Sejarah gunung wayang sukabumi

Gundana

Gunung Wayang Sukabumi adalah tempat wisata baru di Sukabumi yang menawarkan berbagai spot foto indah dengan latar belakang pegunungan. Berbagai spot tersebut menarik banyak wisatawan tidak hanya dari Sukabumi, tetapi juga dari berbagai daerah lain.

panorama alam di Gunung Wayang SukabumiFanorama kawasan Agrowisata Gunung Wayang dari jalan Bojong Genteng-Kalapa Nunggal (dok: jurnalistika)

Meskipun masih dalam tahap penyelesaian, Gunung Wayang Sukabumi sudah memiliki beberapa shelter untuk istirahat dan berbagai wahana bermain anak-anak yang sudah dapat digunakan. Fasilitas lain seperti taman jajan (foodcourt), musola, dan toilet juga sudah tersedia bagi pengunjung. Jadi, pengunjung tidak perlu khawatir akan kekurangan fasilitas saat berkunjung ke sini.

Setelah memasuki area Gunung Wayang Sukabumi, pengunjung akan disambut oleh sebuah gapura yang megah dengan gaya Bali di pintu masuk. Menariknya, meskipun gapura tersebut memiliki gaya Bali, terdapat unsur ukiran dengan nuansa khas Sunda.

“Taman Gunung Wayang menyuguhkan nuansa keindahan alam pegunungan dengan tetap menjaga keaslian kultur sosial dan nilai budaya,” ungkap Bayu, Ketua BUMDes setempat sebagai pengelola.

Lokasi dan Tiket Masuk

spot foto di taman wayangInstalasi dari pohon bambu ini kerap dijadikan wisatawan untuk spot foto (dok: jurnalistika)

Gunung Wayang berlokasi di kampung Sinagar, desa Gunung Endut, kecamatan Kalapa Nunggal, kabupaten Sukabumi. Tempat wisata yang akan fokus ke perkebunan ini mulai dibangun pada tahun 2017. Awalnya, kawasan ini dulunya merupakan perkebunan teh.

Saat ini, untuk tiket masuk Gunung Wayang Sukabumi, pengelola mematok harga sebesar Rp. 5000 untuk pengunjung dewasa. Sedangkan untuk pengunjung di bawah usia 5 tahun, gratis.

Di sini, tersedia tempat parkir yang luas dan memadai. Untuk itu, wisatawan yang datang menggunakan mobil ataupun motor tidak perlu khawatir. tarif parkirnya pun terbilang murah, sebesar Rp. 2000 untuk motor dan Rp.5000 tarif parkir mobil.

Jam Buka Taman Gunung Wayang Sukabumi

Agrowisata Gunung Wayang Sukabumi buka setiap hari mulai pukul 07.00 hingga pukul 22.00. Bahkan kabarnya, pihak pengelola tengah memperbanyak penerangan supaya pengunjung dapat menikmati suasana alam di area tersebut selama 24 jam.

Akses dan Rute ke Gunung Wayang

Sementara itu, untuk akses menuju area pun terbilang mudah, sebab lokasinya cukup dekat dengan jalan raya penghubung 3 kecamatan di Sukabumi. Parakan Salak – Kalapa Nunggal – Bojong Genteng. Selain itu, kondisi infrastruktur jalan ke area ini pun terbilang mulus.

Jika wisatawan melalui jalan Raya Bogor-Sukabumi, dari pasar Parungkuda arahkan kendaraan ke arah Parakan Salak. Kendaraan juga bisa pengunjung arahkan ke arah Bojong Genteng. Kemudian di ujung jalan yang menghubungkan tiga Kecamatan yang disebutkan di atas di situ letak Taman Wayang.

Waktu perjalanan dari pasar Parungkuda ke lokasi sekitar 30-60 menit.

Itulah informasi fasilitas, tiket masuk dan rute ke wisata Gunung Wayang Kalapa Nunggal Sukabumi. Tetap patuhi prokes, jaga kebersihan dan buanglah sampah pada tempatnya. Selamat berkunjung.

Baca berita dan informasi menarik lainnya di Google News

Liputankota – Kaki Gunung Wayang di Desa Gunung Endut, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menawarkan pemandangan alam yang memesona. Sejuknya alam membuat diri nyaman dan betah berlama-lama.

Kreatifitas para pemuda tidak bisa dilepaskan sehingga mampu memadukan panorama alam dengan konsep modern. Hamparan sawah di kaki gunung semakin menarik para wisatawan untuk menikmati Agrowisata Gunung Wayang yang selain cocok untuk rekreasi keluarga juga acara-acara lain bersama teman. Gerbang dengan paduan suasana Bali dan Sunda menambah daya tarik tersendiri.

“Saat ini dalam tahap pembangunan wahana waterboom, jadi kedepanya para pengunjung selain menikmati pemandangan dan kuliner bisa main air juga dengan air pegunungan yang jernih dan bersih,” kata Kepala Desa Gunung Endut, Selasa, 22 Februari 2022.

Selain akan dibangun waterboom, pengunjung sudah bisa menjajal flaying fox. Dengan tarif murah, pengunjung sudah dapat melayang di ketinggian sambil menikmati pemandangan alam.

“Sudah disiapkan ahli yang sudah berpengalaman untuk memberikan keamanan pada pengunjung yang ingin mencoba sensasi ketinggian,” ucapnya.

**Baca: Hujan Es dan Angin Kencang, Dahan Pohon Tumbang Timpa Kendaraan di Kawasan Industri Doosan Jaya Sukabumi

Ujil salah seorang pemuda mengakui, kehadiran Agrowisata Gunung Wayang membawa dampak positif. Lapangan pekerjaan dan usaha terbuka sehingga warga bisa mendapat rezeki dari berjualan di lokasi tersebut.

“Hal positif dan terobosan pemikiran yang berupa ide kepala desa Gunung Endut menjadikan inspirasi bagi desa-desa lain untuk menciptakan sesuatu yang bisa memberdayakan dan memberikan penghasilan bagi warga, wisata yang kini tengah gencar di gemborkan pemerintah menjadi salah satu yang sebaiknya diterapkan oleh desa yang punya potensi wisata,” katanya.(Vid/Def)

BACA JUGA:   Keindahan Wisata Alam Bandar Lampung

MEDIA PAKUAN-Setiap daerah menyimpan berbagai kisah misteri yang membuat penasaran termasuk seperti di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.

Konon di kabupaten terluas di Pulau Jawa dan Bali ini ada sebuah gunung yang banyak dihuni makhluk astral (gaib) yakni Gunung Wayang yang terletak di Kecamatan Ciracap.

Sejak beberapa abad yang lalu gunung ini tidak memiliki nama. Namun setelah masyarakat setempat mengetahui bahwa di gunung tersebut sering kali ada pertunjukan pewayangan akhirnya dinamakan Gunung Wayang.

Informasi yang dihimpun dari tokoh masyarakat setempat Muhammad Syukron. Konon katanya ditempat itu sering ada pertunjukan wayang kulit dan masyarakat percaya pertunjukan itu benar-benar asli.

Bahkan, warga kerap mendengar alunan musik pengiring pentas wayang dan suara sinden yang terdengar samar-samar.

Akhirnya mereka berbondong-bondong dari berbagai desa datang mendekati arah suara tersebut dan benar mereka menemukan keramaian di sana terlihat pertunjukan wayang kulit yang dilengkapi dengan banyaknya para pedagang disana.

Mereka membeli beberapa jajanan dan menikmatinya, tapi ada salah seorang dari mereka yang membawa makanannya ke rumah.

Kompleks petilasan yang terdiri atas dua bangunan utama dan pos penjagaan di Kampung Rasamala, Desa Pulosari, Kecamatan Kalapa Nunggal, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin(14/11/2011), ludes dibakar warga.

Warga menuding tempat itu dipakai untuk kegiatan ritual ibadah aliran kepercayaan tertentu.

Di lokasi itu ada batu bertorehkan identitas lokasi, yaitu “Petilasan Yoganing Dipantara Gunung Wayang”. Batu tersebut juga tak luput dari perusakan bersama bangunan yang dibakar.

Pilar-pilar bekas penyangga atap pendopo yang tak habis dilalap api pun dirobohkan. Api baru padam sekitar 14.30, tanpa kehadiran petugas pemadam kebakaran.

Jalan menuju tempat kejadian cukup sulit ditempuh, apalagi menggunakan mobil. Dari jalan raya, pengunjung umumnya berjalan kaki sekitar 700 meter menembus persawahan yang terlihat subur.

Morris, warga setempat, mengatakan, masyarakat khawatir wilayahnya menjadi pusat penyebaran aliran sesat. “Sejak tahun 2008, kami sudah melayangkan keberatan kepada pengelola yayasan yang memiliki bangunan ini. Namun sudah tiga kali peringatan kami tidak digubris. Akhirnya terjadilah pembakaran ini,” katanya.

Menurut dia, petilasan sering didatangi orang dari luar kampung yang terlihat asri itu. “Setiap malam minggu banyak sekali orang-orang dari luar daerah yang datang ke tempat itu. Pernah sampai dua bus penuh,” ujarnya.

Kepala Polres Sukabumi, Ajun Komisaris Besar Bagus Srigustian, mengatakan, pembakaran dipicu oleh ketidaksetujuan lokasinya dipakai sebagai tempat ritual aliran agama tertentu.

“Perizinan tempat itu adalah sebagai rumah tinggal. Mereka marah, lalu mendatangi tempat ini dan merusaknya. Tidak ada korban jiwa, hanya kerusakan bangunan. Kami akan mengumpulkan tokoh masyarakat dan tokoh agama agar masalah ini tidak berbuntut panjang,” kata Bagus.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Arca-arca yang hilang

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Saat itu hari mendung, kabut menyelimuti Gunung Wayang menambah kental aura misteri yang meliputi gunung ini. Ini kali kedua bagi saya mengunjungi Situ Cisanti, mata air Sungai Citarum yang berada di kaki Gunung Wayang. Setiap kali  Komunitas Aleut menyambangi kawasan Pangalengan, Gunung Wayang selalu jadi pusat perhatian saya. Terkadang memandang dari kejauhan gunung ini tampak bersanding dengan dua gunung lainnya yaitu Gunung Windu dan Gunung Bedil.

Dalam halaman-halaman awal buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto, terdapat sebuah foto yang memperlihatkan seorang juru kunci yang sedang duduk bersimpuh dengan takzim di depan sebuah arca begaya Polinesia. Keterangan pada foto tadi menyebutkan bahwa arca tersebut berada di Gunung Wayang.

Ketika pertama kali saya mengunjungi Situ Cisanti bersama dengan kawan-kawan pegiat Aleut di tahun 2013. Perihal arca di Gunung Wayang ini sempat saya tanyakan pada seorang juru kunci Cisanti yang mengantarkan kami. Jawabannya sangat mengecewakan. Menurutnya arca-arca di Gunung Wayang itu masih ada dan terkadang bisa dilihat namun harus dengan mata batin. “Waduh!”  kata saya dalam hati. Ini sama saja artinya arcanya sudah hilang. Sayang saya tak punya kemampuan “linuwih” yang mampu melihat dengan mata batin.

BACA JUGA:   Pantai utama raya beach situbondo

Tāmu: a New Zealand family in Java

Informasi selanjutnya mengenai arca-arca di Gunung Wayang kemudian saya temukan pada sebuah buku milik seorang kawan di Aleut. Judul bukunya “Tāmu: a New Zealand family in Java” karya Marie Gray. Sesuai dengan judulnya buku ini adalah kumpulan kisah pengalaman Keluarga Gray yang merupakan pasangan dari Selandia Baru dan bekerja memberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit “Situ Saeur”/Immanuel, Bandung pada sekitar tahun 1960-an. Selain memberikan bantuan medis, keluarga ini kerap berpesiar ke berbagai tempat wisata tak hanya di Bandung namun juga di daerah lain di Pulau Jawa.

Tentu saja yang menarik adalah pengalaman Marie Gray mendaki Gunung Wayang dan menemukan tak hanya satu tapi  enam arca tipe Polinesia di puncaknya. Saat itu sekitar tahun 1967 ketika Marie berkunjung ke Situ Cileunca dilanjutkan dengan perjalanan mendaki Gunung Wayang. Menurut Marie, ia diantar oleh seorang juru kunci Gunung Wayang. Seorang bapak tua bernama Uhi yang tinggal di Kampung Cibeureum di dekat Perkebunan Kertamanah, sekitar 15 menit dari Gunung Wayang dan Cisanti. Dalam bukunya bahkan Marie membuat sketsa arca-arca di Pucak Gunung Wayang yang disertai dengan nama dan letak lokasinya. Nama-nama arca tersebut adalah Hyang Pameget, Hyang Istri, Nyi Mas Dewi Kaja, Patih Sembah Dalem Mangku Jagat, Singa dan Patih Sembah Singa Raksa.

Arca-arca yang hilang 3

Masih menurut buku yang ditulis pasangan bidan dan dokter dari Selandia Baru ini, di Puncak Gunung Wayang terdapat sebuah gubuk/saung yang terbuat dari bambu tampat bermalam mereka yang mendaki. Namun kebanyakan dari mereka bermalam untuk melakukan semedi karena memiliki permintaan khusus. Hal ini dibuktikan pula dengan banyaknya sesaji yang berserakan di depan arca-arca di Puncak Gunung Wayang. Untuk mendaki ke puncak Gunung Wayang Marie saat itu harus membawa sesaji berupa cerutu, dawegan/kelapa muda, jeruk, pisang dan gula merah, masing-masing dua buah.Persembahan ini diperuntukan bagi penghuni arca-arca di Puncak Gunung Wayang. Menurut Gray arca-arca ini mirip patung suku Maori penduduk asli Selandia Baru. Tak mengherankan karena gugusan  Kepulauan Polinesia mencakup pula Selandia Baru.

Dengan masih diantar oleh Pak Uhi, Keluarga Gray juga mengunjungi Situ Cisanti ketika turun dari puncak Gunung Wayang.

Arca Gunung Wayang Dalam Catatan Ahli Purbakala Belanda

Di lain waktu dan kesempatan saya memperoleh dokumen hasil penerjemahan dan pengetikan ulang dari laporan ahli arkeologi Belanda, N.J. Krom yang berjudul “Rapporten Oudeheidkundige Dienst 1914”. Laporan yang berisi daftar inventarisasi temuan artefak purbakala dari seluruh kawasan mencakup Priangan serta Banten  dan dikumpulkan oleh beberapa arkeolog Belanda ini juga dikutip oleh Haryoto Kunto dalam bukunya “Semerbak Bunga di Bandung Raya”.

Dalam laporannya, N.J. Krom menuliskan tentang keadaan di puncak Gunung Wayang, kurang lebih ditemukan 40 arca dan sebuah kuburan kuno yang didalamnya ditemukan pula pecahan tembikar, “afge stampte” kapak batu dan tulang-belulang. Arca bermahkota dengan bentuk mirip meriam dan guci juga ditemukan di dekat mata air Citarum di Situ Cisanti.

Bila membandingkan jumlah arca di puncak Gunung Wayang tentu jauh lebih banyak yang ditemukan oleh para ahli purbakala N.J. Krom di awal abad XX dengan yang dijumpai Marie Gray ketika mendaki ke puncak Gunung Wayang di akhir tahun 1960-an. Sayang dalam laporan N.J. Krom tak dijelaskan apakah sebagian arca-arca tadi di simpan di tempat tertentu seperti museum misalnya.

Dokumen hasil pengetikan yang dibuat pada tahun 1970 ini saya peroleh dari Nanang Saptono, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung. Mang Nanang begitu panggilan akrabnya sering pula mengikuti kegiatan ngaleut bersama Komunitas Aleut. Dalam salah satu kesempatan ketika beristirahat makan siang saat ngaleut mengunjungi petilasan Dipati Ukur di Ciparay. Mang Nanang dan istrinya, Bu Endang yang juga arkeolog di Balar, sempat menjelaskan mengenai arca tipe Polinesia. Menurutnya arca tipe Polinesia adalah arca dengan bentuk yang sederhana dan kasar mirip dengan patung yang banyak ditemukan di gugusan kepulaun Polinesia di Samudera Hindia sebelah Selatan. Dalam kasus arca tipe Polinesia yang ditemukan di daerah Priangan tidak dapat selalu dipastikan bahwa umur arca tersebut sudah tua, bila menilai dari bentuknya yang primitif dan sederhana. Namun bisa saja arca dalam bentuk yang sederhana dan miskin corak hias ini dibuat oleh masyarakat yang tidak menetap. Jadi tidak ada kebutuhan untuk membuat arca yang rumit dan indah seperti di daerah Jawa misalnya. Karena masyarakat Priangan dulu dikenal sebagai masyarakat huma yang berpindah-pindah tempat tinggal sehingga tidak tinggal menetap dalam kurun waktu yang lama di satu daerah.

BACA JUGA:   Tempat Wisata Alam di Tasikmalaya yang Lagi Hits

Minggu-minggu di akhir bulan lalu saya memperoleh satu buku yang dapat dijadikan pembanding bagi tulisan Marie Gray dan laporan N.J. Krom mengenai nasib arca di puncak Gunung Wayang. Buku yang ditulis oleh salah satu kelompok pencinta alam dari sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung ini menjelaskan mengenai kisah, cerita pendakian dan temuan-temuan di gunung-gunung di sekitar Bandung.

Pada bagian tulisan mengenai Gunung Wayang dijelaskan bahwa di puncaknya hanya ditemukan sebuah makam dengan panjang 3 meter. Tak ada tulisan mengenai penemuan arca di puncak Gunung Wayang. Jadi kemana perginya arca-arca yang berjumlah 40 buah menurut Krom dan setidaknya masih ada 6 buah arca menurut Marie Gray ? Mungkin hanya bisa dilihat dengan menggunakan mata batin tadi.

Arca-arca yang hilang 2

Gunung Wayang Dalam Naskah Sunda Kuna dan Cerita Legenda

Sebenarnya naskah tertua mengenai Gunung Wayang berasal dari tulisan orang lokal. Saya sengaja menempatkannya diakhir tulisan ini. Tepatnya dalam naskah perjalanan Pangeran Jaya Pakuan dari kerajaan Pajajaran yang hidup pada abad ke-15 M. Memang dalam naskah yang ditulis oleh pangeran yang mempunya julukan Bujangga Manik dan Ameng Layaran ini tidak menyebukan mengenai keberadaan arca di Gunung Wayang.

Sang Bujangga Manik dalam naskahnya hanya mencatat, yang artinya dalam bahasa Indonesia di buku “Tiga Pesona Sunda Kuna” berbunyi :

Kuseberangi sungai Cicarencang,

aku menyeberang di sungai Cisanti,

Mendaki ke Gunung Wayang,

sekepergianku dari sana,

sampai ke Mandala Beutung

Tak dijelaskan dimanakah letak lokasi pertapaan Mandala Beutung tersebut apakah berada di puncak Gunung Wayang? Tak dijelaskan pula berapa lama Ameng Layaran berada di Gunung Wayang dan Cisanti. Hal ini berbeda dengan ketika Bujangga Manik datang dan tinggal selama satu tahun di Sanghiang Ranca Gonda yang terletak di Gunung Patuha.

Satu hal yang menarik pula adalah mengenai keberadaan sosok Nyi Kantri Manik dalam kisah legenda terjadinya Gunung Wayang. Disebutkan bahwa Nyi Kantri Manik adalah perempuan lain yang menarik hati Gagak Taruna, sosok pemuda yang merupakan calon besan penguasa Gunung Wayang yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Menuruk sohibul hikyat Gagak Taruna tega melupakan kekasihnya Puteri Langka Ratnaningrum dan lebih memilih menenggelamkan diri mengikuti Nyi Kantri Manik yang merupakan penguasa Situ Cisanti.

Nama sosok perempuan dalam legenda Gunung Wayang tadi memliki kemiripan serta mengingatkan pada sosok yang biasanya dianggap sebagai penguasa dan penunggu mata air oleh orang Sunda dikenal dengan nama Nyi Kentring Manik Mayang Sunda. Konon Nyi Kentring Manik adalah salah satu istri dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang termahsyur dan memang dikenal cantik jelita. Tak heran jika Gagak Taruna sampai mabuk kepayang dibuatnya dan tega meninggalkan Puteri Langka Ratnaningrum tepat di hari perkawainannya.

Konon arca-arca di puncak Gunung Wayang merupakan jelmaan dari para pemain gamelan yang memainkan musik di hari pernikahan Gagak Taruna dengan Putri Langka Ratnaningrum. Namun karena mempelai pria tak kunjung datang dan kemudian ditemukan tewas mengambang di Situ Cisanti, murkalah Pangeran Jaga Lawang yang mengutuk para pemain gamelan menjadi arca, tungku-tungku yang sedang memasak hidangan pesta ditendangnya hingga menjadi kawah Cibolang. Sedangkan sang mempelai wanita yaitu Puteri Langka Ratnaningrum yang kecewa ditinggalkan di pelaminan lebih memilih melarikan diri dari puncak Gunung Wayang.

Kini nasib arca di Gunung Wayang sepilu kisah legendanya. Arca-arca di Gunung Wayang sekarang ini hanya menjadi cerita legenda dan catatan sejarah masa lalu. Untuk melihatnya di masa kini kita harus mempersiapkan ilmu untuk dapat melihat menggunakan mata batin. Waduh!

Baca juga artikel menarik lainnya

(komunitasaleut.com – ale/upi)

Iklan

Also Read

Bagikan: