan inti Islam, dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi “lebih terjamin”, walaupun supremasi tersebut tidak berlangsung dengan cara yang lebih dinamis.[252]

Karena itu tak heran ketika Charles Michael Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga penidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Ini tidak aneh karena seluruh madrasah yang pernah diteliti sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama. Hanya terdapat beberapa madrasah saja, khsususnya di Persia yang mengajarkan beberapa bidang ilmu yang “diharamkan” pada madrasah-madrasah Sunni[253]. 

1. Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam

a. Madrasah pada Masa Dinasti Umayyah di Spanyol

Kurikulum madrasah di masa klasik, tidak banyak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru diperbolehkan mempelajari materi yang lain atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena belum adanya koordinasi antar lembaga-lembaga dengan pemerintah seperti pada saat ini. Meskipun pada kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksanaan pengajaran di madrasah-madrasah sedangkan proses belajar mengajar sepenuhnya tergantung kepada guru yang memberikan pelajaran.

Di bagian Barat wilayah Islam, Dinasti Umayyah  mengembangkan banyak jami’ah di kota Seville, Cordova, Granada dan di kota-kota lain. Di Spanyol perkembangan pendidikan tinggi di mulai pada abad kesepuluh. Bangsa Moor dan berikutnya bangsa Arab, memasuki sepanyol pada tahun 712. Meskipun tahun 756, pangeran dari Dinasti Umayyah, Abdul Rahman telah ditaklukkan oleh tentara dari Abbasiyah, Khalifah Al-Mansyur dan mengangkat Amir di Cordova. Inisiatif lain abad keemasan Islam di Spanyol bagian Selatan, di bawah Umayyah ini, terus berjalan abad kesebelas. Sementara itu pada abad kesepuluh adalah puncak perkembangan intelektual muslim di Spanyol dengan Cordova sebagai pusatnya. Universitas-universitas tersebut menjadi simbol yang cemerlang bagi kepentingan pendidikan muslim dan memberikan sumbangan khusus bagi kemajuan Eropa abad pertengahan[254]. 

Umat Islam di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.

Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.

b. Madrasah pada Masa Dinasti Abbasiyah. 

Keadaan yang sama juga meliputi pendidikan tinggi di wilayah Dinasti Abbasiyah. Sejarah mencatat bahwa kemajuan Islam zaman klasik dalam keilmuan mencapai puncaknya pada zaman Dinasti Abbasiyah khsususnya masa kekhalifahan al-Ma’mun.Seluruh lembaga menawarkan pendidikan univesitas dalam cakupan yang lebih luas, seperti bahasa Arab, astronomi, kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmetika, pertanian dan lain-lain[255].  Namun seiring dengan berdirinya madrasah, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami penurunan ketika mu’tazilah[256]  yang semula menjadi madzhab resmi negara dibatalkan oleh Mutawakkil[257]. Ketika madrasah mulai berdiri, ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai media transmisi, bahkan filsafat dan ilmu pengetahuan itu dipelajari secara individual dan mungkin di bawah tanah, karena dikawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu agama. Sehingga pada saat itu terdapat beberapa mudarris yang menawarkan program studi khusus dan lain-lain. Kekhususan itu dapat dilihat dari nama sekolahnya. Misalnya madrasah Nahwiyah, sebagai lembaga yang mengkhususkan diri dalam studi Islam tentang gramatikal bahasa Arab. Atau ada juga madrasah Qur’aniyah yang mengkhususkan pendidikan al-Qur’an dengan saja.

Biasanya madrasah mempunyai perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama, walaupun perpustakaan telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan hartawan, perpustakaan sebagai bagian dari madrasah adalah hal yang jarang[258]. Untuk menyediakan manuskrif bagi mahasiswa, madrasah mencontoh praktek halaqah-halaqah gerakan nasional yang telah terpenuhi oleh budaya Hellenistik[259] dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Tersedianya berbagai karya bukan hanya sekedar buku-buku pelajaran, meningkatkan belajar mahasiswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam-macam pandangan dan juga kepada sejumlah tulisan tidak hanya sekedar kebutuhan langsung perkuliahan.

Madrasah yang didirikan Nizham al-Mulk merupakan salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan menjadi begitu cepat. Abu Usamah menulis: “sekolah-sekolah Nizham al-Mulk termasyhur di dunia. Tidak ada satu negeri pun yang di situ tidak berdiri Nizham al-Mulk[260].

Demikianlah Nizhamiyah memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu aritmetika misalnya, sedangkan madrasah-madrasah yang lain mengajarkan ilmu nahwu, tafsir, hadits, fiqh, bahkan ada pula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Walau pun memang secara umum madrasah-madrasah mengajarkan ilmu keislaman. Seperti terlihat dari topik-topik utama dalam kurikulum mereka mempelajari al-Qur’an, fiqh, teologi dan lain-lain[261]. 

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa Nizhamiyah mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan memperhatikan kepada pengajaran aritmetika, seperti juga terdapat di madrasah Muntansyiriyah. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena dahulu mereka tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu, tetapi pada gilirannya ternyata ilmu tersebut mereka butuhkan. Bahkan, ditemukan sebuah masjid dan madrasah yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya masjid Mustansyiriyah di Baghdad yang telah mengajarkan ilmu-ilmu murni, seperti obat-obatan, farmasi dan geometri[262].

Berikut ini kronologi Keahlian para pelajar pada Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Al-Ma’mun[263].

No

Nama Mahasiswa

Masa Hidup

Keahlian

1

Jabir Ibn Hayyan

( 721-815 M )

Kimia

2

Abu Nawas

( 747-815 M )

Syair

3

Imam Syafi’i

( 767-820 M )

Fikih

4

Muhammad Ibn Ummar Al-Waqidi

( 748-823 M )

Sejarah, Fiqh, Hadits

5

Ibn Hisya

( w. 832 M )

Sejarah

6

Al-Nazzam

( 801-835 M )

Teologi

7

Ahmad bin Hanbal

( 780-855 M )

Fikih

8

Ibn Sai’d

( w. 834 M )

Sejarah

9

Muhammad Ibn Sa’i

( 784-845 M )

Sejarah, Hadits

10

Al-Khawarizmi

( 780-847 M )

Astronomi, Matematika

11

Abu Al-Huzail Al-‘Allaf

( 752-849 M )

Teologi Mu’tazilah

12

Ashaq Al-Mawshilli

( 767-850 M )

Sya’ir Penyanyi

13

Al-Jahizh

( 776-869 M )

Sastrawan

14

Imam Bukhari

( 810-870 M )

Hadits

15

Hunayn Ibn Ishaq

( 809-873 M )

Fisika dan Kedokteran

16

Ar-Razi

( 865-925 M)

Kedokteran

17

Al-Bakhli Ibn Khardazbah

( 934 M)

Geografi

18

Ibna Sina

( 980 -1037 M)

Kedokteran

 

c. Madrasah Akhir Periode Klasik Islam

Ba’da berakhirnya periode klasik Islam, ketika Islam mulai mengalami masa kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan ini bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan kemajuan di bidang ilmu dan tekonologi itulah yang mendukung keberhasilan politik Eropa. Kemajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol itulah Eropa banyak menimba ilmu[264]. 

Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan peradaban Islam yang sangat penting menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak menimba ilmu di perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi Eropa[265].  Banyak prestasi yang diperoleh Spanyol Islam, bahkan dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat pada bidang-bidang sebagai berikut: kemajuan dalam bidang intelektual, filsafat, sains, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, bahkan juga dalam bidang arsitektur. Kemajuan Eropa terus yang berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada khasanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada periode klasik[266]. 

Kontribusi khasanah ilmu pengetahuan Islam pada kemajuan Eropa, antara lain di misalnya bidang pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen[267]. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir[268]. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.

Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M[269] dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venessia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 M di Jenewa[270].

Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Valensia. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim[271].

Bidang Matematika, para ilmuan Islam telah berhasil menemukan struktur angka yang diambil dari struktur angka India, dari usaha menerjemahkan buku-buku India. Struktur angka yang lebih praktis dibanding struktur angka yang diciptakan orang-orang Romawi. Dalam struktur ini setiap digit mempunyai arti satuan, puluhan, ratusan, r  ibuan dan seterusnya. Bandingkan dengan struktur angka Romawi yang untuk menuliskan 388harus ditulis CCCLXXXIII[272].

Dalam perkembangan berikutnya, sarjana-sarjana muslim menemukan angka nol (shifir). Penemuan angka nol ini merupakan penemuan paling berharga dalam bidang ilmu hitung. Selain itu umat Islam juga menemukan ilmu al-Jabar. Di antara pakar al-Jabar adalah Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi yang menyusun sebuah buku Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab al-Jabar wal Muqabla (ringkasan perhitungan retorasi dan ekuasi)[273]. Buku ini akhirnya dijadikan buku wajib di sekolah-sekolah dan universitas di Eropa sampai akhir abad ke 16. Selain al-Khawarizmi juga ada al-Bani dan al-Baruni (973-1048).

Di bidang kedokteran, karya Ibnu Sina Al-Qanun merupakan rujukan terpenting dan terlengkap di dunia kedokteran. Bahkan orang-orang Eropa menamakan kitab ini sebagai ensiklopedia kedokterab karena mencakup penyakit TBC, penyakit kaki gajah, penyakit cacing dan bahayanya. Al-Qanun dicetak di Eropa pada tahun 1593 M, dicetak ulang sebanyak lima belas kali dalam bahasa latin yang kemudian menjadi buku utama di fakultas-fakultas kedokteran di Eropa hingga akhir abad ke 16 Masehi[274]. 

 

2. Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama

Ada semacam degree agreement bahwa madrasah dipandang sebagai lembaga yang khusus mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan memberikan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadits dan tidak memasukan ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Menurut Azyumardi Azra, hal ini disebabkan karena 3 alasan:

a.    Ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu keagamaan (al-‘uluum ad-diniyyah) yang danggap mempunyai supremasi lebih dan merupakan jalan ‘tol’ menuju Tuhan.

b. Secara institusi madrasah memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama.

c. Berkenaan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf dari penguasa politik Muslim atau dermawan karena didorong adanya motivasi kesalehan[275]. 

Madrasah dapat diterima di kalangan masyarakat banyak karena kurikulum yang terfokus pada bidang keagamaan, seperti pelajaran fiqih misalnya dianggap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur. Di samping itu pula kerena pengajar madrasah adalah para ulama yang notebene merupakan panutan masyarakat serta pembela kepentingan mereka dan memiliki keududukan khusus dalam pemerintahan[276]

Karena, dapat kita simpulkan bahwa madrasah memiliki fungsi dan peran yang besar dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam. Adapun jenis pentranmisiannya adalah sebagai berikut:

a. Ilmu Pengetahuan yang Ditransminsikan Madrasah

Para ahli telah banyak melakukan penelitian tentang hal ini, bahwa ilmu-ilmu yang ditransmisikan oleh madrasah adalah; Al-Qur’an dan tafsirnya, hadits dan ilmu haditsnya, fiqih dan ushul fiqihnya, ilmu kalam dan bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, balaghah sebagai penunjangnya.

b. Cara Madrasah Mentransmisikan Ilmu Pengetahuan Islam

Di antara madrasah yang cukup populer di masanya adalah madarasah Nizhamiyah. Bagaimana cara madrasah ini mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam, yaitu dengan menyelenggarakan ujian. Namun pernanan guru masih sangat mendominasi oleh karena besarnya pengaruh guru secara individual. Misalnya, ijazah yang seharusnya dikeluarkan atas nama madrasah, tapi dikeluarkan atas nama guru. Namun demikian dalam hal ini tidak berarti bahwa madrasah tidak mempunyai fungsi strategi terhadap tansmisi ilmu.

Seperti pendapat Fazlur Rahman, bahwa mayoritas ulama termasyhur pada awal abad pertengahan bukan produk madrasah melainkan alumni murid-murid informal dari guru individual tidak dapat dibenarkan semuanya, sebab besar kemungkinan pengkajian disiplin ilmu yang dilakukan antara peserta didik dengan syaikhnya di luar jam pelajaran ini juga boleh jadi dimasukan ke dalam bagian kegiatan secara keseluruhan.

Adapun alur transmisi ilmu pengetahuan di madrasah secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian:

 

a. Transmisi Lewat Lisan

Dunia pendidikan Islam zaman klasik berkeyakinan bahwa belajar kepada syaikh secara pribadi dan langsung mendengar uraian (bayan) dari syaikh tidak hanya membaca karya-karya tulisnya dianggap sebagai metode transmisi yang paling baik. Seorang murid tidak dianggap cukup hanya membaca teks karya gurunya sendiri. Metode ini dilaksanakan dengan cara guru membaca teks kemudian mensyarahnya dan murid mendengarkan dan menyimak dengan seksama.

b. Transmisi Lewat Tulisan

Upaya transmisi lewat tulisan ini dilakukan karena pada masa itu harga kitab/buku sangat mahal, sehingga seorang murid yang berkeinginan memiliki sebuah buku/kitab maka tidak ada jalan lain kecuali ia harus menyalin dari kitab gurunya. Usaha keras ini menjadi alasan dan bukti akan adanya transmisi ilmu pengetahuan lewat tulisan.

 

3. Peranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam

Lembaga pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam transpormasi ilmu pengetahuan. Kegiatan intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan mata rantai dari serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa nabi dan khulafa’ur Rasyidin dengan adanya syufah dan dilanjutkan pada masa Bani Umayyah dan mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa Bani Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti Madrasah Nidzamiyah dan al-Azhar. Maka pengaruh ulama dalam mengembangkan tradisi keilmuan Islam tidak terlepas dari lembaga pendidikan tersebut.

Adapun di antara ulama yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, baik selama mendalami ilmu di lembaga madrasah maupun selama menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut adalah al-Ghazali. Beliau merupakan alumni sekaligus sebagai salah satu tenaga pengajar pada Madrasah Nizamiyah. Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli fiqih, ahli sufi dan juga seorang negarawan. Ia tidak kurang menulis 400 buku besar dan risalah. Ia juga dikenal sebagai ilmuan Islam yang ensiklopedis. Banyak peneliti yang mengaitkan perkembangan keilmuan dengan peran yang dimainkannya, khususnya selama ia menjadi syaikh di madrasah tersebut.

Al-Ghazali(450 H/1059M-505 H/1111 Mberasal dari Thus Persia, setelah menyelesaikan pendidikan dasar di negerinya, ia menuntut ilmu di Jurjan pada syaikh Abu Nasr al-Ismali. Setelah itu meneruskan pendidikannya ke Naisabur. Di sana ia menjadi pengikut tetap pengajian imam al-Haramain al-Juwaini yang menjadi syaikh madrasah Nizamiyah[277]. Ia menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fiqih Syafi’I, perbandingan madzhab, debat, ushul fiqih, ushuluddin dan mantiq. Sementara itu, ia pun menulis buku-buku, di antara karyanya; Ihya Ulumuddin,[278]  Maqasid, dan Tahafatul Falasifah, al-Mustafz, al-Basit, al-Wasit serta al-Wajiz. Walaupun sudah kurang luas peredarannya, tetapi sebagian besar fiqih yang menjadi buku daras atau ulama syafi’iyah sekarang adalah turunan dari kitab-kitab itu.

 

 

 

 

C. Kesimpulan

Keberadaan madrasah dalam pendidikan Islam turut mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini terbukti dari banyaknya ilmu pengetahuan yang berkembang baik yang dikembangkang pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah.

Ada juga madrasah yang mengkhususkan diri mempelajari satu disiplin ilmu tertentu, misalnya madrasah nahwu, madrasah tafsir atau madrasah hadits yang pada gilirannya membawa perkembangan pada ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian madrasah merupakan media atau wadah pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para alumnus yang dihasilkan madrasah turut pula menjadikan ilmu pengetahuan Islam berkembang. Mereka mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam karirnya di berbagailembaga maupun kehidupan bermasyarakat.

Sola Latihan :

1.   Bagaimana Islam memandang Ilmu pengetahuan yang ada, mengapa demikian, jelaskan?

2.   Jelaskanlahpengertian  Madrasah dan bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islammelalui Madrasah.

3.    Jelaskan Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama,

4.   JelaskanlahPeranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam

5.   Urainkanlah ide anda bagaimana langkah-langkah mencapai perkembangan ilmu pengetahuan seperti di zaman kejayaan Islam.

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 177

Azra,Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

http://jejaksejarahislam.blogspot.com/2011/04/andalusia-jejak-sejarah-islam-yang.html, diakses tanggal 25 Oktober 2011

 

http://www.darulkautsar.net/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

 

Makbulah,Deden, Kehidupan Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah Al-Ma’mun;dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005

 

Nata,Abudin, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan Pertengahan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 176.

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

 

Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005

 

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1974

 

Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern,Jakarta: PM3, 1981, Cet. II

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Syalabi,Ahmad, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta: Bintang Bulan, 1973

 

Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1994

 

Yasien,Khalil, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, Jakarta: Gema Insani Press, 2002

 

Yatim,Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 199,1 cet. I

 

Ramayulis, Nizar, Samsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2010

BAB IX  

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menguraikan

Pembaruan Pendidikan Islam

Indikator 

:

1.Pengertian Pembaruan Pendidikan Islam

:

2.    Latar Belakang Bangkitnya Pembaruan Pendidikan Islam

:

3.Pola Pembaruan Pendidikan Islam

 

:

4. Tokoh dan sasaran Pembaruan Pendidikan Islam

Strategi Perkuliahan

:

PresentaseMakalah, Ceramah dan Tanya Jawab

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

 

100

 

A.      Pendahuluan

  Kata pembaruan dapat dikelompokkan kepada tiga makna yaitu Pertama, pengembalian sesuatu kepada konsepnya yang lama, dimana konsep itu sudah kabur, semu, tidak seperti yang seharusnya. Kedua, Pembaruan yang berupaya menemukan kembali atau menafsir ulang bentuk nilai, etos, dan semangat dalam konteks kekinian sesuai kondisi yang melingkupi. Ketiga, Merupakan lawan kata usang, jadul, ketinggalan zaman, lusuh dan sesuatu yang telah lama muncul serta eksis, tetapi belum memenuhi standar seperti kondisi baru yang lebih canggih, atau modern kemudian diperbaharui dan dimodernkan serta disesuaikan dengan standar yang lebih canggih.

Sedangkan yang pertama, menekankan kepada kesamaan dan kecocokan, teknis operasional atau sesuai dengan dasar (dalil) yang lebih utama, konteks ini, biasa digunakan pada ranah agama, khususnya permasalahan, tauhid, ibadah dan akhlak. Kedua, mengacu kepada penaafsiran terhadap prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal dan berlaku lintas waktu dan zaman, prinsip-prinsip yang dimaksud lebih bersifat abstrak, yang menjiwai sesuatu sehingga mampu bertahan dari perubahan-perubahan yang ada, dalam al-Qur’an termasuk dalam kategori ayat bermaksud ganda (al-Mutasyabihat). Maksud pembaruan Ketiga lebih kepada system operasional, dalam bentuk pengorganisasian sebuah lembaga, badan, institusi, organisasi, persyirikatan, kelompok dan lain-lain.

Pembaruan pendidikan Islam berawal dari pembaruan dibidang keagamaan kemudian merembet ke ranah kedua dan ketiga. Gelora pembaruan yang terus bergema menjalar keberbagai bidang kehidupan umat Islam baik politik, ekonomi, kebudayaan, militer dan sebagainya. Pembaruan itu konsekwensi logis, dalam upaya menemukan jati diri agama Islam sebenarnya, yang sesuai dengan semangat zaman. Tentu, yang berubah bukan yang prinsip tetapi lebih kepada unsur teknis-kemudian disesuaikan dengan dasar-dasar prinsip yang sacral itu.

Sesungguhnya, pendidikan Islam bagian yang tak terlepas dari pembaruan. Pembaruan pendidikan hakikatnya, sudah dimulai semenjak nabi Muhammad dengan pengajaran agama Islam, serta pembaruan metode pengajaran di Makah dan Madinah. Kemudian, evolusi pendidikan terus berlangsung mencapai puncaknya pada zaman Khalifah Harun-ar-Rasyid dan al-Makmun, penguasa Abbasiyah.   

Setelah keduanya mangkat, pendidikan Islam secara berangsur-angsur mulai meredup, kemudian mengalami kehancuran yang hampir total, ketika Kota Bagdad di hancurkan pasukan tentara Mongol tahun 1258 M, dan hancurnya kerajaan Bani Ahmar (Granada) di Spanyol tahun 1492 M oleh tentara raja Kristen Ferdinand dan Isa Bella.

Sejak itu, pendidikan Islam mengalami masa tahun kelam. Sedangkan di Barat, pendidikan mengalami kemajuan yang pesat,  ilmu pengetahuan dengan berbagai varianya tumbuh subur. Perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, sebenarnya terinspirasi oleh dunia timur Islam pada periode sebelumnya, melalui jalur Spanyol Muslim. Ilmu pengetahuan tentu bukan barang jadi, melainkan hasil penelitian mutakhir bangsa Barat dengan menggunakan metode-metode pengembangan ilmu pengetahuan yang secara simultan ikut berkembang seperti ; riset, observasi, ekspriment dan sebagainya. Selain itu, system pengelolaan pendidikan Barat sebagai basis penyiapan sarjana dan ahli juga bertambah baik dengan ditemukannya metode menajamen modern. ditambah dukungan penguasa dan semangat keilmuan yang dijunjung tinggi, nampaknya menjadi factor besar dalam peningkatan hasil pendidikan Barat.

Setelah keberhasilan invansi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 Mdengan armada yang besar, membuka mata umat Islam di timur, bahwa Islam telah ketinggalan jauh, dari bangsa Barat. dari situ, dunia muslim telah mencoba, mengadakan perbaikan-perbaikan untuk tatanan kehidupan Islam supaya bisa menyeimbangkan kemajuan dengan dunia Barat.

Salah satu perbaikan yang dilakukan ialah di bidang pendidikan Islam. Tokoh penomenal yang gigih dalam usahanya memperbaharui pendidikan Islam ialah Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha.  Sejak adanya upaya revitalisasi (pembaruan) oleh kedua tokoh tersebut, semangat pembaruan menyebar ke seluruh dunia muslim melalui para jamaah haji yang berkunjung tiap tahun ke Makkah atau, malalui mahasiswa Islam yang belajar di Mesir. Setelah selasai studi, mereka kembali ke kampung halamanya dan mengadakan pembaruan sesuai semangat yang dibawanya dari negeri timur tengah.

Adapun struktur/komponen dalam bahasan materi ini adalah; Pendahuluan, Pembahasan yang mencakup mengenai pengertian Pembaruan pendidikan Islam, Latar belakang bangkitnya pembaruan pendidikan Islam, dan Pola pembaruan Pendidikan Islam, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam,   kesimpulan dan soal-soal latihan.

 

B.       Pembahasan

1.    Pengertian Pembaruan Pendidikan Islam

Pembaruan terjemahan dari modernistion yang dalam bahasa Indonesia, berarti proses menjadi baru. Sedangkan kata modernisme menurut Harun Nasution, dalam masyarakat Barat, mengandung makna pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Lahirnya modernisasi atau pembaruan di sebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Artinya, tidak mungkin aka nada pembaruan tanpa ada dukungan perkembangan ilmu pengetahuan[279].

Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan sesungguhnya lebih merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan baik dari segi cara, konsep, dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka menghantarkan keadaan yang lebih baik. Dengan demikian, kalau kita kaitkan dengan pembaharuan pendidikan Islam akan memberi pengertian bagi kita, sebagai suatu upaya melakukan proses perubahan kurikulum, cara, metodologi, situasi dan pendidikan Islam dari yang tradisional (ortodox) kearah yang lebih rasional, dan professional sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu[280].

Ramayulis menyebutkan, aktifitas pembaruan dapat dilihat dari 3 hal yaitu; 1. Pembaruan tersebut selalu berusaha mencapai perbaikan secara simultan, 2. Pembaruan yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi, 3. Pembaruan dilakukan secara dinamis, inovatif dan progresif sesuai dengan cara fikir seseorang[281].

2.    Latarbelakang Pembaruan Pendidikan Islam

Semenjak bangsa Barat mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan dari umat Islam melalui transformasi  budaya keilmuan Andalusia (Spanyol), perkembangan ilmu menjadi lebih pesat, sementara umat Islam sudah tidak begitu peduli lagi, dengan dibarengi sikap euphoria masa lalu.

Di Barat, Ilmu pengetahuan berangsur-angsur bangkit dengan munculnya masa “Ranaisance” di Inggrisdan “Aufkhlarung” di Jerman. Laju perkembangan ilmu pengetahuan bertambah pesat setelah ditemukannya mesin uap yang menandai dimulainya periode industri di Barat. semua perkembangan diacukan dengan masin yang ikut membantu mempermudah pekerjaan manusia.

Sementara umat Islam masih “jumud” dan belum menyadari ketertinggalannya. Akibatnya, daerah-daerah Islam sangat mudah dijajah oleh bangsa Barat, walaupun Turki Usmani masih menjadi sebuah kekuasaan terbesar, yang mungkin menjadi pelindung negeri-negeri muslim, tapi sayang kondisinya sudah melemah dan tidak mampu lagi mempertahankan daerah muslim yang menjadi wilayah proktetoratnya. Sebuah adagium yang cukup terkenal tentang kondisi Turki Usmani waktu adalah “The sick Man in Europa” (Orang sakit di Eropa)[282].

Kemudian, terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang hareus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh Barat yang pada waktu itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.

Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam[283].

Pertamafaktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system pendidikan Islam yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah.

Ramayulis mengutip pendapat Fauzan, menambahkan, bahwa yang melatarbelakangi pembaruan pendidikan Islam secara internal ialah[284];

a.     Agama Islam melalui ayat suci al-Qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berfikir, dan bermetaforma: membaca dan menganalisis sesuatu kemudian bisa diterapkan atau bahkan mencipkan yang baru dari apa yang kita lihat,

b.     Adanya kesadaran sebagian ulama atas ketertinggalannya dari orang Barat, dan mereka ingin memperbaiki kembali nasibnya

Keduafaktor eksternal adanya kontak Islam dengan Barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan pragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir[285]. 

Kontak yang berkesan sehingga membuat umat Islam terbangun dari tidur euforianya adalah setelah Napoleon Bonaparte datang ke Masir. Sebenarnya, kesadaran Umat Islam atas ketertinggalan dari bagsa Barat sejak abat 17 setelah kekalahan Turki Usmani dalam peperangan dengan Negara-negara Eropa. Kemudian para Raja dan tokoh ulama di Turki Usmani mengadakan penyelidikan sebab-sebab kekalahan dan rahasia keunggulan lawan. Pada akhirnya, diutuslah duta-duta untuk mempelajari ilmu pengetahuan ke Peracis. disebabkan situasi perang yang sering berkecamuk, antara Negara Barat dengan Turki, maka didatangkalah pelatih-pelatih militer dari Eropa sekaligus didirikan pula Sekolah Teknik Militer pada tahun 1734 M untuk pertama kalinya[286].

 

3.    Pola Pembaruan Pendidikan Islam

Dengan memperhatikan berbagai faktor internal dan eksternal pembaruan pendidikan Islam, maka pada garis besarnya terjadi dua pola pemikiran pembaruan pendidikan Islam sebagai berikut :

a.    Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern

Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber keekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Dalam hal ini usaha pembaruan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Disamping itu pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Perancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa di berbagai negeri Islam.

Pembaruan pendidikan dengan pola barat ini, mulanya timbul di Turki Usmani pada akhir abat ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekuralisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan Mahmud II (yang memerintah Turki Usmani 1807-1839 M) adalah pelopor pembaruan pendidikan di Turki.

Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrasah tradisional ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad kesembilan belas. Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangi masuk madrasah. Selain itu Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswa ke Eropa untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi langsung dari sumber pengembangan. Setelah mereka pulan ke tanah air, mereka banyak berpengaruh terhadap usaha-usaha pembaruan pendidikan. Dari mereka ini pula berkembangnya faham sekularisme di Turki yang kemudian diterapkan secara mantap sekarang ini.

Pola pembaruan pendidikan yang berorientasi ke Barat ini, juga nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir, yang berkuasa pad tahu 1805-1848. Muhammad Ali Pasya dalam rangka memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaruan pendidikan di Mesir, mengadakan pembaruan dengan jalan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru system pendidikan dan pengajaran Barat[287].

b.    Pola pembaruan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni

Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakekatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa-masa kejayaannya[288].

Menurut analisa mereka diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya.

Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditnggalkan dan menerima ajaran-ajaran Islam yang tidak murni lagi. Hal tersebut terjadi setelah mandeknya perkembangan filsafat Islam, di tinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah di warnai oleh pola kehidupan yang bersifat pasif. Di samping itu, dengan mandeknya perkembangan fiqih yang ditandai penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.

Pola pembaruan ini di rintis oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaludin al Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Jamaludin al Afghani, pemurnian ajaran agama Islam dengan kembali ke al-Qur’an dan al-Hadist dalam arti yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah sunatullah sedangkan dasar Islam adalah Wahyu Allah swt. Kedua-duanya berasal dari Allah swt. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya[289].

4.        Tokoh dan sasaran Pembaruan Pendidikan Islam

Tokoh pembaharuan pendidikan Islam bercorak modernis. Sejalan dengan pembahruan pendidikan Islam penuh dilakukan pada 3 wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani, Mesir, India[290].

a. Wilayah Turki

Pembaharuan pendidikan di dunia Islam dimulai dikerajaan Turki Usmani. Faktor yang melatar belakangi gerakan pembaharuan bermula dari kekalahan-kekalahan kerajaan Usmani dalam peperangan dengan Eropa.

Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut ialah :

1)            Sultan Ahmad III. Adanya kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani menyebabkan Sultan Ahmad III prihatin dan melakukan intropeksi, dengan melakukan pengiriman duta ke Eropa untuk mengamati perkembangan Barat. Dengan mendirikan sekolah teknik militer, mendirikan percetakan untuk mempermudah access buku pengetahuan. Upaya ini dilakukan sampai beliau wafat dan kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud II.

2)            Sultan Mahmud II. Sultan Mahmud II merupakan kelanjutan dari Sultan Ahmad III. Pembaharuan yang dilakukan dengan memperbaiki system pendidikan madrasah dengan memasukkan ilmu pengetahuan umum. Kemudian mendirikan model disekolah barat.

b. Wilayah Mesir

Tokoh yang melakukan upaya pembaharuan khususnya pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh

1)            M. Ali Pasya. Ia mendirikan kementrian pendidikan dan lembaga pendidikan, membuka sekolah teknik , kedokteran, pertambangan, mengirin siswa untuk belajar ke negri Barat. Gerakan pembaruan memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kepada umat Islam.

2)            M. Abduh. Melakukan pembaharuan pendidikan di Al-Azhar dengan memasukkan ilmu modern. Mendirikan komite perbaikan administrasi Al-Azhar tahun 1895, melaksanakan pembaruan administratif yang bermanfaat[291].

c. Wilayah India. 

Pembaharuan pendidikan Islam di India bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis dengan pendidikan sekuler.

Adapun yang menjadi tokoh pembaharuan di India[292]

Sayyid Akhmad Khan (1817 – 1898 M). Ia berpendapat bahwa peninggkatan kedudukan umat Islam di India dapat diwujudkan dengan bekerjasama dengan Inggris. Kemudian mendirikan lembaga pendidikan, sekolah Inggris mudarabbah 1864. kemudian mendirikan pula Scientific Society, mendirikan lembaga pendidikan yang di dalamnya ilmu pengetahuan umum. Itulah beberapa orang tokoh pembaharuan yang banyak mengadopsi tata cara dan pengetahuan yang datang dari Barat.

 

C.      Kesimpulan    

Pembaruan Islam bidang keagamaan dalam arti pemurnian Islam di bidang aqidah, ibadah dan akhlak merupakan cikal bakal pembaruan semua lingkup dunia Islam termasuk bidang pendidikan.  Pembaruan pendidikan Islam dilatarbelakangi oleh factor internal dan factor eksternal, umat Islam melihat ke dalam sumber wahyu banyak menyuruh untuk menggunakan logika, dengan itu digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, di samping juga Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat. Telah nampak bagaimana orang Barat yang tidak beriman kepada Allah tetapi mereka dipandang terhormat oleh orang beriman yang tidak menguasai ilmu pengetahuan. Dari itu umat Islam merasa sangat perlu sesegera mungkin mempelajari ilmu pengetahuan. Persentuhan dunia timur dengan dunia Barat Kristen telah membawa banyak perubahan dibidang kemeliteran, dan pendidikan. Kerajaan Turki Usmani banyak mengirim duta-duta mereka ke Prancis untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengundang secara khusus para pakar dibidang tertentu ke Turki untuk memberikan pelatihan di kerajaan Turki khususnya bidang pendidikan Militer.

Sedangkan di Mesir pembaruan diawali semangat Pan Islam yang dibawa Jamaludin al-Afgani, kemudian para muridnya seperti Muhammad Abduh tidak hanya berhenti dibidang politik namun untuk mengadakan perbaikan lebih jauh perlu pembaruan dari bidang pendidikan Islam. salah satu proyek pembaruan Muhammad Abduh ialah Universitas Al-Azhar yang sangat artodoks waktu itu. Walaupun banyak tantangan dari pihak Al-Azhar, tidak membuatnya surut, setelah wafat pembaruan dilajutkan oleh muridnya Rasyid Ridha.

Ada dua pola pembaruan pendidikan Islam yaitu; Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern dan pola pembaruan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.

Adapun tokoh pembaruan pendidikan Islam seperti Sultan Ahmad III,  Sultan Mahmud II melakukan pembaruan di Turki Usmani, Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh di Mesir serta Sayyid Akhmad Khan mengadakan pembaruan Pendidikan Islam di India dengan mendirikan Universitas Aligar.

 

Soal-soal latihan :

1.      Jelaskanlah Pengertian Pembaruan Pendidikan Islam

2.       Uraikanlah Latar Belakang Bangkitnya Pembaruan Pendidikan Islam

3.      JelaskanlahPola Pembaruan Pendidikan Islam

4.      Jelaskanlahtokoh dan sasaran Pembaruan Pendidikan Islam

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PERPUSTAKAAN

 

Djuhan,Widda, Sejarah Pendidikan Islam Klasik , Ponorogo : LPPI STAIN, 2010

 

Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN Malang Press, 2008

 

http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2007

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : 1986

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB X   

PENDIDIKAN PESANTREN DI NUSANTARA

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menganalisis Pendidikan Pesantren di Nusantara

Indikator 

:

1.Pengertian pengertian Pesantren

:

2.Perkembangan Pesantren di Nusatara

:

3.Tokoh pendiri Pesantren di Nusantara

 

:

4. Ilmu yang berkembang di Pesantren

 

:

5. Fasilitas dan metode pendidikan di Pesantren.

Strategi Perkuliahan

:

PresentaseMakalah, Ceramah dan Tanya Jawab

BACA JUGA:   Tempat wisata keluarga di purwokerto

Penilaian

:

Luasnya Cakupan Informasi yang disampaikan dan variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

 

100

 

A.   Pendahuluan

Institusi pendidikan Islam di Nusantra telah tumbuh dan berkembang, seiring berkembangnya penganut Islam. Pendidikan surau di Sumatera Barat, munasah di Aceh dan Pesantren di Jawa adalah yang terpenting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Ketiga institusi pendidikan Islam tersebut, telah memainkan peran yang amat penting sejak tiga abad yang lalu[293].

Walaupun begitu, bukan berarti  tidak ada pendidikan lain yang juga memberikan sumbangsih dalam menstransmisi ajaran Islam, pendidikan seperti rangkang dan langgar juga menjadi bagian yang tidak bisa dikesampingkan. Namun andil yang besar nampaknya terpancar dari ketiga institusi di atas.

Perkembangan dan pertumbuhan  Institusi pendidikan di Nusantara dimulai dari bentuk yang sangat sederhana, yang kemudian setahap demi setahap menjadi sebuah tempat pendidikan modern yang menjadi bahan perhatian para ahli pendidikan di dalam maupun luar negeri[294].   Namun dari ketiga institusi pendidikan yang tetap eksis dengan  format yang lebih modern hanyalah Pesantren, sedangkan munasah dan surau tidak terdengar lagi kiprahnya. sehingga banyak bahasan, ulasan dan penelitian dilakukan para ahli pendidikan terhadap Pesantren di Indonesia.

Untuk membahas perkembangan surau, munasah, dan pesatren memerlukan kajian yang komprehensif, karena cakupan yang luas sehingga dibutuhkan data-data serta sumber yang beragam. Maka, pada bahasan ini penulis concern membahas pendidikan Pesantren dengan sistematika penulisan: Pendahuluan, pembahasan mencakup; Pengertian Pesantren, Perkembangan Pesantren di Nusatara, Tokoh Pendidiri Pesantren, ilmu yang berkembang di Pesantren, dan Fasilitas. Metode Pendidikan di Pesantren, Kesimpulan dan essay latihan.

 

B.    Pembahasan

1.          Pengertian Pesantren

Secara bahasa, kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan pe, dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri atau murid[295]. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren tempat membina manusia menjadi orang baik[296].

Dalam pandangan Nurcholish Madjid asal usul kata “santri” bisa dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata “sastri”, sebuah bahasa Sanskerta yang berarti melek huruf. Menurut Zamkhasyari Dhofier berpendapat kata “santri” berasal dari bahasa India yang artinya orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab agama Hindu. Secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan kata “santri’ sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seorang yang selalu mengikuti ke manapun seorang guru pergi menetap[297].

Dalam pendapat lain menyebutkan, pesantren masih berakar dari kata ‘santri’, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (scholar). Jika santri menunjuk kepada murid, maka Pesantren menunjuk kepada lembaga pendidikan. Pesantren disebut juga ‘Pondok Pesantren’. Kedua sebutan tersebut sering digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama. Sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   perkataan ‘pondok’ dan ‘pesantren’ dengan maksud yang sama, yaitu “asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji”. Pendeknya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terhadap unsure-unsur ‘kiai’ (pemilik), ‘santri’ (murid), ‘masjid’ atau ‘mushalla’ (tempat belajar), asrama (penginapan santri), dan ‘kitab-kitab klasik Islam (bahan pelajaran)[298].

 

2.        Perkembangan Pesantren di Nusantara

Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa Pondok Pesantren adalah bentuk lembaga tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya Pesantren atau Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri dan pedapat kedua mengatakan sistem pendidikan model Pondok Pesantren adalah asli Indonesia[299].

Dalam pendapat pertama ada dua versi, ada yang berpendapat Pondok Pesantren berawal sejak zaman Nabi masih hidup. Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi melakukan dakwah sembunyi-sembunyi dengan peserta sekelompok orang, dilakukan di rumah-rumah, seperti yang tercatat dalam sejarah, salah satunya rumah Aram bin Abi Arqam. Versi kedua menyebutkan Pondok Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tepat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid tertentu[300].

Pemimpin tarekat disebut kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan kegiatan ibadah di bawah bimbingan kyai. untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri-kanan masjid[301].

Tempat kedua mengatakan, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya ialah pengambil-alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantra. Hal ini didasarkan pada fakta jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga Pondok Pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain yang menunjukan Pondok Pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga Pondok Pesantren di Negara-negara Islam lainya[302].

Fakta di atas sebagaimana dikuatkan oleh Zamakhsyari Dhofier (dalam Ahidul Asror) bahwa rekontruksi masa awal pembangunan tradisi pesantren terjadi antara abad ke 11 dan ke 14. Masa itu merupakan masa transisi dari peradaban Hindhu Budha Majapahit ke masa periode pembangunan peradaban Melayu Nusantara[303].

Pembangunan tradisi pesantren (sebelum Islam) pengajaran agama Hindhu dan Bundha telah berlangsung, mulai dari beralihnya masyarakat dari Hindhu ke Budha dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dan berpindah lagi ke Islam setelah gelombang Islam menguat di Asia Tenggara, tanpa pertumpahan darah atau dengan jalan damai. Proses peralihan demi peralihan yang damai itu menggunakan pendekatan penjaran Pondok Pesantren yang damai dan toleran. Di samping telah terjalinnya relasi positif antara ajaran Islam dengan kultur lokal. Kultur lokal yang dimaksud ialah dengan pendekatan bercorak Pondok Pesantren yang damai biasa digunakan zaman Hindhu dan Budha di Nusantara dalam menstransmisi ajaran-ajarannya. 

Lebih jauh Pondok Pesantren di Indonesia diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, tasawuf dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam  yaitu Pondok Pesantren[304]. 

3. Tokoh Pendiri Pesantren

       Pondok pesantren yang berkonotasi Islam an sich, adalah lekat dengan masyarakat luas. Memang nuansa yang muncul dari kata Pondok Pesantren ialah pengajaran rumpun-rumpun ilmu agama yang diajarkan para ulama (kyai) yang mempunyai ilmu agama yang dalam. Di samping itu, alumni-alumninya juga bakal menjadi ulama dengan kemampuan turunan seperti ulama (kyai) di mana ia belajar.

       Walaupun dalam kajian asal usul pesantren itu sendiri masih belum satu, yaitu apakah Pondok Pesantren murni dikembangkan dari rahim Islam di Indonesia atau memang Islam telah melakukan islamisasi terhadap lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Islam datang di Nusantara. Untuk pertanyaan pertama penulis masih kekurangan data-data pasti tentang itu dan belum bisa mengungkapkan siapa orang pertama yang mendirikan lembaga tersebut walaupun faktanya di tempat lain di Asia Tengggara tidak temukan lembaga sejenis. Seperti di Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunai penyebaran Islam hampir bersamaan berkembang dengan Indonesia namun yang ada di negeri-negeri tersebut adalah sejenis Madrasah atau pondok atau funduk[305].   Namun untuk pertanyaan kedua jelas bahwa Pondok Pesantren diketahui keberadaan abad ke 16 bahkan menurut sumber lain Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai abad ke 15. Tokoh yang pertama kali mendirikan Pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (w.1419 M) yang berasal dari Gujarat. India, sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa[306].

       Maulana Malik Ibrahim dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan Pesantren sebagai transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang dikembangkan oleh Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo[307] yang dikenal di Jawa.  Salah seorang Walisongo yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan Pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya tahun 1619 M. Selanjutnya, Sunan Ampel mendirikan Pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur saa itu. Pada tahap selanjutnya, berdiri Pesantren baru di berbagai tempat, seperti Sunan Gunung Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, dan Raden Fatah di Dema, Jawa Tengah[308].

       Selain di Jawa kita mengenal perkembangan Pesantren era awal Islam di Nusantara, ternyata perkembangan Islam melalui Pesantren yang diperkenalkan oleh syekh Arsyad al Banjari di Martapura (Ibu Kota Kesultanan Banjar) dengan meminta sebidang tanah kepada sultan Tahmid Allah (1187-1223 H/1778-1808 M), tepatnya beberapa tahun setelah sekembalinya dari Makkah al Mukarramah untuk mendalami ilmu agama dan ilmu falak. Permintaan sebidang tanah dikabulkan sultan dengan memberikan sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar di luar Ibu Kota Kesultanan Banjar[309]. 

       Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah-rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Semenjak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri yang datang dari berbagai pelosok daerah. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, di luar Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar menagajar para santri; tenang, damai, akrab dan belum terkontaminasi dengan budaya-budaya perkotaan. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, selain berfungsi sebagai pusat keagamaan juga pusat pertanian, karena di sana Syekh Arsyad bersama dengan beberapa guru dan santri mengolah tanah lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun-kebun sayuran[310].

       Pesantren yang terkenal lainnya yang didirikan Mbah Kiyai Muqoyyim di daerah Buntet Cirebon, sekitar 12 km dari pusat keraton Kenoman. Pesantren ini didirikan untuk melawan penjajah Belanda yang mengusai kerajaan Cirebon. Muridnya yang terkenal ialah Pengeran Muhammad Chaeruddin salah seorang pewaris tahta Kenoman yang tidak setuju dengan sikap tunduk keraton kepada Belanda[311]. Mengingat jasa-jasa pesantren yang besar sebagai benteng terakhir umat Islam dalam menyerukan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada zaman penjajahan, patutlah pemerintah memperhatikan dan memelihara eksistensinya, sehingga para pejuang terus hadir dan lahir untuk bisa mengisi kemerdekaan ini dengan sebaiknya.

       Pesantren selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam tok, juga dikenal dengan konotasi jadul dengan fasilitas, dan metode pengajaran yang bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman, namun walaupun begitu dengan keterbatasannya telah banyak melahirkan para pejuang-pejuang yang ikhlas menjadi syuhada demi kemerdekaan Indonesia dan menegakkan kalimat syahadat.

       Seseuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka, telah banyak perubahan-perubahan dalam dunia Pesantren . Telah banyak Pesantren yang menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, walaupun masih ada juga Pesantren yang dianggap konservatif dengan tetap bertahan dengan pola lamanya[312].

       Pesantren yang berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang dianggap modern seperti yang didirikan oleh Imam az-Zarkasy yaitu Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, Pesantren Tebu-Ireng yang didirikan kakek mantan presiden Indonesia Abdurahman Wahid yakni KH. Hasyim al-Asy’ary (1871-1947 M), Model dan pola Pesantren Tebuireng dapat dikatakan sebagai kiblat Pesantren dan ulama-ulama  terutama di Jawa. Hampir seluruh Pesantren terkemuka di Jawa didirikan murid-murid Kiyai Hasyim Asy’ari[313]. Pada pengalaman kebangkitan pergerakan Islam modern yang didirikan KH. Ahmad Dahlan (lahir 1868 M)[314], pada tahun 1912 di Yogyakarta, selain membangun embrio sekolah terpadu[315] KH. Ahmad Dahlan tetap memberikan perhatian kepada pendidikan Pondok Pesantren Muhammadiyah. Walaupun tidak sebanyak yang didirikan oleh orang-orang NU, Muhammadiyah hanya memiliki 57 buah Pondok Pesantren di seluruh[316]. Di samping jumlah pendidikan Muhammadiyah lebih kurang 6.684 buah di seluruh Indonesia[317].

 

4. Ilmudan Tradisi yang dikembangkan Pesantren

a. Ilmu pengetahuan yang dikebangkan di Pesantren

Pondok Pesantren mengenal Istilah kitab kuning, di samping juga dikenal “kitab klasik”. Kedua jenis kitab tersebut diajarkan kepada santri dengan disesuaikan dengan manhaj Pesantren. Pengajaran ilmu pengetahuan di Pondok Pesantren berdasarkan tipologi dari Pondok Pesantren itu sendiri. Berdasarkan penyelenggaraanya Pondok Pesantren dibedakan kepada tiga tipologi yaitu; Pondok Pesantren Salafiyah, Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah), Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi. 

Pondok Pesantren Salafiyah atau bisa dimaknai dari kata “salaf” yang berarti “lama”, dahulu, atau “tradisional”. Pondok Pesantren  Salafiyah bercorak tradisional dengan mengajaran ilmu-ilmu agama an sich.Ilmu-ilmu agama Islam yang diajarkan dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi beradasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Demikian seterusnya, contoh kitab untuk tingkat dasar seperti; kitab Tauhid ( al-Jawahr al Kalamiyyah) sedangkan untuk tingkatan pertama kitab tauhid yang diajarkan; Aqidah al Awwam, tingkat menengah;  Tuhfah al Murid, tingkat tinggi; Fath al Majid[318].

Pondok pesantren al Khalafiyah (‘Ashriyah) yang dimaknai dari kata “Khalaf” yaitu “belakangan”, “kemudian” berarti “sekarang”, atau “modern”. Pondok Pesantren Khalafiyah adalah Pondok Pesantren yang penyelenggaraan kegiatan pendidkan dengan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal, baik madrsah (MI, MTs, MA atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, SMU/A dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal[319].

Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi yaitu kombinasi model Pondok Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah di atas. Di samping itu, ada juga tipolagi Pondok Pesantren berdasarkan konsentrasi ilmu-ilmu agama yang diajarkan. Di sini dikenal dengan Pondok Pesantren al-Qur’an, melalui qira’ah sampai tahfiz. Ada Pesantren Hadist, yang lebih berkonsentrasi pada pengajaran Hadist. Ada Pesantren fiqih, Pesantren Ushul Fiqh, Pesantren Tasawuf dan sebagainya.

Pondok Pesantren dengan ciri atau tipologi di atas, semuanya memakai sistem “ngaji kitab”, itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu identitas Pondok Pesantren. tanpa penyelenggaraan pengajian kitab klasik, agak janggal disebut sebagai Pondok Pesantren. Selain kajian kitab-kitab kuning standar Pondok Pesantren, masih banyak lagi kajian kitab-kitab lain yang sifatnya pendalaman, seperti dalam bidang tafsir; Ma’ani al-Qur’an, al Basith, al Bahal al muhith, ahkam al Qur’an, Lubab al Nuqul fi asbab nuzul al Qur’an, Jami’ al ahkam al Qur’an, Burhan fi ‘Ulum al Qur’an dan I’jaz al Qur’an. Bidang hadist; al Muwatha’, Sunan al-Turmuzi, Sunan Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Majah, al Musnad, al-Targhib wa al Tarhib dan sulubu al salam. Kajian bidang fiqih; al Syarh al Kabir, al Umm, al Risalah, al Muhalla, Fiqih al Sunnah, Min Taujihah al Islam, al Fatawa, al Mughni li ibnu Qudamah, al Islam Aqidah wa syariah danZaad al Mad[320].

Dari uraian di atas jelas bahwa konten ilmu pengetahuan yang diajarkan atau dikembangkan di Pesantren bersifat Islam tok (tempat tafaquf fiddin), kecuali Pesantren Khalafiyah As’ary yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan Madrasah seperti yang dirancang pemerintah dan swasta lainya, dengan mengkombinasikan pengajaran ilmu-ilmu dunia/umum dengan ilmu-ilmu agama.

b. Tradisi yang dikembangkan di Pesantren

Kata “tradisi” berasal dari kata Inggris “tradition” yang bermakna kebiasaan, kepercayaan, adat, ajaran dan sebagainya yang diturunkan dari nenek moyang atau leluhur kepada cucu dan terus ke bawahnya. Kata adat di berasal dari bahasa Arab, jamaknya ‘Awaid  yang artinya kebiasaan (habit), wont (kebisaan), custom (adat), usage (pemakaian), practice (amalan). Selanjutnya, menjadi ‘adatan yang bersinonim usually (yang sudah dibiasakan), customarily (adat kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan), dan habitually (yang dilakukan karena kebiasaan)[321].

Pengertian tradisi ini selanjutnya dekat dengan pengertian culture, yakni kesopan dan kebudayaan. dan kebudayaan itu sendiri berarti nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai unggul dan baik, yang selanjutnya dipahami, dihayati, dan diamalkan, serta digunakan sebagai framework (system kerja akal) atau alat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisipilinan, kemandirian, kerja keras, gotong royong, kekeluargaan, saling menghormati, menghargai perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan dekat kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari[322].     

       Dengan demikian, dapat diketahui tradisi adalah adat kebiasaan yang sudah dilakukan karena kebiasaan yang dipakai menjadi amalan yang diturunkan dari nenek moyang atau leluhur kepada cucu dan sampai seterusnya. Pada konteks ini, Pesantren yang menjadi tempatdissemination of the tradition for students (penyemaian kebiasaan kepada para santri), di mana pembiasaan yang ditanamkan telah berlangsung secara adat kebiasaan terhadap para santri yang belajar oleh para kyai, guru atau pendidik di sebuah Pesantren tertentu.

       Dalam hal ini, seperti yang jelaskan oleh Abuddin Nata, setidaknya ada sembilan bentuk tradisi yang ada di Pesantren yaitu: rihlah ilmiyah, meneliti, menulis buku, membaca kitab kuning, mengamalkan thariqat, menulis buku, penghapal, berpolitik dan tradisi yang bersifat social keagamaan lainnya[323].

1). Rihlah Ilmiyah

Secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. secara bahasa dipahami, melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu Negara ke Negara lain, baik dekat maupun jauh, dan terkadang bermukim dalam waktu cukup lama, bahkan tidak kembali ke daerah asal, dengan tujuan utama mencari, menimba, memperdalam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab[324].

Cacatan sejarah Indonesia, tentang adanya para ulama Indonesia yang melakukan rihlah ilmiyah dari Indonesia ke Makkah, Mesir dan beberapa Negara di dunia dalam waktu yang cukup lama yang digunakan bukan hanya menuntut ilmu, melainkan juga mengajarkan, dan mengembangkannya dalam bentuk menulis buku. Mereka itu antara lain: Nawawi al Batani (1813/1897). Mahfudz al Tirmasi (1338 H/1919 M), Khalil Bangkalan (1819-1925), K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959)[325], Arsyad al Banjari (1122 H/1710-1227 H/1812 M), Sekh Muhammad Nafis al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812 M) atau (1160 H/1745 M)[326], Sekh Kemas Fakr al Din (1133-1177 H/1719-1763 M)[327], Sekh Abdul Samad al Palimbani ( w.1203 H/1789 M)[328], Sekh Yusuf al Makassari (lahir 08 Syawal 1036 H/3 Juli 1626 M)[329] dan lainnya.

2) Tradisi menulis buku

Menulis buku adalah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiyai pesantren. Sebagai contoh Nawawi al-Bantani menulis lebih dari 100 judul kitab yang terbagi ke dalam 9 ilmu agama, yaitu tafsir, fiqh, ushul al din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa Arab, hadis dam akhlak[330].

3) Tradisi Meneliti

       Dilihat dari sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali, dan irfani. Penelitian bayai adalah yang berkaitan dengan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan berbekal penguasaan bahasa Arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu Hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu qawaid al fiqiyah dan lainya. Hasil dari penelitian burhani ini menghasikan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, kalam, tasawuf, dan sebagainya. Penelitian burhani juga menghasilkan ilmu-ilmu social : ekonomi, politik, budaya, pendidikan, hukum, dan lainnya[331].

4) Membaca kitab kuning

Membaca kitab kuning menjadi kegiatan standar di Pesantren-Pesantren, sebab membaca kitab kuning merupakan cirri khas yang lekat dengan Pondok Pesantren. Kitab kuning karangan Nawawi al-Batani dan Mahfuz al-Tirmasi manjadi rujukan utama di Pesantren-Pesantren Jawa. Dengan membaca kitab kuning ini, para kiyai Pesantren telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaa masyarakat pada umumnya[332]. 

5) Tradisi berbahasa Arab

            Berbahasa Arab menjadi kebiasaan dipergunakan di pesantren, baik di kalangan para kiyai maupun di kalangan para santri. Pembiasaan berbahasa Arab di Pesantren dapat dikatakan karena pengaruh psikologis para kiyai yang biasa hidup di lingkungan berbahasa Arab di waktu menuntut ilmu di Timur Tengah, ditambah dengan sumber-sumber ilmu yang diajarkan, diteliti dan diekembangkan di Pesantren menggunakan bahasa Arab[333].

Banyak ulama Pesantren yang mengarang kitab-kitabnya dengan berbahasa Arab, walaupun minimal dengan Arab Melayu, bukan latin. Kebiasaan itu menunjukan kelekatannya dengan bahasa Arab tersebut. Tentunya, penggunaan bahasa Arab di kalangan para santri sangat penting untuk mendukung kemampuan mereka menggali ilmu-ilmu pengetahuan yang bersumber dari tulisan Bahasa Arab.

Apalagi saat ini, kebutuhan penguasaan bahasa Arab begitu sangat mutlak bagi para ulama, cendikiawan dan ilmuan. Untuk melanjutkan studi ke luar negeri, setiap calon mahasiswa harus menguasai kemampuan satu dari dua bahasa yaitu; Arab dan Inggris. Pondok Pesantren Gontor Ponorogo umpamanya, menerapkan kebiasaan berbahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari. Katika penulis ada tugas promosi kampus ke Pesantren Modern Parabek Bukit Tinggi, terpampang, sebuah tulisan di depan kantor kepala Pesantren, yang maksudnya lebih kurang: “Tidak melayani kecuali dengan bahasa Arab dan Inggris”. Tradisi berbahasa dalam hal ini, berbahasa Arab menjadi ciri khas Pesantren. Alumni Pesantren secara serta merta dianggap telah mempunyai kemampuan berbahasa Arab ketika ia kembali ke masyarakat.

6) Tradisi mengamalkan Thariqah

Mengamalkan thariqah sebagian besar menjadi kebiasaan para ulama/kiyai/para santri di Pesantren. Mengamalkan thariqah berarti bertasawuf untuk membersihkan aspek inti dari dimens ruhayiah manusia.

       Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf di Pesantren dalam bentuk thariqah di buktikan peneliti seperti Abdurrahman Mas’ud yang mengatakan: sebaaimana Ahmad Khatib as-Sambas (w. 1878M), Nawawi adalah penganut sufisme ala al-Ghazali[334].

7) Tradisi menghafal

       Menghafal merupakan salah satu metode yang sangat penting dilakukan di Pesantren. Mengahapal dipergunakan untuk mengusai mata pelajaran pokok. Salah satu kitab yang wajib di hafal adalah matan Alfiyah ibnu Malik yang berjumlah 1000 bait yang dihafal pada saat sebelum melaksanakan shalat lima waktu, secara bersama-sama. Kitab-kitab wajib lainya, yaitu; Matan Imriti, Matan Jurumiyah (keduannya gramatika bahasa Arab), MatanFathul Qarib Zabad (masing-masing kitab fikih dan akhlak), Matan Tankil al Qoul dan Matan Hadis Arba’in al Nawawiyah dalam bidang Hadis. Kemudian yang tidak ketinggalan menghafal al-Qur’an 30 Juz secara bertahap[335].  

8) Tradisi berpolitik

       Pesantren selain sebagai gudang ilmu pengetahuan agama teoritis juga prakteknya. Dalam kontek penjewantahannya terus merember ke aspek dunia yang luas, persoalan keagamaan juga mencakup semua dimensi kehidupan manusia, termasuk politik. Nampaknya Islam telah memberikan prinsip dalam menjalankan agenda politik yang humanis dan Islami. Kegiatan politik dipandang oleh para kiyai dan santri di pesantren tidak lahan yang terpisah tetapi satu sama lain saling melengkapi. Politik bergunan untuk menegakkan posisi umat Islam terhadap umat lain, sekaligus memudakah agenda dakwah risalah Islamiyah di seantoro dunia.

Kristaliasi pemahaman yang satu antara Islam dan politik oleh para kiyai atau santri di Pesantren bisa lihat dengan lahirnya Nahdhatul Ulama (NU) pada 1926 M, yang kemudian pada tahun 1970 an menjadi salah satu partai politik peserta pemilu.

Munculnya paham nasionalisme yang berbasis agama juga kombinasi pemahaman nasionalisme sekuler dengan pemahaman keislaman, tentu saja dengan memasukan dimenasi agama ke dalam kerangka pemikiran nasionalisme sekuler yang berkembang waktu itu. Munculnya ide paham nasionalisme yang berbasis  keagamaan digagas oleh K.H Yasri Marzuki asal Situbondo[336].

Seperti yang diungkap di atas, kebiasaan berpolitik tidak bisa dijauhkan dari kebiasaan berpolitik para penghuni pesantren. Sebab politik merupakan salah satu jalan, strategi atau taktik untuk memmuluskan perjalan dakwah Islam. Kalau berpolitik bisa menggapai tempat yang strategis di pemerintahan atau kekuasaan, maka pekerjaan itu harus dilakukan, dengan memagang kendali di pusaran kekuasaan maka proses dakwah akan semakin mudah dilakukan. Sebaliknya, ketika pusaran kekuasaan dikuasai oleh orang yang tidak menyukai perkembangan Islam, maka pertumbahan Islam bisa meredup bahkan akan hilang ditelan kekuasaan yang berkuasa.

9) Tradisi lainnya

       Kebiasaan lain yang diamalkan di Pesantren yang bersifat sosial keagamaan di antaranya; tradisi berpoligami untuk memperbanyak keturunan agar lebih banyak lagi, berziarah kubur, tradisi haulan, tradisi bersilaturahim dengan sesama para santri[337]. Kebiasaan-kebiasaan tersebut diamalkan sebagai tradisi sosial keagamaan, bersifat social berdimensi agama.

 

5. Fasilitas, Metode Pendidikan Pesantren

       a. Fasilitas pesantren

Fasilitas yang disediakan pesantren untuk menjalankan proses pendidikan dan pengajaran, bisa dilihat dari model bagunan fisik Pesantren yang ada. Tidak sama fasilitas antara Pesantren yang satu dengan yang lain, setidaknya ada lima pola model bangunan fisik Pesantren yang ada di Indonesia yaitu[338]:

 

 

 

 

 

Pola

Bagian-bagian bangunan

Keterangan

I

Masjid, Rumah kiyai

Pesantren masih bersifat sederhana, di mana kiyai menggunakan Masjid, atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pola ini santri hanya datang dari daerah pesantren itu sendiri, namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontinu dan sistematis. Metode pengajaran : Wetonan dan Sorogan.

II

Masjid, Rumah Kiyai dan Pondok

Dalam pola ini pondok telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah. Metode pengajaran (wetonan) dan(sorogan)

III

Masjid, Rumah kiyai, Pondok dan Madrasah

Dalam pola ini telah memakai system klasikal, di mana santri yang mondok mendapat pendidikan di Madrasah. Adakalanya murid Madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Di samping system klasikal juga pengajaran system wetonan dilakukan juga oleh kiyai

IV

Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah, dan Tempat Keterampilan

Dalam pola ini di samping memiliki Madrasah juga memiliki tempat-tempat keterampilan. Misalnya: Peternakan, pertanian, kerajinan rakyat, toko koperasi dan sebagainya

V

Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah, dan Tempat Keterampilan, Universitas, Gedung Pertemuan, tempat Olahraga, Sekolah umum

Dalam pola ini Pesantren yang sudaj berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren seperti ini telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, rook, rumah, penginapan tamu, ruang operation room, dan sebagainya. Dis samping itu pesantren ini mengelola SMA dan sekolah kejuruan lainnya.

 

Dari tabel di atas dapat dilihat fasilitas-fasilitas yang ada di pesantren di Indonesia, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat memadai. Pergeseran paradigma pengelola pesantren terhadap perubahan zaman yang penuh persaingan, ditambah dengan berkembangnya teknologi, keterampilan leadership dan kemampuan management yang baik, adalah menjadi pemicu pondok pesantren berani berbenah menjadi lebih baik. Apalagi masuknya hantaman globalisasi, dengan nuansa pemikiran serba materialisme-pragmatisme, memaksa Pondok Pesantren harus peka melihat pergumulan yang dihadapi ummat Islam Indonesia, dengan menyediakan pendidikan alternatif tanpa menanggalkan kekhasannya.

            b. Metode Pendidikan Pengajaran Pesantren

Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan mata pelajaran ialah kitab-kitab kuning. Metode khas Pesantren yang sering digunakan ialah[339]:

1) Wetonan, yaitu suatu metode kuliah/ pengajaran di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekaliling kiyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah shalat fardhu. Di jawa metode ini disebut bandongan  sedangkan di Sumatera Barat disebut halaqah.

2) Metode Sorogan, yaitu suatu metode di mana para santri mengahadap kiyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini merupakan yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan pribadi santri/kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.

3) Metode hafalan, yaitu suatu metode di mana para santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajari.  

       Tambahan metode pengajaran pesantren lainya yaitu:

1) Metode musyawarah/Bahtsul Masa’il

       Metode musyawarah merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kiyai atau Ustadz, atau juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya para santri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya[340].

2) Metode Pengajian Pasaran

       Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiyai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji[341].

3) Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah

       Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kiyai atau ustadz[342].  

 

 

C. Kesimpulan

Pesantren di Nusantara bagi sebagian ahli mengatakan telah ada abad 16, namun sebagian lain justru telah ada saat nabi Muhammad saw mendakwahkan Islam di rumah Arqam bin Abi al Arqam. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa pesantren yang ada saat ini, adalah hasil islamisasi model pendidikan pra kedatangan Islam di Nusantara yaitu pendidikan yang digunakan oleh Hindu dan Budha. 

Perkembangan pesantren dan tokohnya di Nusatara telah mulai diperkenalkan oleh Walisongo pertama Abdul Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Syekh Arsyad al-Banjari, Mbah kiyai Muqoyim, K.H. Hasyim ‘Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Syekh Imam az-Zarkasy (pendiri pondok pesantren Ponorogo).

Ilmu yang berkembang di Pesantren di era awal hanya menfokuskan pengajaran untuk ilmu-ilmu agama an sich, baru kemudian pesantren bermetamorfosis dengan memasukan ilmu-ilmu umum untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Fasilitas pesantren dapat dilihat kepada lima pola pesantren, mulai model yang sangat sederhana sampai modern dengan fasilitas yang sangat memadai, perubahan tersebut respon positif yang diambil oleh pengelola pesantren agar tidak tertinggal dengan perkembangan dunia pendidikan di luar Pesantren. Dari kesigapan itu, pesantren telah berhasil menjadi pendidikan alternative tanpa menanggalkan identitasnya.

Metode pendidikan di Pesantren dikenal dengan wetonan, atau bandongan di Jawa dan halaqah di Sumatera Barat, Sorogan, Hafalan, Musyawarah/Bahtsul Masa’il, pengajian pasaran, dan metode demonstrasi/praktek ibadah.

Soal-soal latihan:

1.      Jelaskan pengertian pesantren,

2.      Uraikanlah perkembangan pesantren di Nusatara,

3.      Jelas Tokoh-tokoh pendiri pesantren di Nusantara,

4.      Sebutkanlah ilmu yang berkembang di pesantren,

5.      Jelaskan fasilitas dan metode pendidikan di pesantren.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Asror, Ahidul (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, STAIN Jember, 2013

 

Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Jakarta: Depag RI,  2003

 

Mastuki, el-Saha, M.Ishom (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

 

Nizar. Samsul (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007

 

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Jakarta: PT Radja Grafindo, 2012

 

——————, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Ilmu, 2012

 

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

 

Sanusi, M.,Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, Yogyakarta: Diva Press, 2013

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB XI  

PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA

 

Kompetensi Dasar

:

Mampu Menganalisis Pendidikan Madrasah di Indonesia

Indikator 

:

1.Pengertian Madrasah

:

2. Perkembangan Madrasah di Indonesia

:

3.Tokoh pendiri Madrasah di Indonesia

 

:

4. Fasilitas dan Metode pendidikan di Madrasah.

Strategi Perkuliahan

:

PresentaseMakalah, Ceramah dan Tanya Jawab

Penilaian

:

Luasnya cakupan informasi yang disampaikan dan variasi sumber informasi mengenai topik yang didiskusikan

Bobot Nilai

 

100

 

 

A.    Pendahuluan

Dinamika pendidikan Islam sedang menghadapi arus zaman yang semakin kompleks, dan dinamis. Arus gelombang zaman yang datang dapat menggulung siapa saja yang tidak bisa bertahan dan beradaptasi dengan baik. Bertahan dan beradaptasi menjadi sebuah keharusan dilakukan lembaga pendidikan Islam demi menjaga nilai-nilai normative sebagai landasan etik pendidikan Islam yang khas, di samping beradaptasi membuka diri terhadap perubahan yang datang, dengan mengambil secara selektif apa saja yang terbaik dan digunakan untuk memajukan dunia pendidikan Islam. 

Sejak masa pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di dunia Islam telah sukses dengan baik berkonstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan manusia. Dengan demikian, pendidikan Islam hanya tinggal menjemput ‘cerita kesuksesan’ tersebut dan mewujudkan kembali di zaman ini dengan semangat yang progressif. Sebuah ungkapan inspiratif mengemukakan bahwa “sejarah pasti akan berulang”. Terwujudnya kembali sebuah sejarah tidaklah mustahil, apabila semua syarat-syarat sejarah di masa lalu itu sudah terpenuhi dengan baik. Jadi bukan tidak mungkin Pendidikan Islam akan kembali berjaya dengan memberikan konstribusi besar untuk zamannya. Kita pernah mendengar pendidikan Islam seperti Kuttab, Rumah Ulama, Perpustakaan, Observatorium, Bait al-Hikmah sebagai pustaka sekaligus tempat pengembagan ilmu pengetahuan dan Madrasah Nizamiyah.

Semua lembaga pendidikan Islam tersebut berkelindan dengan zamannya dan memberikan sumbangsih yang besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan ummat manusia hingga hari ini. Walaupun ‘kembang api’ kemajuan tidak lagi digerakkan Islam dan peradabannya, namun percikan itulah yang telah memberikan inspirasi kemajuan dunia Barat melalui transformasi ilmu pengetahuan dari peradaban Spanyol Islam dan kepulauan Sisilia Italia.

Pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang saat ini tentu siap saja menjadi lokomotif penggerak ilmu pengetahuan Islam, salah satunya Madrasah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam sudah sangat familiar dalam kosakata sejarah pendidikan Islam, di antaranya Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Melalui Madrasah Nizamiyah lahir tokoh ilmuan Islam serba bisa seperti Imam al-Ghazali (w.1111), melalui lembaga tersebut bertambah teguhlah faham Islam sunni di dunia Islam dan menjadi model institusi pendidikan tinggi di dunia Barat. Menjadi harapan bersama tentunya, supaya Madrasah yang serupa kembali menjajalkan sejarahnya yang indah di bumi Indonesia ini. 

Membicarakan Madrasah di Indonesia tentunya tak luput dari harapan di atas, walaupun belum sepenuhnya terwujud namun, usaha ke arah itu  tentu saja telah dilakukan hingga hari ini.

Makalah ini terbagi kepada tiga bagian yaitu: bagian pendahuluan, bagian pembahasan; bagian ini, pembahasan akan difokuskan pada; Pengertian Madrasah, Perkembangan Madrasah di Indonsia,   Tokoh Pendiri Madrasah di Indonesia, Fasilitas dan Metode Pendidikan di Madrasah, bagian Kesimpulan dan soal-soal latihan.

 

B.     Pembahasan

1.      Pengertian Madrasah dan sejarah Madrasah di dunia Islam

Kata ‘madrasah’ berasal dari kosakata bahasa Arab, darasa, yadrusu, darsan, Madrasah, yang berarti tempat belajar. Madrasah selanjutnya menjadi lembaga pendidikan umum bercirikan khas keagamaan, sudah masuk sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang pengelolaannya berada di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia[343]. 

Sebagaimana sejarah berdirinya Pesantren dan Madrasah juga berkembang di Indonesia dari bentuknya yang sederhana, yaitu pengajian di masjid-masjid, langgar, dan surau. Berawal dari bentuknya yang sederhana ini berkembang menjadi Pesantren. persinggungan dengan sistem madrasi, model pendidikan Islam mengenal pola pendidikan Madrasah yang klasikal. Madrasah ini pada mulanya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Dalam perkembangan selajutnya, sebagian Madrasah diberikan mata pelajaran umum, dan sebagian lainnya tetap mengkhususkan diri pada pengajaran ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pada tahap perkembangan selanjutnya Madrasah yang mencukupkan diri untuk pengajaran bahasa ilmu-ilmu agama dan Arab disebut madrasah Diniyah[344], sedangkan Madrasah yang telah mengintegrasikan mata pelajaran ilmu-ilmu agama dan umum disebut Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah. Madrasah Tsanwiyah dan ‘Aliyah ini di samping dikelola oleh pemerintah juga dikelola masyarakat. 

Secara historis munculnya Madrasah di dunia Islam sudah mulai sejak zaman dinasti Abbasiyah di Bagdad. Sebagaimana yang diungkapkan Abuddin Nata bahwa Madrasah di masa klasik dapat disebut lembaga pendidikan keagamaan menengah dan agak tinggi yang secara khusus mengajarkan ilmu-ilmu agama yang beradasarkan paham atau aliran tertentu (sunni)[345].

Untuk menyebarkan faham keagamaan sunni di masa Abbasiyah maka mendorong pertumbuhan Madrasah secara terorganisir dan terlembagakan. Sebelum adanya Madrasah, pusat transmisi pengetahuan dilangsungkan di seputar masjid dan rumah guru dalam bentuk;halaqah, majlis al-tadris, dan kuttab[346].

Menurut sejarawan Taqi al-Din al-Fasi al-Makki al-Maliki (775-832 H/1373-1428 M), selain Madrasah Nizamiyah di Bagdad, Madrasah pertama di Makkah adalah Madrasah al-Ursufiyah yang dirikan pada 571H/1175 M oleh ‘Afif Allah Muhammad al-Ursufi (w.595 H/1196 M) di dekat Pintu Umrah, bagian selatan Masjid al-Haram. Sedangkan di Madinah, jumlah Madrasah tidak sebanyak di Makkah. Al-Fasi mengungkapkan bahwa Sultan Ghiyats al-Din (A’zham Syah dari Bengal) mendirikan sebuah Madrasah di Madinah yang dibangun hampir bersamaan dengan Madrasah Makkah, yang terletak di dekat kawasan Bab al- Salam, Masjid Nabawi. Al-Sakhawi juga menyebutkan beberapa Madrasah lain di Madinah, yakni Madrasah Qa’it Bey, al-Basithiyah, al-Zamaniyah, al-Sanjariyah, al-Syahabiyah, dan al-Mazhariyah[347].

Keterkaitan pertumbuhan dan perkembangan Madrasah di dunia Islam (Timur Tengah) dengan di Indonesia bisa dilihat dengan banyaknya petualang intelektual Indonesia di masa lalu menuntut ilmu ke Timur Tengah, dengan pengalaman mereka belajar di sana setelah sekembalinya ke Indonesia mereka mendirikan lembaga yang serupa untuk mengajar Islam ke masyarakat di mana mereka tinggal.  Selain itu, menurut Martin van Bruinessen (dalam Mastuki, M.Ishom el-Saha) menjelaskan, pada tahun 1874 seorang wanita India bernama Shaulah al-Nisa membiayai pembangunan sebuah Madrasah di Makkah dan mewakafkan tanah untuk memeliharanya. Madrasah itu diberi nama Shaulatiyyah. Madrasah ini menjadi bagian gerakan reformis pendidikan Islam di India. Madrasah ini dianggap modern karena adanya kelas, mata pelajaran tetap dan ujian reguler.  Pada Madrasah ini lebih 100 orang Indonesia yang belajar, di samping, orang-orang Indonesia mempuyai Madrasah sendiri yang bernama Dar al-‘Ulum al Diniyah, setelah terjadi konflik penggunaan bahasa Indonesia di Madrasah Shaulatiyah. Muhsin al-Musawwa, seorang sayyid kelahiran Palembang, yang menjadi Rektor yang pertama[348].

Dari pengalaman pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah tentunya tidak sulit untuk melacak dari mana asal usul pendidikan madrasah di Indonesia kemudian. 

 

2.      Perkembangan Madrasah di Indonsia 

Selain pengalaman belajar orang Indonesia di Timur Tengah dalam mengelola pendidikan Madrasah di Indonesia, juga sebagai respon, bahkan upaya tandingan terhadap pendidikan modern yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dalam bidang pendidikan dan lainnya sangat diskriminatif[349].

Belanda hanya memberikan pendidikan yang bermutu kepada bangasanya, dan sebagian kecil untuk orang Indonesia yang menjadi kaki tangannya. Madrasah lahir di Indonesia selain respon spontan juga sebagai upaya untuk memberikan pendidikan yang unggul kepada ummat Islam pada khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya. Hal ini, misalnya dapat dilihat pada Madrasah Adabiyah School yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada 1897 di Padang Sumatera Barat. Sebagai pendidikan umum, selain diajarkan  ilmu agama Islam, di Madrasah Adabiyah School diajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi. bahasa Belanda, bahasa Arab, dan berbagai keterampilan lainnya[350].

Selanjutnya Madras School yang didirikan di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1910, tiga tahun berikutnya terpaksa ditutup karena kekurangan tempat. Namun kemudian Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai kelanjutan Madras School tahun 1918. Madrasah lain yang telah muncul sebelum kemerdekaan antara lain; Madrasah Muhammadiyah yang berdiri di Yogyakarta tahun 1918, Arabiyah School di Ladang Laweh tahun 1981, Sumatera Thawalib tahun 1921 di Padang Panjang, Madrasah Diniyah Putri tahun 1923 di Padang Panjang, Madrasah Salafiyah tahun 1916 di Tebuireng Jombang-Jawa Timur[351].

Setelah kemerdekaan Indonesia 1945, dinamika pendidikan Islam di Negara yang baru terbentuk mengalami dinamika yang cukup berarti, terlebih setelah terbetuknya Kementrian Agama yang mulai resmi berdiri  Januari 1946. Di mana lembaga pemerintahan ini memperjuangkan pendidikan Islam secara politis, dengan dibentuknya suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan Agama[352].

Pada tanggal 27 Desember 1945 Badan Pekerja Komite Nasinal Pusat (BPKNP) mendorong untuk memberikan bantuan kepada madrasah negeri maupun swasta. Sebagaimana yang disebutkan dalam klausal BPKNP bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan dari pemerintah[353].

Pendidikan Madrasah dilembagakan sebagai model pendidikan nasional, pemerintah melalui Kementrian Agama menetapkan sistem pendidikan madrasah kepada tiga tingkatan, yaitu;

a.       Madrasah Ibtidaiyah, lama studinya 6 tahun,

b.      Madrasah Tsanawiyah Pertama, lama studinya 4 tahun,

c.       Madrasah Tsanawiyah Atas, lama studinya 4 tahun.

Perkembangan Madrasah yang cukup penting terjadi pada masa Orde Baru dengan didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk mencetak tenaga professional yang siap mengembangkan Madrasah sekaligus ahli dalam bidang keagamaan[354].  

Pada tahun 1982 keluar Surat Keputusan (SKB) 3 Menteri yang menetapkan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30 % di samping mata pelajaran umum. Sementara Madrasah mencakup tiga tingkatan, yaitu;

a.       Madrasah Ibtidaiyah, setingkat Sekolah Dasar  (SD)

b.      Madrasah Tsanawiyah, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)

c.       Madrasah Aliyah, setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)

SKB tiga Mentri di atas juga bagian langkah strategis untuk menyetarakan pendidikan Madrasah dengan pendidikan umum lainnya. Ditambah dengan keluarnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, telah menunjukan perkembangan yang luar biasa di mana pendidikan Madrasah sepenuhnya telah menjadi bagian integral sistem pendidikan Nasional Indonesia. Semua hak dan kewajiban secara penuh telah dimiliki Madrasah dengan pendidikan umum lainnya.

 Dengan pengakuan tersebut, memberikan keleluasaan kepada Madrasah untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, dinamis dan kreatif. Kerinduan kepada cita-cita kebangkitan dunia Islam melalui institusi madrasah telah menguatkan harapan bersama, bahwa panggung sejarah telah terbuka lebar kepada umat Islam untuk menjejalkan kembali kejayaan peradaban Islam melalui lembaga pendidikan Islam madrasah. Salah satu syarat akan berjayanya kembali peradaban Islam hari ini telah dalam genggaman, tergantung apakah umat Islam mampu melihat peluang yang ada serta memanfaatkannya dengan menyatukan tekad dan membulatkan semangat bekerjasama sekaligus sama-sama bekerja, bahu membahu mewujudkan tamaddun islamiyah.  

3.      Tokoh pendiri Madrasah di Indonesia

Pendidikan Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang tertua di dunia dan di Indonesia. Madrasah telah dikenal langsung oleh orang Indonesia di tempatnya muncul di Timur Tengah. Dengan pengalaman mereka dapatkan selama pendidikan di Timur Tengah memberikan pengaruh kuat kepada dinamika perkembangan pendidikan Madrasah di Indonesia.

Di Indonesia Madrasah telah muncul jauh sebelum kemerdekaan Negera Republika Indonesia. Kemunculan Madrasah didorong oleh kebutuhan yang mendesak untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada penduduk pribumi Indonesia.

Tokoh pembaharu pendidikan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan telah berupaya sekuat kemampuan mereka membangun Madrasah di daerahnya masing-masing.

Adapun tokoh pendiri madrasah di Indonesia antara lain:

a.       Syaikh Abdullah Ahmad tahun 1907 di Padang Panjang mendirikan Adabiyah School namun belum genap setahun gagal berkembang dan pindah ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah Adabiyah mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi Holland Inlandsche School (HIS)[355].

b.      Syaikh Thaib Umar tahun 1910 mendirikan Sekolah Agama (Madras School) di Sungayang Batu Sangkar. Tahun 1913 ditutup, namun pada tahun 1918 didirikan kembali oleh Mahmud Yunus[356].

c.       Zainuddin Labai El Yunusy mendirikan Diniyah School atau Madrasah Diniyah pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang[357].

d.      KH. Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1918[358]. Sampai hari ini jumlah Madrasah Muhammadiyah yang ada di Indonesia untuk tingkat Tsanawiyah sebanyak 535 buah, Madrasah Aliyah sebanyak 172 buah[359]. 

e.       Syaikh Abbas pada tahun 1918 mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas[360].

f.       Syaikh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921 mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Padang Japang, Sungayang, Batu Sangkar  dan Maninjau[361].

g.       Rangkayo Rahmah El Yunusia pada tahun 1923 mendirikan Diniyah Putri pertama untuk Indonesia di Padang Panjang[362].

h.      KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1916 mendirikan Madrasah Tebu Ireng, Jombang-Jawa Timur[363].

Tokoh di atas adalah pioner pendirian Madrasah di Indonesia, dengan jasa-jasa yang mereka lakukan itu, telah menempatkan mereka dalam landscap pahlawan Pendidikan Nasional Indonesia.

4.      Fasilitas dan Metode pendidikan di Madrasah

a.       Fasilitas Madrasah

Pendidikan Madrasah muncul sebagai tanggapan muslim Indonesia di pendudukan bangsa Belanda, di mana tipologi Madrasah sebenarnya mengikuti pola sekolah Balanda yang ada, yang kemudian dimasukan mata pelajaran agama Islam. Sebagaimana usaha yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan untuk menawarkan pengajaran agama Islam di sekolah Belanda secara door to door. Menarik untuk dilihat ketika sistem pendidikan Belanda yang meniadakan pelajaran agama di sekolah, para guru Belanda menilai pengajaran agama di sekolah suatu yang menggelikan karena bagi mereka agama bukanlah suatu kebutuhan bagi perkembangan peserta didiknya. Agama cukup urusan pribadi atau tanpa agama sekalipun, itu sudah hal yang biasa di negeri mereka Belanda. 

KH. Ahmad Dahlan berhasil dengan baik menarik minat peserta didik sekolah Belanda untuk mengikuti pelajaran Agama Islam di sekolahnya. Dalam pada itu, KH. Dahlan mendirikan sendiri Madrasah Muhammadiyah 1918 di Yoyakarta untuk menarik minat penduduk di kalangan Islam Priyayi dan Abangan di Kota Yogyakarta. Trend pendidikan ala Belanda bagi mereka (Priyayi dan Abangan) menjadi sebuah gengsi tersendiri bila bisa masuk dan belajar di dalamnya. Oleh karena itu, KH. Dahlan mendirikan sekolah model Belanda dengan mengajarkan ilmu-ilmu Islam di samping pelajaran umum. Dari model sekolah Belanda dengan memasukan pelajaran Agama Islam itu, maka disebutlah sebagai Madrasah. Sebenarnya Madrasah yang didirikan di Indonesia sebelum kemerdekaan ialah prototype pendidikan Belanda dengan segala sistemnya. Mulai sistem managemen serta pendekatan pembelajaran yang klasikal. Bedanya hanya satu, yakni madrasah sudah ‘diislamkan’ dengan masuknya muatan pembelajaran agama Islam di dalamnya.

Jadi, kalau dilihat fasilitas yang dimiliki Madrasah tentu tidak jauh beda dengan sekolah Belanda, atau mungkin jauh kalah gagah bangunannya dari sekolah Belanda. Jika dibandingkan dengan pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas tertentu mulai yang sederhana hingga yang sangat mapan, misalnya; ada rumah kiyai, masjid, asrama, sekolah, kantin dan sebagainya,   sedangkan madrasah hanya memiliki gedung belajar dan sebuah ruang musalla atau masjid untuk kegiatan ibadah. Kemudian para tenaga pendidik tidak mempunyai tempat penginapan di madrasah itu, tetapi mereka pulang ke rumah masing-masing, sebagaimana juga halnya para peserta didiknya. Untuk menambah pelajaran agama lanjutan biasa dilaksanakan pada pengajian-pengajian di langgar, masjid, surau dan muenasah  di dekat tempat tinggal peserta didik berada. Atau sekaligus para guru Madrasah menyediakan waktu di sore hingga malam memberikan tambahan pelajaran agama di rumahnya atau di tempat-tempat yang biasa dilaksanakan pengajian seperti mushalla, masjid, langgar, surau atau sebagainya. 

Atau ada juga di antara peserta didik yang belajar penuh waktu, di nama di siang hingga zuhur belajar di madrasah dan pada waktu zuhur setelah istirahat pergi mondok ke Pesantren terdekat di kampungnya hingga sore atau malam. Kegiatan seperti itu, sudah biasa dilakukan oleh sebagian peserta didik di masa lalu, sampai hari ini pun di tempat-tempat tertentu di Jawa atau di luar pulau Jawa masih eksis dilakukan. 

b.      Metode Pendidikan di Madrasah

Madrasah yang didirikan di Jawa atau di luar Sumatera, tepatnya di Ranah Minang yang terbanyak munculnya pendidikan Madrasah adalah fotokopi pendidikan Belanda, namun tentu saja dibedakan dengan hadirnya ilmu-ilmu keislaman di dalamnya. Selain itu, semuanya hampir sama, seperti proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, meja dan bangku, papan tulis, jumlah peserta didik perkelas terbatas hanya untuk beberapa peserta didik saja, sistem naik kelas, dan ujian yang dilaksanakan secara reguler.

Merujuk kepada metode yang digunakan untuk pendidikan sistem klasikal akan ditemui metode yang beragam. Tentu berbeda dengan metode pendidikan di Madrasah banyak digunakan metode yang beragam serta bervariasi, seperti; ceramah, tanya jawab, diskusi, rihlah ilmiyah, studi banding, metode seminar, demostrasi, role playing, dan masih banyak metode lainya.

Di dalam pendidikan Islam kemudian dikembangkan juga, metode seperti; tarhib wa taghib, metode kisah, metode uswah dan sebagainya.

Jadi, konteks Madrasah sesungguh memiliki perbedaan yang mendasar dibanding metode Pesantren. Akan tetapi perkembangan Madrasah hari ini telah mengalami perkembangan yang cukup berarti di mana integrasi sistem  Madrasah dan Pondok Pesantren digabungkan sekaligus sehingga munculah sekolah-sekolah seperti Pondok Modern, sekolah Islam terpadu dan sebagainya. Di satu sisi sekolah tersebut menggunakan sistem klasikal  dengan metode modern tetapi juga melaksanakan kegiatan ala pesantren dengan menggunakan metode sorrogan, wetonan dan sebagainya, di samping sekolah tersebut menggunakan fasilitas ala pesantren seperti memiliki rumah kiyai, asrama penginapan, masjid dan sebagainya.

 

C.    Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Madrasah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang memberikan porsi pendidikan Islam dan ilmu-ilmu umum secara berimbang, proses pendidikan dilaksanakan secara klasikal. Selanjutnya keberadaan madrasah di Indonesia sepenuh telah diakui serta menjadi bagian Lembaga Pendidikan Nasional yang pengelolaanya berada di bawah Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Perkembangan Madrasah di dunia Islam telah ada semenjak zaman Dinasti Abbasiyah di Bagdad, kemudian berkembang di dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia.

Perkembangan Madrasah di Indonesia dibawa oleh para pelajar yang pulang dari Timur Tengah, dengan pengalaman belajar di sana setelah kembali ke tanah air mereka terinspirasi mendirikan lembaga pendidikan yang sama untuk memberikan pendidikan yang lebih modern. Di samping itu Madrasah berdiri di Indonesia sebagai respon spontan orang-orang terpelajar Indonesia terhadap pendidikan Belanda yang hanya memberikan kesempatan pendidikan yang berkualitas kepada bangsa Belanda serta anak-anak kaki tangan Belanda saja. 

Sistem pendidikan Madrasah sepenuhnya mengikuti pola sekolah Belanda yang memakai sistem klasikal, namun kemudian diberikan sebuah ciri khas pendidikan Islam dengan memasukan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan di dalamnya.

Madrasah sebagaimana Pesantren sangat terkenal sebagai pendidikan khas Jawa, sedangkan Madrasah pada konteks lahirnya lebih khas Ranah Minang Kabau Sumatera Barat. Lembaga pendidikan Madrasah seperti cendawan tumbuh di musim hujan di Sumatera Barat, seperti di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Sungayang Batu Sangkar dan sebagainya. Akan tetapi Madrasah telah pula didirikan di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur. Kemudian tokoh pendiri Madrasah lainnya seperti; Syaikh Thaib Umar Zainuddin Labai El Yunusy Syaikh Abbas, Syaikh Abdul Karim Amrullah, dan Rangkayo Rahmah El Yunusiah.

Fasilitas dan metode pendidikan yang digunakan di Madrasah tidak jauh berbeda dengan sekolah belanda yang memiliki gedung belajar, tempat ibadah seperti mushalla atau masjid, sistem pembelajaran di madrasah dilakukan secara klasikal. Sedangkan metode pembelajaran menggunakan metode modern seperti; diskusi, Tanya jawab, seminar, demonstrasi, role playing dan sebagainnya.

Soal-soal latihan

1.      Jelaskanlah pengertian madrasah !

2.       Uraikanlah perkembangan madrasah di dunia Islam !

3.      Jelaskanlah perkembangan madrasah di Indonesia !

4.      Sebutkanlah tokoh pendiri madrasah di Indonesia !

5.      Uraikanlah fasilitas dan metode pendidikan di madrasah !

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Jakarta: Depag RI,  2003

 

Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

 

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012

 

Nizar, Samsul, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 Pergumulan Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BUKU RUJUKAN

 

Azra,Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

Amini, Ibrahim, Mengapa Nabi Diutus, Jakarta: Alhuda, 2006

 

Amin, Syamsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009

 

Amstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7

 

Asror, Ahidul (Ed), Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, STAIN Jember, 2013

 

Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011

 

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2009

 

Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Jakarta: Depag RI,  2003

 

Djuhan,Widda, Sejarah Pendidikan Islam Klasik, Ponorogo: LPPI STAIN, 2010

 

Darwis, Djamaludin,Dinamika Pendidikan Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaan. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2

 

Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indosesia (FKPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998

 

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2008 Edisi Revisi

 

Guza,  Afnil, SS, UU RI Guru dan Dosen Nomor Tahun 2005, Jakarta : AM Asa Mandiri, 2009, Cet. II

 

Khan, Muhammad Abdur Rahman, Sumbangan Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Penterjemah: Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III

 

Makbulah,Deden, Kehidupan Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah Al-Ma’mun;dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005

 

Mastuki, el-Saha, M.Ishom (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III

 

Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Penterjemah, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3

 

Nata, Abudin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa Bandung, 2003

 

—————–, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

 

——————, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan Pertengahan,Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

——————, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013

 

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

 

Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005

 

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1974

Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern,Jakarta: PM3, 1981, Cet. II

 

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 

Ramayulis, Nizar, Samsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching,  2010

 

Sidigizalba,Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet III

 

Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994,

 

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.33

 

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

 

Sanusi, M.,Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, Yogyakarta: Diva Press, 2013

 

SJ,Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN Malang Press, 2008

 

Yasien,Khalil, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, Jakarta: Gema Insani Press, 2002

 

Yatim,Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 199,1 cet. I

 

Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : 1986

 

Sumber Internet:

 

http://www.tugasku4u.com/2013/07/makalah-lembaga-pendidikan-islam.html  diunduh /2013/10/29

 

http://adarossyat.blogspot.com/2010/02/wahyu-yang-kedua.htm/2013/10/29

http://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/asep-sobirin/atsar-dakwah-dan-pendidikan-rasulullah-saw/2013/10/29

 

http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/24/metode-dakwah-rasul-489743.html/2013/10/29

 

http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html/2013/10/30

 

http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html/2013/10/31

 

http://ahmadbarokah05.blogspot.com/2012/10/pengertian-perkembangan-dan-metode.htm/2013/11/1

 

http://politik132.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-dinasti-abbasiyah.html/2013/11/1

 

http://muhammadmuslih06.blogspot.com/2013/02/pemikiran-muhammad-abduh-tentang.html/2013/11/1

 

http://16huzna.blogspot.com/2012/12/bani-mayyah.html/2013/11/1

 

http://imaduddin-syukra.blogspot.com/2011/05/para-ilmuan-muslim-dan-peran-mereka.html/2013/11/1

 

http://ratnatus.blogspot.com/2012/08/perkembangan-pendidikan-pada-masa.html/2013/11/1

 

https://www.facebook.com/KekhalifahanIslamDaulahDinastiBaniAlbasiaIndonesia/posts/215145995306564/2013/10/6

 

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/06/lkrwsg-daulah-abbasiyah-almustanshir-khalifah-pemberani/2013/10/6

 

http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa.html/2013/11/7

http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

http://penyux.wordpress.com/tag/ibnu-rusyd/2013/11/8

http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

http://jejaksejarahislam.blogspot.com/2011/04/andalusia-jejak-sejarah-islam-yang.html, diakses tanggal 25 Oktober 2011

 

http://www.darulkautsar.net/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

 

http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1]Afnil Guza, SS. UU RI Guru dan Dosen Nomor Tahun 2005, (Jakarta : AM Asa Mandiri, 2009), Cet. II, h. 30

[2]Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa Bandung, 2003), h.1-3

[3]Ibid, h. 4-6

[4]Ibrahim Amini, Mengapa Nabi Diutus, (Jakarta: Alhuda, 2006), h. 150

[5]Ibid, h.153

[6]Ibid, h.156

[7]Kaum Quraisy yang dimaksud ialah Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jashy, Usman bin Huwairits dan Zaid bin Umar.

[8]Ibrahim Amini, Op.Cit,h. 156

[9]Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 2

[10]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 10-11

[11]Ibid, h.11

[12]Ibid, h.6

[13]Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), Cet I, h.16

[14]Siti Maryam Dkk, Sejarah Peradaban Islam Masa klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), Cet, III, h. 21

[15]Ibrahim Amini, Op.Cit, h. 76

[16]Ibid, h. 149

[17]Guru Kwivalen syaikh, Ulama, Kyai, Ustadz, Buya,dll, karena aktivitas mereka tidak lepas dari menyampaikan pesan agama kepada manusia. Sabda Nabi mengatakan “Al-Ulama’u Waritsatu al-Anbiya” Artinya Para ulama adalah pewaris para Nabi, berarti juga sekaligus pengajar dan pendidik umat sepanjang sejarah Islam, tentu hingga hari ini dan akhir zaman kelak.

[18]Murid dari bahasa Arab yang sudah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia dan sudah populer dalam bahasa Inggris disebut Student juga bersinonim siswa dalam bahasa asli Indonesia

[19]Ibrahim Amini, Op.Cit, h. I54

[20]Ibid, h. 22

[21]Ibid, h. 22

[22]Siti Maryam dkk, Op.Cit, h. 23

[23]Ibid, h. 22

[24]Ibid

[25]Ibid

[26]Sabda beliau tentang orang suka membantu orang lain menunjukkan bahwa Allah juga suka membantunya dan perkataan beliau lainnya yang cukup terkenal ialah manusia yang baik itu adalah orang bermanfaat bagi orang lain.

[27]Maksud wahyu, karena kita tahu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kemudian tatkala ia telah diangkat jadi rasul. Wahyu yang diturunkan itu sesuai dengan kebutuhan kaum Quraisy saat itu. Dikatakan kurikulum dilihat dari kaca mata pendidikan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pendidik atau guru kepada para sahabatnya, dalam kitab Nilailu Author disebutkan bahwa :” Nabi mengajarkan kapada sahabat-sahabatnya ayat al-Qur’an sepuluh-sepuluh ayat” dalam tinjuan pendidikan itu disebut hidden curiculum (kurikulum tersembunyi) karena Nabi tidak pernah menuliskannya tapi hanya memberikan isyarat dari kebiasaan Nabi ketika mengajar beliau selalu melakukan hal serupa di atas

[28]Siti Maryam, Op.Cit, h. 25

[29]Ibrahim Amini, Op.Cit,h. 156-157

[30]Kemulian seseorang karena ilmu dan akhlaknya dan lebih penting lagi karena ketaqwaannya kepada Allah Swt

[31]Rasa adalah bagian ‘aqal yang dimiliki manusia lihat ayat yang menjurus ke arah sana surat Al-Mukminun ayat 80, Allah menggambarkan “Allah ia yang menghidupkan dan mematikan dan mempergantikan siang dan malam apakah kamu tidak berakal” penjelasan : hidup dan mati hanya bisa direnungkan mendalam dengan rasa yang dimiliki oleh manusia sedangkan pergantian malam dan siang bisa dicerna oleh otak manusia langsung dengan bantuan panca indra yang dimilikinya untuk mengambil pelajaran, oleh karena dalam ayat tersebut Allah mengindikasikan orang berakal itu ialah yang mempuyai rasa dan budi dengan daya fikirnya

[32]Sidigizalba,Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet, 3, h.

[33]Lihat surat al-Baqarah ayat : 73 dan 219. Di dalam ayat tersebut ketika berbicara tentang mati dan hidup ujung ayat menggunakan istilah ta’qiluun asal kata ‘aaqala dan tatkala menjelaskan tentang minum keras, judi, mengudi nasib dan seterusnya ujung ayat menggunakan kata yatafakkaruun . lihat lebih lengkap penjelasan dalam Gizalba Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama

[34]Sidigizalba,Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Op.Cit,h. 16

[35]Ibid

[36]Ibid,h. 17

[37]Ibid

[38]Siti Maryam, Op.cit, h. 24

[39]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2008 Edisi Revisi, h. 94

[40]Pepatah MinangKabau menyebutkan “Alam takambang jadi guru”

[41]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarat: PT. Ciputat Press Group, 2010), h. 77

[42]Pada ayat ke-94 berbunyi yang artinya “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”.

Ibnu Abbas berkata, “Ayat Tentang فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)’, maknanya adalah, tindak lanjuti apa yang diperintahkan kepadamu.”

Ibnu Al A’rabi berkata, “Makna اِصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ  ‘Sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),’ adalah sasarlah. Dikatakan فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),” maksudnya, pencarkan persekutuan dan kesatuan mereka dengan menyerukan kepada tauhid, sesungguhnya mereka itu terpecah-pecah dengan sebagian yang menyambut”.

Firman Allah : وَأَعْرِضْ عَنِ المُشْرِكِيْنَ “Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Tentang ayat yang mulia ini, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama :

Pertama, makna ayat ini adalah jangan pedulikan pendustaan dan olok-olok mereka serta jangan pula hal itu menyusahkanmu, sesungguhnya Allah yang menjagamu dari mereka. Jadi makna ayat menurut penakwilan ini adalah sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, yakni sampaikanlah risalah Tuhanmu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik, yakni jangan pedulikan dan takut kepada mereka. Makna ini adalah seperti halnya firman Allah :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia” (QS. Al Maidah ; 67)

Kedua, bahwa Nabi SAW pada mulanya diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik, kemudian perintah itu dihapus dengan ayat-ayat perang. Diantara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman-Nya

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” (QS. Al-An’am ; 106), dan firman-Nya

فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَانْتَظِرْ إِنَّهُمْ مُنْتَظِرُونَ

“Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu” (QS. As-Sajdah ; 30), dan firman-Nya

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا

“Maka berpalinglah (Hai Muhammad) dari orang-orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan dunia” (QS. An-Najm ; 29), dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Pada ayat ke 95 yang artinya, “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)”. Allah terangkan dalam ayat yang mulia ini, Dia memelihara Nabi-Nya dari orang-orang yang memperolok-oloknya, yaitu kaum Quraisy. Di tempat lain disebutkan kalau Allah juga menjaganya dari selain mereka, seperti firman-Nya tentang Ahli Kitab,  فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.” (QS. Al-Baqarah : 137), dan firman-Nya ألَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 36), dan ayat-ayat lainnya.                 (http://achmadalfarisi.blogspot.com/2012/09/jaminan-perlindungan-allah-terhadap_29.html/2013/11/2)

[43]http://www.tugasku4u.com/2013/07/makalah-lembaga-pendidikan-islam.html  diunduh /2013/10/29

[44]Ibid

[45]Ibid

[46]Ibid

[47]Ibid

[48]Arqam bin Abi Arqam salah seorang anggota golongan Bani Makhzum, pemimpin golongan ini yang terkenal adalah Abu Lahab.

[49]http://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/asep-sobirin/atsar-dakwah-dan-pendidikan-rasulullah-saw/2013/10/29

[50]Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia (FKAPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55

[51]Samsul Nizal, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003,12

[52]Bahwa yang berhak diibadahi ialah Allah swt

[53]Samsul Nizar, Op.Cit, h. 12

[54]Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.40 (Ahmad Syalabi mengutip keterangan ini dalam Al-Itqan Fi ulumi al-Qur’an, 2: 208)

[55]http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/24/metode-dakwah-rasul-489743.html/2013/10/29

 

[56]http://adarossyat.blogspot.com/2010/02/wahyu-yangkedua.htm/2013/10/29

[57]Samsul Nizar, Op.Cit, 2003, h. 6

[58]Bilal bin Rabbah seorang budak dari Habsyah/Eitoupia yang telah mengenal serta berasimilasi dengan kebudayaan Quraisy Makah, mulai dari sebelum Islam datang sebagai seorang budak

[59]Yang kaya sangat berkuasa, yang lemah menjadi sangat lemah posisinya karena secara materi mereka tidak bisa banyak berbuat apa-apa karena kecilnya akses kepada jaringan sumber-sumber kekayaan dari itu pengaruh mereka menjadi tidak begitu berarti. Seperti yang dijelaskan Karen Amstrong, dalam bukunya ‘Muhammad Sang Nabi’, bahwa keluarga Hasyim disaat Muhammad lahir sedang mengalami penurunan popularitas, sebelumnya klan ini sangat dihormati, disebabkan factor prestise tidak lagi pada kepahlawanan seorang pemimpin akan tetapi factor kekayaan seorang kepala suku/pemimpin. Seperti contoh Paman Nabi Abu Jahal menjadi sangat dihormati walaupun kejam dibanding Abdul Mutalib sendiri atau Abu Talib, karena mereka tidak kaya dalam klan Bani Hasyim. Atau Golongan Bani Makhzum lebih dihormati dibanding Bani Hasyim.

[60]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23

[61]Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204

[62]Ibid, h.181

[63]Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h.197

[64]Samsul Nizar, Op.Cit, h.12-13

[65]Ibid,16-17

[66]Ibid, h. 19

[67]Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144

[68]Ibid

[69]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h.  18

[70]Ahmad Syalabi, Op.Cit. h.33

[71]Ibid,h.37

[72]http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html/2013/10/30

[73]Ibid

[74]Ibid

[75]Ibid

[76]Ibid

[77]Samsul Nizar, Op,Cit,h. 67

[78]Ramayulis, Op.cit, h. 71

[79]http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html/2013/10/31

[80]Ibid

[81]Ibid

[82]Ibid

[83]Ibid

[84]http://ahmadbarokah05.blogspot.com/2012/10/pengertian-perkembangan-dan-metode.html/2013/11/1

[85]http://ahmadbarokah05.blogspot.com/2012/10/pengertian-perkembangan-dan-metode.htm/2013/11/1

[86]http://politik132.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-dinasti-abbasiyah.html/2013/11/1

[87]S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Jakarta: PM3, 1986, Cet. II,h. 9

[88]http://muhammadmuslih06.blogspot.com/2013/02/pemikiran-muhammad-abduh-tentang.html/2013/11/1

[89]http://16huzna.blogspot.com/2012/12/bani-mayyah.html/2013/11/1

[90]http://imaduddin-syukra.blogspot.com/2011/05/para-ilmuan-muslim-dan-peran-mereka.html/2013/11/1

[91]Ibid

[92]Ibid

[93]http://ratnatus.blogspot.com/2012/08/perkembangan-pendidikan-pada-masa.html/2013/11/1

[94]Ibid

[95]Ibid

[96]Ibid

[97]Samsul Nizar, Op.Cit,h. 72

[98]Ibid

[99]http://ratnatus.blogspot.com/2012/08/perkembangan-pendidikan-pada-masa.html/2013/11/1

 

[100]Ibid

[101]https://www.facebook.com/KekhalifahanIslamDaulahDinastiBaniAlbasiaIndonesia/posts/215145995306564/2013/10/6

[102]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/05/06/lkrwsg-daulah-abbasiyah-almustanshir-khalifah-pemberani/2013/10/6

[103]Siti Maryam dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III, h. 98

[104]Muhammad Abdur Rahman Khan, Sumbangan Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Perj: Drs. Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III, h. 9

[105]Ibid,h.10

[106]Ibid

[107]Ibid

[108]Ibid,h. 11

[109]Ibid,12

[110]Ibid, h.13

[111]Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h.76-77

[112]http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa.html/2013/11/7

[113]Tambahan dari penulis

[114]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Penterj, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3, h. 341

[115]Ibid,h.345

[116]http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

 

[117]http://penyux.wordpress.com/tag/ibnu-rusyd/2013/11/8

[118]Ibid

[119]Ibid

[120] Ibid

[121]Ibid

[122]Ibid

[123]Ibid

[124]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 34 

[125]Ibid, h. 35

[126] Ibid, h. 36

[127] Ibid, h.41

[128]Ibid,h. 45

[129]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 78

[130]Ibid, h. 82

[131]Ibid

[132]Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit, h. 105

[133]Ibid

[134]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Op.cit, h. 161-162

[135]Ibid,h.162

[136]Ibid, h.165

[137]Ibid, h.172

[138]Ibid, h. 173

[139]Ibid,h. 174

[140]Ibid,h. 175

[141]Ibid,h. 176

[142]Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 79

[143]Ahmad syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt, h.207-208

[144]Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 81

[145]Tambahan dari penulis

[146]http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7

 

[147]Samsul Munir Amin, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 51

[148]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h.86

[149]Ibid,h. 87

[150]Ibid

[151]Charles Michael Staton, Pendidika Tinggi Dalam Islam, Op.cit, h.29

[152]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 89

[153]Ibid

[154]Olga Pinto, The Libraries of the Arabs during the Time of the Abbasids ,  Islamic Culture 3, (1929), h. 228 

[155]Philip K Hitti, History of the Arab, (London: MacMillan Education Ltd., 1970), h. 245; lihat juga Khalil I Semaan (ed), Islam and the Medieval West of Intercultural Relations, ( Albany: State University of New York Press, 1980), h. 65 & 72

[156]M. Rekaya, “al-Ma’mun,” El 2, III, h. 331-339

[157]Franz Rosenthal,The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge, 1992), h. 3

[158]Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: University Press, 1994), h. 94

[159]Majid Fakry, A History of Islamic Philosophy, (New York and London: Columbia University Press, 1970), h. 24

[160]Hitti, History, h. 310; Charles Michael Staton, Higher Learning in Islam, the Classical Period A.D.700-1300, (New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990), h. 63

[161]W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, (Edinburg: Press, 1972), h. 32 

[162]Rosenthal, The Classical, Op.Cit, h.6-8

[163]George Sarton, A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of Greece, (Cambridge: Harvard University Press, 1952), h. 351-352

[164] Massignon and R. Arnaldez, La Science antique et Medieval, (Paris: n.p., 1957), h. 450

[165]Franz Rosenthal, The Classical, Op.cit, h. 15-17

[166] C.A. Qadir, Philosophy dan Science in the Islamic World, (London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968), h. 37

[167]Holt et al, (eds), The Cambridge, h. 438-582-781-2

[168]Stanton, Higher, Op.cit, h. 66

[169]Holt et al, (eds), The Cambridge, h. 783

[170]Sayyed Hoseein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Massachusett: University Press, 1968), h. 69

[171]Rene Taton (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, transled by A.J. Pomeran B.S.c (New York: Basic Book Inc., 1963), h. 387; lihat juga Fakhry, A History, Op.cit. h. 16  

[172]Mohsen Zakeri, ‘ Sahl b. Harun b. Rahawayh, “ El 2, III h. 839-840; lihat juga Watt, The Influence, Op.cit, h. 31

[173]On the Barmakids see D. Sourdel, “al-Barmakids” El 2, I, h. 1033-1036

[174]Hitti, History, Op.cit, h. 375; lihat juga D. Sourdel, “Bayt al-Hikmah,”E 12, h.1141; Taton, (ed.), Ancient, Op.cit, h. 409 

[175]Ibid, h. 310; lihat juga Qadir, Pilosophy, Op.cit, h. 36; Stanton, Higher, Op.cit, h. 131; George Sarton, Introduction the History of Science  from Homer to Omar Kayyam, (Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company  Baltimore, 1953), h. 557-558

[176]Holt et al. (eds.), The Cambridge, h. 748

[177]Ibid., h. 783

[178]Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, (Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962), h. 16 & 19

[179]N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989), h. 211; Sir William  cecir Dampier, A History of Science and Relations with Philosophy and Region, (Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan Company, 1942), h. 77

[180]Staton, Higher, Op.cit, h. 80-81

[181]Nasr, Science, Op.cit, h. 42-43

[182]Staton, Higher, Op.cit, h. 78

[183]D. Sourdel, “Bayt al Hikma,” El 2, h. 1141; lihat juga Goodman, “The Translation,” in Young et al. (ed.), Religion, Op.cit, h. 484

[184]Staton, Higher, Op.cit, h.132

[185]D. Gemaret, ,”Mu’tazila, El 2, VII, h. 783

[186]Fakhry, A History, Op.cit, h. 309

[187]Staton, Higher, Op.cit, h.75 ; Staton, Higher, Op.cit, h. 4-5

[188]Hamilton A.R.Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. by Stanford j. Shaw and William R.Polk, (Boston: Beacon Press, 1962), h. 70

[189]Fakhry, A History, Op. cit, h. 108-109 ;Staton, Higher, Op.cit, h. 65

[190]Sourdel, “la politique des succsesseurs d’ al-Mutawakkil,”Studia Islamica, XIII (Paris), 1960, h. 6

[191]  Rosenthal, The Classical, Op.cit, h. 4-5

[192]Bernard Lewis, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol. IV, (Cambridge University Press, 1966-67), h. 642

[193]Bahjat Kamil al Tikriti, “The Religious Policy of al-Mutawakkil ‘Ala Allah al ‘Abbasi (232-247 H/847-861 M),” M.A. Thesis, The Institut of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, July, 1969, h. 28-29

[194]Staton, Higher, Op.cit, h. 27

[195]Ibid, h. 76

[196]Bernard Lewis, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol.IV,Op,cit, h. 642

[197]Fakhry, A History, Op. cit, h. 229-235

[198]Lihat Qadir, Philosophy, Op.cit, h. 156-57

[199][199] Muhammad Taqi-ud-Din al-Hillai and Muhammad Muhsin Khan (eds.), The Noble Qur’an in the English Leanguage (Virginia, U.S.A. Saadawi Publications, 1985) h. 959-960

[200]Ibid,h. 854

[201] Rosenthal, Classical, Op.cit, h. 4

[202]Ricard Walzer, Greek into Arabic Essay on Islamic Philosophy, (Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press, 1970) h. 12-15

[203]Ibid, h. 18-23; R. Walzer, “Abu Nasr Muhammad b. Muhammad al Farabi, “El 2, II, h. 778-781

[204] Rosenthal, Classical, Op.cit, h. 6

[205]Dikutip dalam Baloch, Great, Op. cit, h. 43

[206]Ibid, h. 42-43

[207]Holt et al, (ed.), The Cambridge, Op.cit, h.747

[208]Ibid, h. 761

[209]Nasr, Science, Op.cit, h. 30

[210]Stanton, Higher, Op.cit, h. 98

[211]Hitti, History, Op.cit, h. 309

[212]Nasr, Science, Op.cit, h. 31

[213]Walzer,Greek, Op.cit, h.248-9

[214]Allama Muhammad Iqbal, The Recounstruction of Religion Thought in Islam (Lahor: n.p., 1965), h. 129; dikuitp dalam Qodir, Philosophy, Op.cit, h. 104

[215]Lihat Adam Mez, The Rainassance of Islam, Transleted by S. Khuda Bukhsh and D.S., Margoliuth, (New York: AMS Press, 1975)

[216]Qadir, Philosophy, Op. cit, h. 73

[217]Walzer, Greek, Op.cit, h. 167

[218]Holt, et al, (ed.), The Cambridge, Op.cit, h. 780-781

[219]Samsul Munir Amin, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 142

[220]Siti Maryam, dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III, h. 113

[221]Ibid,h. 109

[222]Ibid

[223]Ibid

[224]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, 132-134

 

[225]Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3, h. 362

[226]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi, h. 3

[227]Ibid

[228]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 226

[229]Ibid, h. 227

[230]Ibid

[231]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 45 

[232]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 139-140

[233]Ibid,h. 140

[234]Ahmad syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt, h. 241-242

[235]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003,h. 190

[236]Ibid

[237]Ibid,h.191

[238]Ibid

[239]Ibid

[240]Ibid                                                                     

[241]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 142

[242]Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 241

[243]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 143

[244]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Op.cit,h. 47

[245]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 132-133

[246]Ibid, h. 140

[247]Ibid

[248]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 191

[249]Djamaludin Darwis,Dinamika Pendidikan Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaanh. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2, h.10

[250]Syalabi,Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt, h.112-119

[251]Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1994, h. 47

[252]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).

[253]http://www.tarbiyah-iainantasari.ac.id/artikel_detail.cfm?judul=159. diakses tanggal 25 Oktober 2011

[254]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 23.

[255]Deden Makbuloh, dalam Sejarah Sosial Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005) h. 53

[256]Aliran yang memisahkan diri muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha’ (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. http://id.wikipedia.org/wiki/Mu%27tazilah, diakses tgl. 25 Oktober 2011

[257]Al-Mutawakkil (821-861) adalah khalifah ke-10 Bani Abbasiyah (847-861), http://id.wikipedia. org/wiki/Al-Mutawakkil, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

 

[258]http://www.scribd.com/doc/23430579/Metode-Pendidikan-Islam-Klasik, diakses pada tgl. 05 Nop. 2011.

[259]Istilah Hellenistik (berasal dari kata Héllēn, istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka) mula-mula dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen, peradaban Hellenistik adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch dan Aleksandria/Iskandariyah.

[260]Ahmad Syalabi, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1973), h. 111

[261]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan Pertengahan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 176.

[262]ibid, h. 177.

[263]Deden Makbulah, Kehidupan Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah Al-Ma’mun;dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 75

 

[264]Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) h. 49

[265]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press, 1991) cet. I, h.67.

[266]http://jejaksejarahislam.blogspot.com/2011/04/andalusia-jejak-sejarah-islam-yang.html, diakses tanggal 25 Oktober 2011

[267]Samsul Munir Amin, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 177

[268]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 73

[269]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit,h. 112

[270]Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Op.cit, 177

[271]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 144-145

[272]S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern,Jakarta: PM3, 1981, Cet. II h. 27

[273]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.h. 92

[274]Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 206.

[275]AzyumardiAzra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.h. vii

[276]Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya,op.cit, h. 77

[277]Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2010, h. 3

[278]Kitab yang menjadi salah satu rujukan terpenting kajian tasawuf ini banyak yang mengaguminya tetapi juga tidak sedikit yang memberikan keritik yang cukup tajam. Di antaranya adalah Buya Hamka yang menuturkan: ” … sebagai seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya’ musti hati-hati, karena banyak hadits yang lemah dan palsu. Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala -bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Kunjungi: http://www.darulkautsar.net/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

 

[279]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h. 163

[280]http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

[281]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 164

[282]Ibid,h. 165

[283]http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

[284]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit,h. 166

[285]http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

[286]Ibid, h. 166

[287]Zuhairini Dkk, Sejarah Pensisikan Islam, Jakarta : 1986, h. 116-120.

[288]Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN Malang Press, 2008, h. 246-247.

[289]Widda Djuhan, Sejarah Pendidikan Islam Klasik , Ponorogo : LPPI STAIN, 2010, h. 69-70

[290]http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

[291]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2007, h. 249-250

[292]http://sakban3.blogspot.com/2013/05/masa-pembaharuan-pendidikan-Islam.html/2013/11/24

[293]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Ilmu, 2012), h. 375

[294]Samsul Nizar (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007), h. 280

[295]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, (Jakarta: PT Radja Grafindo, 2012), h. 296

[296]Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, (STAIN Jember, 2013), h. 22

[297]Ibid

[298]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 75-76

[299] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  (Jakarta: Depag RI,  2003), h. 7-8

[300]Ibid

[301]Ibid

[302]Ibid

[303] Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, Op.Cit, h. 25

[304]Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h. 8

[305]Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, Op.Cit, h. 13

[306]Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2003), Seri I, h. 7-8

[307]Ibid

[308]bid

[309]Ibid,h. 104

[310] Ibid

[311]Ibid,h. 192-193

[312]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h.176

[313]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 185

[314]M. Sanusi,Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 14

[315] Sistem pendidikan yang mengintegrasikan pelajaran umum dan agama di sekolah

[316]Ibid,h. 156

[317]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 157

[318]Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h. 29

[319]Ibid,h. 30

[320]Ibid,h. 36

[321]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013), h.314

[322]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 309

[323]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 115

[324]Ibid. h. 115-116

[325]Ibid

[326]Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,Op.Cit, h. 96

[327]Ibid,h. 135

[328]Ibid,h. 139

[329]Ibid,h. 151

[330]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 317

[331]Ibid, h. 319

[332]Ibid,h. 321

[333]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 315

[334]Ibid,h. 316

[335]Ibid,h. 317

[336]Ibid

[337]Ibid, h. 319

[338]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 377-378

[339]Samsul Nizar (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 287

[340]Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h.43

[341]Ibid, h. 45

[342]Ibid,h. 47

[343] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 298

[344]Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, (Jakarta: Depag RI,  2003), h. 21-22

[345]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 298

[346]Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2003), Seri I, h. 3-4

[347]Ibid,h.4

[348]Ibid,h. 11-12

[349]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 299

[350]Ibid

[351]Samsul Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 292-293

[352]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 347

[353]Ibid

[354]Ibid,h.351

[355]Samsul Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Op.Cit, h. 292

[356]Ibid

[357]Ibid

[358]Ibid

[359]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 Pergumulan Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h. 144

[360]Samsul Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Op.Cit, h. 293

[361]Ibid

[362]Ibid

[363]Ibid

Sumber: https://www.academia.edu/8817561/Sejarah_Pendidikan_Islam_dari_masa_ke_masa

Also Read

Bagikan: