Sejarah masjid baiturrahim ulee lheue

Gundana

Masjid Baiturrahim sekarang

Masjid Baiturrahim adalah salah satu masjid bersejarah di provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang berlokasi di Ulee Lheue, kecamatan Meuraksa, Banda Aceh ini merupakan peninggalan Sultan Aceh pada abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.[1]

Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan rekonstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan. Pada 1922 masjid dibangun dengan material permanen oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan gaya arsitektur Eropa. Namun masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja.[1]

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1983 Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa. Sepuluh tahun kemudian, dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan pascagempa 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya.[1]

Masjid Baiturrahim pada tahun 1929

Masjid Baiturrahim ketika tsunami pada tahun 2004

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim.[2] Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja sehingga masyarakat Aceh sangat mengagumi masjid ini sebagai simbol kebesaran Tuhan.[1]

Mosque in Indonesia

Baiturrahim Mosque (Indonesian: Masjid Baiturrahim) is a mosque located in Ulee Lheue, Meuraksa sub-district, Aceh Province, Indonesia. As a legacy of the sultan of Aceh in the 17th century, it is one of the historical mosques in Indonesia. Previously, the mosque was named Jami Ulee Lheu Mosque. In 1873, when the Baiturrahman Grand Mosque was burned by the Dutch, all the worshipers held a Friday prayer at Ulee Lheue. Since then the name of the mosque became Baiturrahim Mosque.[1]

BACA JUGA:   Terbaik 18 Wisata Banten Serang

Since its establishment, the mosque has been restored several times. Initially the building was completely made out of wood, with a simple shape and was located next to the location of the present mosque. Because it was made out of wood, the building did not last long as weathering had torn the building down. In 1922 the mosque was re-built with long-lasting material by the government of the Dutch East Indies with European architectural style. However, this construction did not use iron or bone braces, and the building was built with bricks and cement only.[1]

In 1983, Banda Aceh was rocked by a devastating earthquake, and it undermined the dome of the mosque. After that people rebuilt the mosque but they no longer installed the dome, thus replacing it with an ordinary roof. Ten years later, a massive renovation of the mosque was commenced, leaving the front part the only original part of the building. Sixty percent of the remaining parts were renovated. Until today, the original part of the mosque still looks solid on the front.[1]

On December 26, 2004, an earthquake and subsequent tsunami leveled the entire buildings around the mosque, making Baiturrahim Mosque the only surviving structure in the area.[2] The condition of the part of the mosque made of bricks was only damaged about twenty percent, and the people of Aceh highly honored this mosque as a symbol of God’s greatness.[1]

See also

[

edit

]

References

[

edit

]

Masjid Baiturrahim adalah salah satu masjid bersejarah di provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang berlokasi di Ulee Lheue, kecamatan Meuraksa, Banda Aceh ini merupakan peninggalan Sultan Aceh pada abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim. Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan rekonstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan. Pada 1922 masjid dibangun dengan material permanen oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan gaya arsitektur Eropa. Namun masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja. Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1983 Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid. Wikipedia

BACA JUGA:   Bolehkah gerd minum air kelapa

Aceh, CNN Indonesia

Mengenal Masjid Jami’ Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh tidak terlepas dari bencana tsunami yang melanda Aceh 2004 silam. Masjid ini tetap berdiri kokoh di antara puing bangunan sekitar yang telah hancur dihempas ombak.

Padahal rumah ibadah yang dikenal warga sekitar dengan sebutan Masjid Ulee Lheue ini tidak begitu jauh dengan bibir pantai yang terletak di Kecamatan Meuraxa.

Masjid ini hanya mengalami kerusakan sekitar 20 persen pada bagian samping dan belakang saat itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Memang masjid ini bukan satu-satunya di Aceh yang masih berdiri tegak saat diterjang tsunami, karena keistimewaan Masjid Baiturrahim ini juga terletak dari nilai historisnya, karena didirikan sekitar abad ke 17 masa Kesultanan Aceh.

Seorang pengurus Masjid Baiturrahim, Nurmazli menceritakan, saat tsunami masjid ini menjadi tempat berlindung warga sekitar. Mereka menyesaki lantai satu dan dua masjid ketika gulungan ombak menghempas.

Mereka satu persatu bahkan diseret arus ke luar dan hilang ditelan pekatnya air bah. Namun, dari sekian banyak yang datang hanya sembilan orang yang selamat.

“Karena saat itu mereka berlindung di atap, di kubah masjid. Itu termasuk anak bayi juga ada yang selamat,” kenang Nurmazli saat ditemui beberapa waktu lalu.

Menurut Nurmazli, ada tiga gelombang tsunami menerjang Masjid Baiturrahim pascagempa bervkekuatan 9 skala richter saat itu.

Masjid Jami' Baiturrahim Ulee Lheue Banda Aceh. CNN Indonesia/Dani RandiFoto: cnnindonesia/danirandi
Masjid Jami’ Baiturrahim Ulee Lheue Banda Aceh. CNN Indonesia/Dani Randi

Foto: cnnindonesia/danirandiMasjid Jami’ Baiturrahim Ulee Lheue Banda Aceh. CNN Indonesia/Dani Randi

Setiap gelombang selalu pecah saat menimpa masjid, kemudian bergulung-gulung melumat bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya. Tinggi gelombang mencapai atap masjid atau lebih dari 10 meter.

BACA JUGA:   Biaya masuk wisata pantai bali lestari

Namun dia heran, kondisi air di dalam masjid saat itu begitu tenang dan orang bisa berenang dari tiang ke tiang masjid. “Kalau di luar masjid kondisi air bergulung, sangat ganas,” ucapnya.

Versi Nurmazli, ketika gelombang surut, masjid bersih dari jenazah manusia. Dia mengenang, Al-Qur’an berserakan di lantai dalam kondisi terbuka dan utuh di dalam masjid, tak ada yang dibawa arus.

Bangunan masjid juga tidak mengalami kerusakan yang parah atau runtuh. Sementara bangunan di sekelilingnya rata dengan tanah.

Pascatsunami, masjid ini jadi menarik perhatian banyak orang dari berbagai belahan dunia. Sebagai salah satu rumah ibadah yang selamat dari bencana, keberadaan masjid ini menjadi daya tarik wisata bernuansa religi.

Bahkan masjid ini rutin dikunjungi wisatawan dari Negeri Jiran Malaysia. Mereka rata-rata ingin melihat secara langsung Masjid Baiturrahim.

“Sebelum Covid itu paling banyak dari Malaysia, hampir tiap pekan ada yang ke sini,” kata Nurmazli.

Selama ini tidak ada perubahan yang berarti dari struktur bangunan dalam masjid pascatsunami. Hanya saja, beberapa bangunan pendukung dibangun di area pekarangan masjid.

Pengunjung Masjid Baiturrahim biasanya tidak sekadar mengabadikan situs bersejarah yang selamat dari berbagai bencana. Mereka juga menyempatkan diri untuk melakukan ibadah di masjid yang mampu menampung 1.500 jamaah ini.

Pengurus masjid juga telah menyediakan fasilitas informasi bagi pengunjung. Kemudian ada tempat belanja pakaian islami di sekitar masjid yang telah disiapkan bagi wisatawan.

(dra/isn)

[Gambas:Video CNN]

Also Read

Bagikan: