Wisata Religi Sunan Gunung Jati: Menyimak Kebijaksanaan Sunan Gunung Jati

Gundana

Ini adalah sepenggal kisah perjalanan spiritual yang telah kita tempuh dalam 5 hari. Seperti yang kita tahu, Ziaroh Wali 9++ adalah agenda tahunan pesantren kita, yang selalu dilaksanakan setiap liburan semester genap. Kendati demikian, setiap perjalanan yang berbeda pasti ada kisah yang tak sama pula. Karena setiap perjalanan adalah pelajaran, yang sarat cerita dan makna bagi siapapun yang melaluinya.

Abah Kyai Munir sempat menyampaikan pesan kepada para peziaroh yang hendak bepergian. “Ojo njaluk wali, ojo njaluk seng ndek kubur. Niat ndungakno, napak tilas, Ya Allah semoga kulo saget ngamal kaya Wali iku. Ndungakno wong liyo podo ae ndungakno awake dewe. (Jangan diniatkan meminta kepada wali dan meminta kepada yang berada di alam kubur, niatkan meminta kepada Allah SWT. Niatkan untuk mendoakan para Wali karena dengan mendoakan kebaikan sama seperti mendoakan diri kita sendiri, napak tilas jejak perjuangan para Wali, semoga kita dapat mengambil hikmah dan mampu beramal seperti para Wali itu).

“Dengan kesucian hati, menapaki jejak para wali untuk mencapai ridho ilahi.”

Seperti di tahun-tahun sebelumnya,perjalanan kami mulai tengah malam, tanggal 11 Januari 2019. Pemberangkatan dimulai dengan pembacaan istighosah di Aula lantai 2, dilanjutkan tahlil dan sambutan-sambutan. Pemberangkatan tepat dimulai saat pergantian malam dengan destinasi pertama menuju makam Profesor Koesnoe. (Biografi Prof. Koesnoe)

Udara pagi itu cukup dingin mengiringi langkah kami menuju destinasi pertama diatas tanah makam yang lengket dan basah. Seperti biasa keadaan Taman Makam Pahlawan Surabaya yang asri dijaga oleh 2 orang penjaga. Setelah melangsungkan rangkaian do’a disana bus melaju menuju makam Sunan Ampel. Sholat subuh berjama’ah dilangsungkan di masjid Ampel tersebut. Setelah sholat subuh, baru berangkat menuju makam untuk membacakan yasin, istighosah dan tahlil. Pukul 06.00 kami melangsungkan sarapan bersama yang telah dipersiapkan oleh panitia di pelataran parkir bus daerah Ampel. Moment kebersamaan ini mengawali langkah panjang kami menuju destinasi-destinasi berikutnya.

Sekilas biografi telah dibacakan di dalam bis kami selama perjalanan menuju ke Sekar Kedaton daerah Giri. Perjalanan singkat dalam suasana yang sejuk ini menimbulkan rasa kantuk yang berat bagi para peziaroh, namun tak menyurutkan kita untuk tetap khidmat membacakan do’a pemberangkatan dilanjutkan tawassul panjang lalu menyimak cerita yang dibacakan oleh para panitia. Rute yang cukup panjang pun tak terasa, kami bersiap mendaki gunung di Sekar Kedaton dengan penuh semangat masih di hari pertama.

Di bangunan persegi empat yang berdiri kokoh diatas batu berundak itulah Sunan Giri mendirikan pesantren dan mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Disana rombongan dari Pesantren Luhur disambut dengan hangat oleh Juru Kunci Sekar Kedaton. Kami membacakan rangkaian yasin, istighotsah, tahlil dan doa’, lalu setelahnya beliau Juru Kunci di Sekar Kedaton menceritakan sejarah singkat perjalanan Sunan Giri dari Pasai hingga ke tanah jawa.

Panas matahari mulai terik, tak menyurutkan semangat kami untuk melanjutkan perjalanan dengan meniti angkot menuju daerah Gresik. Disana rombongan berziaroh ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Ternyata di daerah tersebut terjadi hujan lebat usai kita beranjak dari makam menuju perjalanan kembali ke daerah Giri. Perjalanan menjadi agak terhambat, namun kami kembali memasuki pukul bis dalam keadaan selamat dan melanjutkan perjalanan panjang menuju daerah Lamongan.

Perjalanan memang seperti ini, titik ke titik, berhenti lalu lanjut lagi. Perjalanan lalu tiba di kampus hijau UNISLA. Usai melaksanakan sholat berjama’ah di aula, kami menuju makam. Saling duduk bersila menundukkan kepala, berjajar hingga ke sekitar pelataran makam. Melafalkan bacaan Yasin, istighosah, tahlil, dan do’a bersama di makam Abah Mudlor yang terletak di Kampus UNISLA (Biografi Abah Mudlor). Udara cukup sejuk setelah kota Lamongan diguyur hujan gerimis yang tak menyurutkan semangat kami dalam melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Derajat hingga menjelang waktu Maghrib.

Malam yang hangat mengiringi perjalanan rombongan menuju makam Sunan Bonang. Para sopir becak berlomba-lomba mengayuh sepedanya agar para penumpang sampai dengan cepat dan selamat. Usai ziaroh waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, waktunya kembali ke dalam bis untuk melanjutkan perjalanan panjang menuju daerah Jawa Tengah.

BACA JUGA:   Tempat main anak di jakarta yang sudah buka

Fajar menyambut kedatangan rombongan kami di kaki Gunung Muria. Kami masih memiliki cukup banyak waktu untuk mendaki di gunung tersebut. Rombongan tiba di puncak sebelum waktu subuh, jadi masih ada waktu untuk bersih diri sebelum sholat subuh berjama’ah. Lalu kami memasuki area makam untuk pembacaan do’a dan tahlil. Tak lupa di pasar ini kami dapat berbelanja dan membeli oleh-oleh selama perjalanan menuruni gunung.

Jeda waktu selama perjalanan dari Gunung Muria menuju ke selatan yakni kearah Kota Kudus dimanfaatkan para rombongan untuk melepas Lelah usai melakukan pendakian. Terik sangat terasa saat para rombongan tiba di kota Kudus yang mendapat julukan Yerussalem van Java. Tengah hari kami langsung mengantre untuk membeli tiket perjalanan menuju Masjid Kudus. Ada banyak transportasi umum yang ditawarkan disana. Sunan Kudus dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami’ Kudus. Jika orang memandang Menara masjid tersebut yang memiliki bentuk sangat unik, maka pasti akan teringat pada pendirinya yakni Sunan Kudus.

Masih di siang yang sama, panas yang terik tak menyurutkan kami untuk kembali melanjutkan ziaroh dan melantunkan doa di makam Sunan Kalijaga. Makam ini berada di daerah Demak, dan beliau Sunan Kalijaga juga ikut pula dalam perancangan Masjid Agung Demak. Tak lupa kami melakukan sholat dhuhur di masjid yang terletak tak jauh dari makam, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan Panjang menuju daerah Gunung Jati di Cirebon.

Kami tiba di kota Udang ini pada malam hari menjelang Isya’. Guyuran hujan deras terpaksa membuat kami bernaung di bawah payung selama perjalanan menuju Masjid Gunung Jati. Makam Sunan Gunung Jati sendiri terletak di bukit kecil bernama Gunung Sembung. Usai dilaksanakan sholat isya’ di masjid sana, kami menempati masjid untuk melantunkan do’a. Udara terasa sangat dingin, banyak yang menyantap ronde dan sekoteng sebagai hidangan wajib penghangat sebelum bis melanjutkan perjalanan kembali ke Jawa Tengah.

