Rumah adat Bali dibangun dengan prinsip filosofi yang tinggi yang dianut oleh masyarakat Bali. Filosofi yang disebut dengan Tri Hita Karana, memiliki arti hubungan dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan dengan alam/lingkungan (Palemahan), dan hubungan antar sesama manusia (Pawongan). Konsep Tri Hita Karana sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali, sehingga setiap rumah adat Bali pasti mempunyai beberapa bangunan yang berguna untuk sembahyang, tempat beristirahat, dan juga tempat bercengkrama dengan sesama.
Rumah adat Bali memiliki nama yang dibagi berdasarkan bangunan dalam rumah tersebut. Beberapa bangunan di dalam rumah adat Bali antara lain angkul-angkul, aling-aling, pura keluarga, bale manten, bale dauh, bale sekapat, bale dangin/gede, pawaragen/paon, dan lumbung. Setiap bangunan tersebut memiliki fungsi dan arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat Bali.
Aturan asta kosala kosali digunakan dalam membangun rumah adat Bali. Aturan ini hampir sama dengan penggunaan fengshui dalam budaya Tionghoa. Hal ini menjadikan rumah adat Bali sangat unik karena terbagi menjadi beberapa bangunan yang berdiri sendiri dan diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung.
Perbedaan strata dalam pengaturan bangunan rumah tinggal tersebut sangat diperhatikan dalam hierarki yang ada. Seperti tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang rumah adat Bali ini, biasanya mengacu pada sembilan mata angin yang berpedoman dari sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali.
Bagi masyarakat Bali, arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Arsitektur dan filosofi rumah adat Bali sangat memperhatikan hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Semua unsur tersebut menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat Bali yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Rumah Adat Bali (Pinterest)
Nama Rumah Adat Bali
Berikut bagian-bagian bangun dalam rumah adat Bali.
1. Angkul-angkul
Angkul-angkul merupakan bangunan yang menyerupai gapura yang juga memiliki fungsi sebagai pintu masuk. Hal yang membedakan angkul-angkul dengan bangunan lainnya yaitu, bangunan ini memiliki atap di bagian pintu masuk.
2. Aling-Aling
Aling-Aling adalah bangunan yang dominan sebagai pembatas antara angkul-angkul dengan pekarangan dan dipercaya berfungsi menghalangi aura negatif agar tidak masuk ke pekarangan rumah.
3. Bale Manten
Di rumah adat Bali, Bale Manten memiliki bentuk bangunan persegi panjang yang terletak di sebelah utara bangunan utama serta terdapat dua ruangan, yakni bale kanan dan bale kiri.
Biasanya, rumah Bale Manten ini diperuntukan untuk kepala keluarga atau anak perempuan yang belum menikah atau masih perawan. Ini merupakan bentuk perhatian keluarga kepada anak gadis agar kesuciannya terjaga.
4. Bale Dauh
Rumah adat Bali yang pertama adalah Bale Dauh. Bangunan ini banyak ditemui di sejumlah rumah adat Bali. Bale Dauh difungsikan sebagai ruangan untuk menerima tamu. Uniknya, bangunan Bale Dauh harus memiliki ketinggian lantai yang lebih rendah dari Bale Manten yang sudah di bahas di atas.
Keunikan dari Bale Dauh ini adalah jumlah tiang yang berbeda antara satu rumah dengan rumah lainnya, serta memiliki sebutan khusus untuk jumlah tiang tersebut. Tiang berjumlah 6 disebut sakenem. Tiang berjumlah 8 adalah sakutus atau antasari, dan jika jumlah tiangnya 9 disebut sangasari.
5. Bale Sekapat
Bale Sekapat adalah bagian dalam rumah adat Bali yang berfungsi sebagai tempat bersantai seluruh anggota keluarga.
Keunikan rumah adat Bali ini adalah adanya empat buah tiang yang berfungsi sebagai penyangga dan atapnya berbentuk pelana.
Dengan adanya bangunan ini, diharapkan agar memiliki hubungan keluarga yang lebih akrab dan harmonis.
6. Bale Dangin atau Bale Gede
Bale Gede merupakan bagian rumah adat Bali yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan tempat menyajikan makanan khas bali yang digunakan untuk upacara adat. Letaknya ada di sebelah timur rumah utama dengan posisi lantai yang lebih tinggi dari Bale Manten.
Bale Gede memiliki bentuk bangunan bujur sangkar, dengan ukuran 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan dua atau tiga anak tangga kearah natah atau halaman, lantai lebih rendah dari bangunan bale daja.
Bangunan ini terdiri dari 12 tiang yang biasa disebut dengan sakaroras. Masing-masing balai-balai dibuat memanjang dengan kepala ke arah timur.
Fungsi lainnya dari rumah adat ini adalah sering digunakan sebagai tempat membuat patung atau ukiran adat bali, serta tempat merajut pakaian.
7. Pawaragen
Pawaragen atau Paon adalah dapur. Jika di Jawa ada pawon, di Bali ada paon. Dapur dalam rumah adat Bali terletak di barat laut atau selatan rumah. Paon dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian luar dan dalam. Bagian luar berguna saat hendak masak menggunakan kayu bakar, sedangkan bagian dalam berguna untuk menyimpan alat dapur dan alat makan lainnya.
8. Lumbung
Lumbung di bali mempunyai nama lain yakni jineng atau klumpu. Lumbung seperti pada umumnya berfungsi untuk menyimpan makanan seperti beras, padi, jagung ataupun makanan lain yang telah dijemur. Sedangkan, bagian bawahnya dimanfaatkan untuk menyimpan gabah yang belum sempat dijemur.
Bali tidak hanya menarik untuk dinikmati kawasan wisatanya. Namun, juga menarik diketahui seluk-beluk arti dari bagian bangunannya. Jadi, Pins telah tahu dong apa nama rumah adat Bali berdasarkan bagian dalam rumahnya? Semoga informasi yang diberikan bermanfaat ya!
9. Sanggah
Sanggah tidak lain adalah pura keluarga yang merupakan jenis rumah adat Bali yang selalu ada dalam kompleks perumahan pribadi. Fungsinya tentu saja sebagai tempat beribadah keluarga. Nah, yang perlu diperhatikan, penempatan sanggah ini harus berada di area timur laut rumah.
10. Klumpu Jineng
Model yang satu ini merupakan bangunan rumah adat Bali yang paling unik. Bentuknya seperti rumah panggung kecil dengan bagian luar dinding menggunakan jerami kering. Klumpu Jineng sendiri merupakan lumbung pangan yang difungsikan untuk menaruh gabah setelah dijemur.
Keunikan Rumah Adat Bali
Arsitektur Bali selalu punya karakteristik khusus yang membuatnya berbeda dari rumah adat Indonesia lainnya. Ini juga yang menambah eksotisme Bali yang banyak dikagumi oleh turis baik lokal maupun mancanegara.
Rumah adatnya sangat khas, arsitekturnya tidak lepas dari kemampuan masyarakat mempertahankan warisan budaya turun temurun. Budaya serta adat istiadat setempat dapat tercermin dari arsitektur rumah Bali saat ini.
Bentuknya yang unik menyimpan arti dan fungsi masing-masing, serta banyak nilai-nilai agama Hindu yang tercermin di dalamnya. Keunikannya yang jelas terlihat dari luar adalah adanya Gapura Bentar yang menjadi pintu masuk rumah.
Uniknya, Gapura Bentar memiliki ukiran serta relief yang membuatnya terlihat seperti candi. Bentuk Gapura Bentar seperti dua candi kembar yang saling berhadapan sehingga disebutlah Gapura Candi Bentar.
Dari gerbang itulah tamu dapat memasuki area bagian dalam, ada pun beberapa keunikan rumah adat Bali lainnya sebagai berikut.
- Memiliki banyak bangunan yang terpisah-pisah.
- Ukirannya memiliki banyak makna.
- Pada umumnya berbentuk persegi atau persegi panjang.
- Memiliki tiga aspek yaitu Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
- Arsitekturnya berdasarkan Asta Kosala Kosali.
- Memiliki pintu masuk yang bernama Gapura Candi Bentar.
Candi bentar (bahasa Jawa Kuno: bฤntar, terbelah) adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga.
Bangunan ini lazim disebut “gerbang terbelah”, karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit. Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan “supit urang” (“capit udang”), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, dan Pemakaman raja-raja Imogiri. Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.
Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
Rumah Gapura Candi Bentar sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang rumah-rumah adat Bali.[1] Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi yang serupa dan sebangun dan membatasi sisi kiri dan sisi kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura-gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atasnya sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di baagian dalam olehk-anak tangga yang menjadi jalan masuk. Gapura Candi Bentar dalam arsitektur Bali merupakan sebuah perwujudan bangunan yang berfungsi untuk masuk-keluar dari satu sisi ke sisi lainnya (dari luar ke dalam dan atau sebaliknya). Pada awalnya ketika arsitektur Bali masih sesuai dengan keadaan pada masa kerajaan, Gapura Candi Bentar hanya dibangun di lingkungan Puri (Istana Raja) dan Pura (tempat suci agama Hindu). Tidak ditemukan adanya Candi Bentar di perumahan masyarakat kebanyakan.
Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat di tengah-tengahnya sehingga menjadi bentukan yang simetri. Baik di puri mau pun di pura, Candi Bentarmenempati posisi di areal paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi mereka yang akan mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang mengerjaakan bangunan ini sudah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi Bentar harus tampil megah, tampil normal (akrab), kokoh dan sebagainya.
Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu Batur (di Kintamani, Bangli), atau di Pura Besakih (Karangasem), tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri kokoh, besar, tinggi atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi yang tidak rata (rendah di arah luar, dan meninggi menuju ke areal Pura yang lebih di dalam), ikut mendukung kemegahan yang terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah memperhitungkan dan menerapakan beberapa aspek estetika, dalam hal ini skala dan proporsi.
Bagi masyarakat Bali, rumah merupakan keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang pada umumnya dikelilingi oleh tembok (panyengker). Berikut ini adalah bagian-bagian dan fungsi tiap ruangan yang ada di Rumah Gapura Candi Bentar.
1. Sanggah atau pamerajan merupakan tempat suci bagi keluarga.
2. Panginjeng karang merupakan tempat memuja roh yang menjaga pekarangan.
3. Bale manten yaitu tempat tidur kepala keluarga, anak gadis, dan sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Adakalanya digunakan sebagai kamar pengantin baru.
4. Bale gede / bale adat adalah tempat upacara lingkaran hidup yang dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna.
5. Bale dauh merupakan tempat kerja, pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki.
6. ย ย ย Paon atau dapur adalah tempat memasak dan berfungsi sebagai lumbung (tempat menyimpan padi dan hasil bumi).
Rumah Adat Bali[2] dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali yang mengatur tentang tata peletakan rumah, aturan ini mungkin hamper sama dengan aturan Feng Shui dari Cina. Pembangunan rumah Adat Bali harus memiliki tiga asppek yang biasa disebut dengan โTri Hita Karanaโyakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dengan alam. Kednamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan (lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan.
Umumnya sudut utara dan sudut timur adalah tempat yang lebih disucikan sehingga di sana ditempatkan ruang-ruang yang lebih suci, sedangkan ruang barat dan sudut selatan merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya. Biasanya sudut-sudut tersebut merupakan arah masuk ke dalam rumah atau untu bangunan lainnya seperti kamar mandi.
Bahan bangunan yang dipergunakan disesuaikan dengan kemampuan pemiliknya. Masyarakat bali biasa menggunakan popolan (tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan bata. Untuk tempat suci atau tempat pemujaan, baik itu milik satu keluarga, atau kumpulan kekerabatan digunakan sesuai dengan kemampuan ekonomi pemiliknya. Misalnya: bagi yang memiliki uang lebih dapat megunakan bahan untuk atap dari ijuk, sedangkan bagi yang keuangannya terbatas diperkenankan menggunakan alang-alang atau genting.
Pada umumnya Rumah Adat Balidpenuhi dengan hiasan berupa ukiran, pahatan, serta pemberian warna. Ukiran atau pahatan yang ditempatkan pada rumah adat tersebut menambil 3 aspek kehidupan di bumi yaitu: manusia, hewan, dan tumbuhan. Ragam hias yang ditempatkan pada bagian-bagian bangunan dari jenis tumbuhan antara lain.
Mengambil pola tumbuh-tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan, bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, biasanya ditempatkan pada bidang-bidang yang luas.
Merupakan suatu pahatan dengan motof karangan yangnyeupi tumbuhan lebat dengan daun yang terurai ke bawah atau menyerupai serumpun perdu. Hiasan ini biasanya dipahatkan pada sudut sebelah atas atau karang simbar. Kekarangan ditempatkan pada sendi tiang yang disebut karang suring.
Ragam hias jenis ini ada beberapa macam, yaitu patra wangga yang merupakan hiasan kembang mekar, patra sari yang berberntuk flora dari jenis berbatang menjalar dan melingkar-lingkar, patra bun-bunan, patra pidpid, patra punggel, patra samblung, patra pae, dll.
Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan symbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juag berfungsi sebagai symbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung yang disebut pratima.
Hal-hal yang dapat dipergunakan untuk menencapai estetika melalui bentuk adalah: keterpaduan, keseimbangan, proporsi, skala, irama dan urutan. Sedangkan yang dapat dilakukan melalui ekspresi adalah: karakter, warna, gaya dan bahan. Penggunaan atau implementasi unsur -unsur estetika tersebut tidaklah harus semua diterapkan pada sebuah objek. Tergantung darikonsep perwujudan sebuah disain, elemen-elemen estetika dapat saja hanya diterapkan beberapa di antaranya.
Tidak sulit untuk mencari teori untuk mengatakan Candi Bentar ini seimbang. Candi Bentar memang sudah aslinya seimbang dan bahkan simetris sempurna. Hal ini muncul karena belahan kiri dan belahan kanan sama persis keadaannya. Di samping itu, jika Candi Bentar dibuat tidak seimbang simetri, maka sebagai sebuah sosok di titik sangat penting iniakan menjadi timpang. Selain daripada itu, Candi Bentar ini tampil untuk dilihat dari dua arah, sehingga dari arah masuk maupun keluar akan terlihat keseimbangan yang sama.
Candi Bentar ini memiliki kesatuan yang kuat, bukan karena sosoknya yang boleh disebut sebagai satu kesatuan (unit), melainkan karena pilihan bagian-bagian atau elemen candi satu sama lain saling menguatkan. Artinya bagian-bagian yang boleh disebut aksesoris candi, memiliki bentuk dasar yang serupa. Sehingga ketika digabung menjadi Candi Bentar, kesatuannya saangat kental terasa.
Melihat candi bentar ini, proporsi yang dimaksud adalah proporsi yang menyangkut keutuhan sosok Candi Bentar secara bersamaan. Bagian belahan kiri dan belahan kanan tidak dapat dilihat terpisah untuk merasakan atau menangkap proporsinya akan terkesan berbeda hasil pengamatan jika proporsinya dilihat sebagian sebagian.
Candi Bentarini dibuat dengan tujuan yang sangat erat dengan keinginan untuk menunjukkan jati diri sebagai sebuah penanda ketika akan memasuki kawasan wisata di Bali. Perwujudannya yang pertama adalah identitas lokal yang kuat. Sebagaimana sudah sering terlihat bahwa Candi Bentarmerupakan salah satu bentukan yang sangat kental ke-Baliannya.
Ruang luar di sekitar tempat berdirinya Gapura Candi Bentar ini memiliki berbagai fungsi. Salah satu di antaranya adalah menyiapkan ruang terbuka hijau. Keadaan ini akan mampu untuk menjaga keseimbangan kawasan antara yang terbangun dan terbuka, sehingga udara segar yang sangat dibutuhkanakan selalu dapat terjaga dan tersedia dengan baik.Ketersediaan ruang terbuka ini juga menjadi lebih bermanfaat dengan penanganan pertamanan yang penuh perhitungan. Vegetasi yang tersebar dan tumbuh subur, tidak hanya menyehatkan pandangan mata dan menghembuskan udara segar, tetapi juga memberikan niilai estetika secara keseluruhan. Perpaduan antara tanaman mulai dari rumput yang rata tanah, perdu yang lebih tinggi dan pohon-pohon perindang, semua itu menjadi bentukan komposisi lanskap yang estetis.
Ruang luar di sekitar Candi Bentarjuga berfungsi sebagai prasarana transportasi.Mobilitas pengunjung dengan berbagai moda transportasitidak mengurangi kesempatan orang uuntuk tetap dapat melihat kemegahan Candi Bentar. Tentu saja yang paling leluasa menikmatinya adalah mereka yang berjalan kaki. Trotoar yang lebar, diselingi dengan lampu-lampu penerangaan dan patung-patung serta tanaman pohon bunga, semuanya menambah nyamannya para pejalan kaki di sepanjang jalan, termasuk kesempatan untuk memandang Candi Bentarmenjadi lebih leluasa.
Ajisaka, Arya (2012). Budaya Nusantara 33 Provinsi. Jakarta: Wahyu Media. hlm. 15. ISBN 9797955702.
Utami, Rizky (2014). Ensiklopedia Rumah-Rumah Adat Nusantara. Bandung: CV Angkasa. hlm. 68. ISBN 9789796659845.
Pranala luarLaksono, Hendro Tri (2012). Mengenal Adat Budaya dan Tradisi Nusantara. Jakarta: Cabe Rawit. hlm. 60. ISBN 9789796106943.