Perjalanan yang dipersingkat dengan adanya tol baru, membuat kami memiliki lebih waktu untuk rehat semalam di Masjid Annur Comal, Pemalang. Usai sholat subuh, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dari Jalur Pantura ini langsung menuju kota Jogja. Kami tiba di Yogyakarta sore hari menjelang Maghrib. Udara dingin dan sejuk, nyaman untuk berkeliling lama belanja disana. Tak lupa ini disini banyak spot yang dapat dimanfaatkan untuk berfoto Bersama-sama. Menjelang pukul 8 malam, rombongan bersiap kembali menuju bis untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya ke daerah Klaten. Disinilah rombongan kembali menghabiskan satu malam dengan menginap di Penginapan Jabalkat Bayat. Usai sarapan Bersama, semua kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan mendaki menuju ke puncak dimana Sunan Bayat dimakamkan.(Biografi Sunan Bayat)

Menjelang tengah hari, rombongan telah tiba di destinasi terakhir kita yakni makam Sang Pujangga Ronggowarsito. Tak lupa setelah tiba disana kami harus membersihkan area di sekitar makam terlebih dahulu dengan peralatan yang sudah disiapkan oleh panitia. Berada di kompleks makam Ronggowarsito tentu kita tak asing lagi dengan baudan bunyi dari mahluk kelelawar yang menempati bagian langit-langit bangunan sekitar makam (Biografi Ronggowarsito). Siang semakin terik, menemani perjalanan pulang kita sebelum akhirnya singgah di Masjid Dr. H. Moeldoko Jombang.

Perjalanan telah usai, namun tidak dengan kisahnya. Di setiap waktunya, ada ribuan peziaroh yang berkunjung ke makam para Wali. Berziaroh mendoakan mereka yang telah berjuang demi umat. Mengenalkan Islam dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, berlaku sebagai penyambung lidah Rasulullah SAW dan menyelamatkan kami umatnya dari jalan kesesatan. Semoga para pecinta wisata religi berkesempatan kembali mengunjungi tempat-tempat ini. Tetap semangat mencari barokah, semoga kesehatan dan keselamatan senantiasa teriring di setiap langkah. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya.

Karya tulisan narasumber : Desi Fajar Permatasari

Sekilas Sejarah Walisongo

Sunan Ampel

Sunan Ampel atau Raden Sayyid Ali Rahmatullah
merupakan saudara dari Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri). Beliau juga sepupu dari
Sunan Maulana Malik Ibrahim. Beliau mendirikan pesantren di Ampeldenta, dari
sini Islam mulai terpencar ke segala penjuru di tanah Jawa. Beberapa santri
beliau antara lain Sunan Giri, Raden Patah, Maulana Makdum Ibrahim,
Syarifuddin, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Beliau banyak menentukan policy penyiaran agama Islam saat itu.
Sunan Ampel merupakan perencana pertama kerajaan Islam di tanah Jawa. Raden
Patah yang merupakan murid dan menantu Raden Rahmatmenjadi sultan pertama dan
mendirikan Masjid Agung Demak. Beliau terkenal dengan mengajarkan falsafah Mo
Limo, yakni tidak melakukan lima hal tercela: main judi, mabuk, mencuri, madat,
dan madon atau main perempuan yang bukan istrinya.

BACA JUGA:   Wisata adventure di bali

Sunan Giri

Sunan Giri merupakan putra dari Syekh Maulana Ishaq dan Dewi Sekar Dadu – Putri Raja Blambangan. Sunan Giri memiliki nama Muhammad Ainul Yaqin dan Raden Paku. Syeikh Maulana Ishaq atau Syeikh Awwalul Islam memiliki garis keturunan dari Husein, putra Fatimah binti Rasulullah SAW. (Biografi Sekar Kedhaton) 

Sunan Maulana Malik Ibrahim

Sunan Maulana Malik Ibrahim juga terkenaldengan nama Syeikh Maghribi, keturunan Jamaluddin Husein atau syeikh Jaumadil Kubro. Sunan Maulana Malik Ibrahim termasuk mubaligh yang pertama menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Beliau terkenal sebagai pribadi yang berbudi halus, sholeh, dermawan dan penuh simpati. Beliau tidak menentang tajam agama dan kepercayaan penduduk saat itu. Sebagai pusat dakwah, beliau membangun masjid di daerah Leran sebagai tempat berjamaah serta mengajar. Beliau juga berusaha mendekati Raja Majapahit Prabu Brawijaya, guna mengislamkan baginda raja. Beliau berharap
denganberhasilnya Raja Majapahit masuk Islam, maka akan semakin mudah mengajak para rakyatnya. Dalam usaha mengislamkan Prabu Brawijaya, beliau mendapat dukungan penuh dari Raja Chermin dari Kerajaan Islam Kendah. Raja Chermin mengirimkan Putera Mahkota untuk menemui PrabuBrawijaya bersama dengan Sunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun usaha itu belumberhasil. Alhasil, Prabu Brawijaya menghadiahkan tanah untuk didirikan masjid di Gresik. Atas bantuan Raja Chermin, maka tanah tersebut menjadi 2 masjid yang menjadi tempat Sunan Maulana Malik Ibrahim membangun pesantren. Pada batu nisan Sunan Maulana Malik Ibrahim terdapat tulisan: “Ini adalah makam seseorang yang diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang bermohon rahmat Tuhannya. Guru para pangeran dan
tungkat sekalian sulthon dan wazir; Siraman bagi kaum fakir dan miskin. Tuan yang bergelar hiasan negara dan agama.

Sunan Derajat

Sunan Derajat atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Qosim, merupakan salah satu dari putra Sunan Ampel. Putra Sunan Ampel yang lain yakni Sunan Bonang, Siti Muntosiyah – istri Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka- istri Raden Patah, dan seorang putri yang dipersunting Sunan Kalijaga. Beliau juga memiliki nama Syarifuddin. Beliau adalah waliyullah sosiawan Islam. Dengan jiwa sosialnya yang tinggi, beliau langsung memberikan teladan kepada masyarakat, serta terbiasa hidup dalam suka dan duka bersama rakyat. Kebiasaan baik beliau ini sangat disukai oleh masyarakat. Beliau juga pencipta dari gending Pangkur, sebuah kesenian untukkepentingan dakwah Islamiyah. Beliau juga merupakan penyokong setia dari berdirinya kerajaan Demak. 

Sunan Bonang

Sunan Bonang bernama asli Syeikh Makdum Ibrahim. Beliau merupakan putera dari Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Beliau sempat meminta restu ayahnya untuk berangkat haji Ke Mekkah bersama Sunan Giri. Oleh Sunan Ampel beliau berdua diperintah untuk singgah di Pasai. Disana beliau bertemu Syeikh Awwalul Islam, yang tak lain adalah Ayah dari Sunan Giri. Pada akhirnya beliau berdua diperintah oleh Syeikh Awwalul Islam untuk kembali ke tanah Jawa dan menyiarkan agama Islam disana. Pada masa hidupnya Sunan Bonang giat sekali menyiarkan Islam di Jawa Timur, terutama daerah Tuban. Beliau menciptakan Gending Darmo, juga mengganti nama dewa dalam agama Hindu dengan nama para malaikat dan para nabi. Beliau juga mensyiarkan agama Islam dengan kesenian  yang disebut Bonang. Setiap beliau membunyikan bonang, banyak penduduk yang antusias datang untuk mendengarkannya. Beliau juga menciptakan karya hebat penuh keindahan yang disebut dengan Suluk. Kini Suluk tersebut tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda – tempat yang pernah dikunjungi Prof. Koesnoe. Riwayat hidup beliau juga pernah ditulis oleh Dr. BJO. Schricke dalam bukunya yang berjudul Het Book Van Bonang.

BACA JUGA:   Wisata Masjid Tiban Malang: Mengenal Keindahan Arsitektur Islam di Jawa Timur

Sunan Muria

Sunan Muria merupakan
putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama asli beliau adalah Raden Umar
Said. Beliau
memiliki seorang putra bernama Pangeran Santeri atau yang terkenal dengan
sebutan Sunan Kadilangu. Beliau berdakwah seperti ayahnya, menggunakan cara
yang halus. Dengan kebijaksanaan yang ditempuhnya, maka banyak rakyat yang
mengikuti ajaran beliau untuk selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa. Sunan Muria memiliki fisik yang kuat karena
sering naik turun gunung Muria
yang tinggi. Beliau banyak mendidik rakyat jelata di sepanjang lereng gunung
tersebut. Beliau adalah pencipta gending Sinom dan Kinanti, serta wali yang
mempertahankan kesenian gamelan tetap lestari pada saat itu. Sunan Muria juga
penyokong dari berdirinya Kerajaan Islam Demak dan juga pendiri dari Masjid
Agung Demak.

Sunan Kudus

Sunan Kudus bernama
asli Raden Ja’far Shodiq. Beliau merupakan
keturunan dari Sunan Ampel. Beliau adalah mahaguru yang menguasai berbagai
disiplin ilmu terutama dalam ilmu tauhid, ushul, hadist, manthiq, dan ilmu
fiqh. Oleh karenanya beliau mendapat gelar “waliyul ilmi”. Beliau juga banyak
menghasilkan karya dalam bentuk cerita filsafat agama. Beliau pencipta dari
gending terkenal Maskumambang dan Mijil. Beliau memiliki pribadi yang sangat
kreatif dalam pemanfaatan berbagai media guna kepentingan dakwah yang diminati masyarakat.
Beliau juga merupakan seorang Senopati sekaligus penyokong kerajaan Islam
Demak. Salah satu peninggalan beliau adalah Masjid Raya Kudus yang terkenal
dengan Menara Kudusnya, dimana bentuk bangunan serta ukiran masih bercorak
bangunan Hindu.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga
memiliki nama kecil yakni Raden Mas
Syahid. Ada yang menyebutkan nama asli beliau adalah Lengkujoyo. Beliau mendapat nama
Sunan Kalijaga lantaran kesetiaannya terhadap sang guru, Sunan Ampel.
Diriwayatkan beliau pernah menjaga tongkat Sunan Ampel selama delapan tahun di
tepi sungai sehingga mendapatkan nama tersebut. Beliau memiliki tiga orang
putra yakni Sunan Muria, Dewi Ruqayyah, dan Dewi Safiyah. Beliau adalah wali
yang berjiwa besar, pemimpin, pujangga, dan juga filosof. Banyak pengikut
beliau dari kalangan ningrat dan juga cendekiawan. Beliau juga banyak mengarang
cerita wayang yang diisi dengan ajaran Islam. Penyesuaian dengan selera rakyat
dalam cara berdakwah sangat beliu perhatikan benar. Beberapa istilah pewayangan
yang beliau kenalkan adalah Pandowo Limo yang menyimbolkan rukun Islam yang
lima, Jimat Kalimusodo adalah simbol dari dua kalimat syahadat sebagai senjata
ampuh umat, Narodo sebagai utusan Batoro Guru adalah simbol dari Nurul Huda
yang merupakan cahaya petunjuk di dalam hidup manusia.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati
memiliki nama lain yakni Syarif Hidayatullah. Beliau juga memiliki silsilah keturunan dari Syeikh
Jumadil Kubro. Sewaktu kecil beliau belajar agama pada ayahnya di pasai. Hingga
akhirnya daerah diduduki oleh Portugis. Maka setelah dewasa beliau bertindak ke
Mekkah untuk belajar disana selama tiga tahun. Sepulang dari Mekkah, ternyata
pasukan Portugis belum juga menyingkir. Beliau berencana pergi ke tanah Jawa,
dan kedatangannya disambut hangat oleh Sultan Kerajaan Demak, yakni Pangeran
Trenggana. Pada saat itu kerajaan Demak mengalami puncak kejayaan, daerah kekuasaan
serta penyebarannya semakin meluas. Sultan Trenggana berencana kembali
melakukan penyerangan terhadap Portugis setelah usaha Patih Unus (saudaranya)
di Malaka sempat gagal. Portugis tidak hanya menguasai perdagangan, tetapi juga
menyebarkan agama Nasrani disana. Pada akhirnya pasukan Sunan Gunung Jati
berhasil memukul mundur pasukan Portugis. Mereka berhasil menguasai sekaligus
mengislamkan daerah Banter, Sunda Kelapa (Jayakarta), dan juga Cirebon. Sunan
Gunung Jati selanjutnya menetap di Banten sebagai wakil dari Sultan Demak. Baru
setelah Sultan Trenggono wafat, kerajaan Banten melepaskan diri dari Demak.
Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaan kepada putranya, setelahnya beliau
banyak membangun pesantren dan masjid, serta fokus mengajarkan agama Islam
hingga beliau wafat.

Also Read

Bagikan: